Pertunjukan Teater Mendu menjadi salah satu pertunjukan seni yang selalu ditunggu masyarakat Natuna pada masa kolonial Belanda dan setelah Indonesia merdeka. Pertunjukan Teater Mendu telah mendarah daging dalam masyarakat pada masa itu. Ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Natuna. Lagu-lagu Mendu terdengar setiap hari di luar konteks pertunjukan. Lagu mendu digunakan sebagai lagu pengantar tidur dan hiburan para petani dan nelayan saat bekerja. Dari sini dapat kita lihat bahwa masyarakat Natuna tenggelam dalam budaya Mendu.Â
Pertunjukkan Teater Mendu ini menjadi hiburan (tontonan rakyat) bagi masyarakat Natuna setelah mereka pulang bekerja. Baik sebagai petani maupun sebagai nelayan. Itulah sebabnya pertunjukan Teater Mendu selalu dilakukan pada malam hari setelah solat Isya. Pertunjukan Teater Mendu pada zaman dulu dilakukan selama 40 malam. Pertunjukkan akan dimulai pukul 20.00 sampai pukul 24.00 bahkan ada juga sampai dini hari.Â
Lama pertunjukkan akan seturut dengan episode yang mereka bawakan. Untuk menginformasikan pertunjukan akan segera dimulai, penabuh akan memainkan gendang keras dari musik pengantar yang dipimpin oleh dua penabuh yang terletak di satu sisi panggung.Â
Satu penabuh memainkan bedug besar dan yang lainnya memainkan gendang panjang atau bisa juga menggunakan kaleng. Dulunya tabuhan ini bisa berlangsung 2-3 jam bersamaan dengan azan magrib. Seiring dengan bunyi tabuhan itu, masyarakat Natuna langsung berdatangan ke tempat pementasan mendu. Dan secara otomatis berada di sisi panggung.
Seiring berkembangnya zaman, pertunjukan Teater Mendu semakin mengalami kemunduran sehingga pertunjukan ini tidak lagi dilakukan selama 40 malam tetapi menjadi 7 hari dan bahkan sekarang sudah ditampilkan hanya dalam waktu hitungan jam.Â
Pertunjukan Teater Mendu sekarang tidak lagi dilakukan secara utuh terhadap isi cerita, tetapi sudah ditampilkan secara ringkas dan hanya sebagian isi cerita. Hal ini terjadi karena untuk menampilkan sebuah mendu secara utuh sangat membutuhkan biaya yang besar dan membutuhkan pemain mendu yang lengkap.
Pertunjukan teater dapat dilakukan secara utuh pada zaman dulu karena materi yang dibutuhkan para pemain didukung oleh saudagar kaya yang datang ke Natuna. Saudagar kaya ini maksudnya adalah orang yang datang dari luar daerah yang melakukan bisnis di Natuna. Hal itu juga menjadi cara yang dilakukan oleh para saudagar untuk mengikat secara kekeluargaan dengan masyarakat Natuna pada masa itu.
Pertunjukan Teater Mendu bersifat dialogis; pertunjukan yang bertujuan untuk melibatkan penonton bahkan roh-roh dunia gaib khususnya leluhur mereka. Dalam pertunjukan Teater Mendu pelibatan penonton akan terjadi saat percakapan antara pemain dengan penonton di dalam beberapa episode.Â
Sedangkan pelibatan roh-roh gaib dapat dilihat dari pohon pulai yang dibuat ditengah panggung dekat dengan ruang pementasan dan pohon pulai yang diletakkan di depan salah satu sisi pembatas antara penonton dan panggung. Pohon pulai sendiri dianggap mistis oleh masyarakat Natuna karena diyakini sebagai bersarangnya jin. Itulah sebabnya, pertunjukan Teater Mendu pada zaman dulu akan diawali semacam ritual tepat dekat pohon pulai yang ada di dalam panggung dan di luar panggung.Â
Ritual ini akan dilakukan secara sendiri-sendiri dan sembunyi yang bertujuan untuk menjaga panggung dari gangguan roh-roh jahat. Setelah melalukan ritual, pemain akan mengelilingi panggung pementasan dengan mulut yang membacakan mantra-mantra dan dipimpin oleh seseorang yang dianggap memiliki kekuatan spiritual.
Selain pohon pulai, pelibatan roh-roh gaib akan terlihat pada para pemain yang tidak menggunakan alas kaki apapun sehingga kaki bersentuhan langsung dengan tanah. Mereka meyakini dengan bertelanjang kaki akan menjadi ruang bagi roh-roh gaib yang baik masuk ke dalam tubuh diri para pemain.
Pertunjukan Teater Mendu pada awalnya diperankan oleh laki-laki dan perempuan. Namun seiring berkembangnya agama Islam, pertunjukkan Teater Mendu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Mendu dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam sehingga perempuan tidak lagi diizinkan untuk tampil di atas panggung dan dapat dipastikan juga bahwa peran perempuan di dalam pertunjukan Teater Mendu diganti oleh laki-laki. Pemain perempuan pada masa itu beralih fungsi menjadi penata rias bagi para pemain, menyiapkan makanan dan minuman, serta memperbaiki kostum para pemain.
Pada saat pertunjukan Teater Mendu para penduduk berdatangan dari berbagai daerah sehingga dapat dikatakan bahwa Teater Mendu tempat bertemunya para penduduk. Di samping sebagai media berkumpulnya masyarakat, Teater Mendu juga menguatkan persaudaraan di antara masyarakat sehingga ketika seseorang tidak hadir untuk menonton permainan mendu mereka akan mencari tahu alasannya. Apabila seseorang itu dalam keadaan sakit maka mereka akan mengunjunginya.
Pertunjukan Mendu juga menjadi ajang mencari jodoh bagi yang lajang dan gadis baik itu sesama penonton, maupun sesama pemain mendu. Bahkan beberapa narsumber mengatakan bahwa  banyak orang menemukan jodohnya saat menonton pertunjukan Teater Mendu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H