Selain pohon pulai, pelibatan roh-roh gaib akan terlihat pada para pemain yang tidak menggunakan alas kaki apapun sehingga kaki bersentuhan langsung dengan tanah. Mereka meyakini dengan bertelanjang kaki akan menjadi ruang bagi roh-roh gaib yang baik masuk ke dalam tubuh diri para pemain.
Pertunjukan Teater Mendu pada awalnya diperankan oleh laki-laki dan perempuan. Namun seiring berkembangnya agama Islam, pertunjukkan Teater Mendu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Mendu dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam sehingga perempuan tidak lagi diizinkan untuk tampil di atas panggung dan dapat dipastikan juga bahwa peran perempuan di dalam pertunjukan Teater Mendu diganti oleh laki-laki. Pemain perempuan pada masa itu beralih fungsi menjadi penata rias bagi para pemain, menyiapkan makanan dan minuman, serta memperbaiki kostum para pemain.
Pada saat pertunjukan Teater Mendu para penduduk berdatangan dari berbagai daerah sehingga dapat dikatakan bahwa Teater Mendu tempat bertemunya para penduduk. Di samping sebagai media berkumpulnya masyarakat, Teater Mendu juga menguatkan persaudaraan di antara masyarakat sehingga ketika seseorang tidak hadir untuk menonton permainan mendu mereka akan mencari tahu alasannya. Apabila seseorang itu dalam keadaan sakit maka mereka akan mengunjunginya.
Pertunjukan Mendu juga menjadi ajang mencari jodoh bagi yang lajang dan gadis baik itu sesama penonton, maupun sesama pemain mendu. Bahkan beberapa narsumber mengatakan bahwa  banyak orang menemukan jodohnya saat menonton pertunjukan Teater Mendu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H