Herman Thomas Karsten (1884-1945) memulai karirnya di Semarang sebagai mitra firma arsitektur temannya Henri Maclaine Pont. Karsten juga terlibat dalam renovasi istana Mangkunegara di Surakarta.
Karsten mengembangkan wayang wong yang dikaitkan dengan pengadilan Jawa Tengah sehingga dapat mengadaptasi bentuk barat yang modern dengan Jawa yang masih tradisional.
Karsten juga merancang proyek arsitektur paling terkenal di Semarang yaitu teater Sobokartti yang merupakan bangunan kombinasi antara arsitektur Jawa dengan fitur desain Schouwburg, teater Belanda.
Proyek ini ditujukan untuk penonton kelas menengah Jawa perkotaan, terutama dari karyawan profesional dan ulama dari instansi pemerintah, kota dan bisnis, dengan tradisi budaya mereka dalam lingkungan yang baru.
Karsten merancang prinsip penting dalam merancang perumahan kelas menengah perkotaan Jawa. Karsten memperhitungkan kendala alam, iklim, geografi, kesehatan (higienis), dan budaya kehidupan rumah tangga penduduk Jawa. Oleh sebab itu, arsitektur dan perencanaan kota menjadi alat untuk membangun kerangka kerja untuk masyarakat modern ini.
Bagi Karsten, perencanaan kota yang tepat memberikan solusi jelas dan praktis untuk menyelesaikan ketegangan sosial, ekonomi, dan budaya yang dihasilkan oleh kolonialisme.
Mengingat kota-kota kolonial kontemporer adalah rumah bagi kelas yang tumbuh dari pendidikan Barat yang terlibat dalam berbagai warisan kolonial pekerjaan. Menurut sensus tahun 1930, 6,35% dari penduduk pribumi Jawa dan Madura tinggal di daerah perkotaan.
Pada awal tahun 1930-an, di usia 45an tahun, Karsten merenungkan filosofis ideal utamanya yaitu tempat pertama yang imanen adalah menyatu dengan dunia sebagai nilai spiritual tertinggi.
Spiritual dan dunia materi sebagai satu kesatuan fundamental yang penting, utama, dan tak terbatas. Ide Die Einheid der Welt memiliki relevansi teleologis dan psikologis bagi visinya tentang Indonesia yang modern dimasa depan.
Hal ini didukung oleh banyak cendekiawan Jawa yang terlibat dalam gerakan kebangkitan kebudayaan Jawa seperti Noto Soeroto. Pembentukan sebuah masyarakat baru di negeri tropis dimana ras yang berbeda, masing-masing dengan bakat dan kemampuan secara organik akan menemukan posisi mereka sendiri. Karsten percaya bahwa orang yang tinggal di daerah tropis  mampu hidup secara maksimal.
Untuk memperkuat implikasi sosio-psikologis visinya tentang kesatuan dunia, Karsten semakin tertarik dengan tulisan Carl Gustav Jung. Secara khusus, Karsten menulis konsep kolektif, bawah sadar, dan fungsi jiwa dalam merumuskan dunia kontemporer dengan budaya yang berbeda dan visi rasial yang berevolusi menuju kesatuan ideal di masa depan.
Karsten percaya bahwa tatanan moral internal orang Jawa hanya bisa didirikan kembali dengan menghubungkan kembali keberadaan spiritual batin mereka dengan realitas dunia baru.
Karsten menyelesaikannya berdasarkan dua asumsi utama yaitu 1) kelas menengah Jawa yang menjadi Eropa modern terasing dari akar budaya mereka dan 2) gaya Eropa modern diperlukan Jawa untuk menyesuaikan diri dengan konsepsi geologi kepribadian.
Dengan demikian, prinsip-prinsip perencanaan kota yang diterapkan Karsten, tetap tertanam di kota-kota pasca-kolonial dan peraturan resmi negara Indonesia yang baru.
Sebagian besar bangunan yang Karsten dirancang pada tahun 1920 dan 1930-an untuk melayani kebutuhan seperti pasar, rumah sakit, teater, museum, sekolah yang dirayakan sebagai warisan fungsional dan estetika karir dari orang yang peduli tentang masa depan tanah air angkatnya.
Resume jurnal karya Joost Cote yang berjudul Thomas Karsten's Indonesia: Modernity and the End of Europe, 1914-1945
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H