KUHAP memperbolehkan Terpidana atau Kuasa Hukumnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK). Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan apabila putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) vide Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Peninjauan Kembali tidak dibatasi jangka waktu, sebagaimana Pasal 264 ayat  (3) KUHAP. Namun secara limitatif dibatasi oleh adanya 3 (tiga) ketentuan, yaitu:
1. Apabila terdapat keadaan baru. Ini sering disebut dengan bukti baru (novum).
2. Apabila putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kekhilafan Hakim dan Kekeliruan yang Nyata
Kekeliruan pertama. Sejak penyidikan, Penuntutan, hingga Vonis kasus ini kontroversi. Penodaan agama yang terdapat dalam dakwaan Pasal 156a KUHAP merupakan pasal sisipan dari Perpres 1/1960, bukan merupakan pasal asli dari Strafrecht Belanda.Â
Dalam Penjelasan pasal itu dituliskan (R. Seosilo, KUHP beserta komentar-komentarnya; 256) mengatakan "Pelaku tindak pidana penodaan agama harus terlebih dahulu diperingati baik oleh Menteri atau Jaksa Agung, bila tidak menghentikan tindakannya baru ditindak secara pidana (ultimum remedium).
Selama penyidikan, penuntutan dan proses persidangan, Ahok tidak ditahan, namun setelah putusan Ahok langsung ditahan. Kenapa?. Menurut KUHAP hakim memiliki wewenang untuk menahan terdakwa apabila dikawatirkan selama proses pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan alat bukti dan mengulangi tindak pidana (vide pasal 20 ayat (3) KUHAP).
Dalam hal ini Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak menggunakan wewenang itu. Berbeda halnya setelah putusan yang  langsung memerintahkan penahanan, tanpa mempertimbangkan upaya hukum Banding yang akan ditempuh Ahok. "Apakah ini karena desakan massa yang berjuta-juta itu?"
Kekeliruan kedua. Poin ketiga Amar Putusan Pemidanaan Ahok berbunyi "memerintahkan agar terdakwa ditahan". Sementara dalam pertimbangannya Majelis Hakim mengatakan "Cukup Beralasan karena sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) huruf  (k) dan ayat (2) terdakwa harus ditahan kalau tidak maka batal demi hukum.