Mohon tunggu...
Jefferly Helianthusonfri
Jefferly Helianthusonfri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN), penggemar Maudy Ayunda yang sudah menulis lebih dari 26 buku internet marketing. Website : http://JefferlySuperClub.com. Follow Twitter @JefferlyHelian.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Antara Buku Obral dan Nasib Penulis Indonesia

29 Desember 2014   23:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:13 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_387059" align="aligncenter" width="530" caption="Ilustrasi (foto.kompas.com)"][/caption]

Buku obral merupakan sebuah fenomena yang unik dalam industri buku di Indonesia. Mengapa saya katakan unik?

Unik karena fenomena buku obral ini punya dua sisi yang sangat bertolak belakang. Bagi penerbit dan penulis buku yang diobral, tentu buku obral merupakan sebuah mimpi buruk yang harus dihindari. Bagaimana tidak buku yang semula berharga 50 ribu bisa diobral dengan harga sebungkus nasi goreng seharga 10 ribu. Buku kok disamakan dengan nasi goreng.

Namun di sisi lain, banjirnya buku obral kerap menghibur hati orang-orang seperti saya yang suka "kalap" kalau meliha buku obral. Ketika melihat tumpukan buku obral, hati ini menjadi senang dan rasanya semua buku itu mau diborong. Salah satu pengalaman saya yang sangat berkesan berkaitan dengan buku obral adalah saya pernah membeli buku digital imaging dan buku fotografi dengan harga yang sangat terjangkau. Buku-buku fotografi dan digital imaging termasuk buku dengan harga yang relatif tinggi (biasanya bisa sampai 70 ribu atau lebih). Namun entah kebetulan atau apa, waktu itu buku-buku keren seputar digital imaging itu bisa saya bawa pulang cukup dengan harga 15 ribu per buku.

Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan sebuah buku diobral penerbit. Beberapa faktor tersebut sangatlah dipengaruhi oleh iklim industri buku Indonesia.

Terbatasnya Sumber Daya Penerbit


Faktor penyebab utama mengapa buku obral betebaran di mana-mana adalah terbatasnya sumber daya penerbit. Sebenarnya sumber daya yang dimiliki penerbit sudah cukup oke. Hanya saja, sumber daya yang dimiliki tak sanggup meng-cover seluruh aktivitas produksi buku.

Bayangkan saja, sebuah penerbit mayor bisa menerbitkan lebih dari 200 judul dalam sebulan. Jika dalam sebulan sebuah penerbit mayor bisa menerbitkan lebih dari 200 judul maka berapa ribu judul yang terbit dalam satu tahun? Ribuan.

Itu baru dari satu penerbit. Belum ditambah dengan penerbit-penerbit lain.

Ribuan judul dalam satu tahun harus dipasarkan oleh tim pemasaran penerbit. Berapa banyak sih tim pemasaran sebuah penerbit? Apakah tim pemasaran yang terbatas jumlahnya itu bisa menangani ribuan judul?

Karena terbatasnya sumber daya inilah maka banyak buku tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Buku-buku tertentu dari penulis best seller biasanya mendapatkan perhatian lebih dari penerbit. Sedangkan buku-buku yang berasal dari penulis non-best seller cenderung terabaikan promosinya.

Ketika sebuah buku kurang dipromosikan maka dampaknya tentu saja buku tersebut kurang dikenal masyarakat. Tak heran, buku-buku yang kurang dipromosikan itu menjadi buku yang pergerakannya lambat alias tidak laku. Buku-buku tidak laku inilah yang kerap menumpuk di gudang dan dalam kurun waktu lebih kurang setahun akan menjadi buku obral.

Minat Baca Masyarakat yang Masih Rendah


Faktor lain yang juga berpengaruh adalah minat baca masyarakat. Tak bisa dipungkiri, masyarkat kita (Indonesia) dikenal sebagai masyarakat yang "katanya" kurang suka membaca. Dari 1000 orang mungkin hanya ada 1 orang yang punya minat baca tinggi. Karena rendahnya mina baca masyarakat, tak heran buku bukan menjadi kebutuhan pokok.

Tampaknya, mengunjungi toko buku secara rutin, membaca buku di perpustakaan bukanlah kebiasaan masyarkat kita. Sebagian besar anak muda kita cenderung lebih suka nongkrong berjam-jam di cafe untuk ngobrol ketimbang berselanjar di lautan ilmu bernama perpustakaan. Kebiasaan inilah yang menyebabkan angka pembelian buku di Indonesia masih sangat kecil.

Data Ikapi tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah buku terjual di Indonesia sepanjang 2013 hanya di kisaran 33 juta buku. Bayangkan, hanya 33 juta buku padahal penduduk Indonesia sudah lebih dari 250 juta jiwa.

Andai minat baca masyarkat semakin meningkat tentu saja jumlah buku terjual di Indonesia akan semakin banyak. Makin banyak buku terjual tentu saja makin sedikit buku yang menumpuk di gudang penerbit.

Buku Obral, Berkah atau Musibah?


Saya memandang buku obral sebagai sebuah berkah. Mengapa berkah? Karena lautan buku obral yang dijual menyaikan hamparan ilmu yang amat luas, yang mana ilmu-ilmu itu bisa kita dapat dengan biaya yang amat terjangkau. Bagi para pecinta buku jelas pesta buku obral adalah momen sakral, momen di mana kita bisa berpesta buku dengan biaya yang murah.

Dengan uang 150 ribu kita sudah memborong belasan buku. Bagi kita para penulis, tentu saja asupan gizi dari buku-buku obral amatlah menyegarkan. Bayangkan, berapa banyak inspirasi yang bisa kita petik, berapa banyak ide baru yang bisa kita munculkan setelah membaca belasan buku yang diborong dengan harga 150 ribu. Tak jarang dari ide-ide segar tersebut kita bisa menghasilkan karya-karya baru yang lebih keren, lebih kece, lebih segar dan jauh lebih dahsyat. Bukan tidak mungkin ide yang kita petik dari buku seharga 10 ribu bisa menjadi ide buku best seller dengan omzet milyaran Rupiah per tahun. :)

Penulis Harus Mengambil Tanggung Jawab Pribadi Untuk Memasarkan Buku-Bukunya


Masih dari sudut pandang penulis, agar buku-buku kita tak terpajang indah di lantai obral maka kita harus berperan menjadi pemasar dari buku-buku kita. Seperti yang sudah diuraikan di awal tulisan ini, sumber daya yang dimiliki oleh penerbit amatlah terbatas. Jika kita tidak mengambil tanggung jawab pribadi, maka bisa jadi buku kita akan kurang promosi dan dalam hitungan bulan nasibnya akan berakhir tragis di lantai obral.

Hadirnya teknologi internet dan media sosial telah membuka peluang bagi kita para penulis untuk menjadi seorang pemasar andal. Kini siapapun bisa menjadi publisher, siapapun bisa belajar menjadi marketer andal dengan internet. Media-media sosial seperti Twitter, blog, Facebook sudah menanti untuk kita pakai sebagai senjata pemasaran buku-buku kita.

[caption id="attachment_343943" align="aligncenter" width="500" caption="Manfaatkan blog untuk menjadi sarana pemasaran buku-buku kita. Mengelola blog itu praktis dan murah kok."]

1419843271655171767
1419843271655171767
[/caption]

Apalagi jika kita rutin mengisi seminar atau workshop. Tentu saja acara-acara macam seminar bisa kita manfaatkan untuk branding, promosi dan bahkan selling.

[caption id="attachment_343945" align="aligncenter" width="472" caption="Manfaatkan juga grup di Facebook untuk membangun list pembaca buku Anda."]

14198435061316345043
14198435061316345043
[/caption]

Dengan demikian, fenomena buku obral tak perlu kita pandang sebagai mimpi buruk. Jika memang toh buku kita harus masuk deretan buku obral tak usahlah lama bersedih. Manfaatkan fenomena buku obral untuk mendulang sebanyak mungkin ide dan pengetahuan baru. Setelah kita kenyang ide habis belanja buku obral, barulah kita bangun sistem pemasaran yang tangguh untuk mencegah terjerembabnya buku kita ke lautan buku obral di masa depan.

Salam menulis dan mari jadi pecinta buku! :)

Jefferly Helianhtusonfri

Penulis berusia 17 tahun yang sudah menulis lebih dari 26 buku internet marketing.

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara yang bermimpi menjadi CEO Kompas Gramedia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun