Faktor lain yang juga berpengaruh adalah minat baca masyarakat. Tak bisa dipungkiri, masyarkat kita (Indonesia) dikenal sebagai masyarakat yang "katanya" kurang suka membaca. Dari 1000 orang mungkin hanya ada 1 orang yang punya minat baca tinggi. Karena rendahnya mina baca masyarakat, tak heran buku bukan menjadi kebutuhan pokok.
Tampaknya, mengunjungi toko buku secara rutin, membaca buku di perpustakaan bukanlah kebiasaan masyarkat kita. Sebagian besar anak muda kita cenderung lebih suka nongkrong berjam-jam di cafe untuk ngobrol ketimbang berselanjar di lautan ilmu bernama perpustakaan. Kebiasaan inilah yang menyebabkan angka pembelian buku di Indonesia masih sangat kecil.
Data Ikapi tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah buku terjual di Indonesia sepanjang 2013 hanya di kisaran 33 juta buku. Bayangkan, hanya 33 juta buku padahal penduduk Indonesia sudah lebih dari 250 juta jiwa.
Andai minat baca masyarkat semakin meningkat tentu saja jumlah buku terjual di Indonesia akan semakin banyak. Makin banyak buku terjual tentu saja makin sedikit buku yang menumpuk di gudang penerbit.
Buku Obral, Berkah atau Musibah?
Saya memandang buku obral sebagai sebuah berkah. Mengapa berkah? Karena lautan buku obral yang dijual menyaikan hamparan ilmu yang amat luas, yang mana ilmu-ilmu itu bisa kita dapat dengan biaya yang amat terjangkau. Bagi para pecinta buku jelas pesta buku obral adalah momen sakral, momen di mana kita bisa berpesta buku dengan biaya yang murah.
Dengan uang 150 ribu kita sudah memborong belasan buku. Bagi kita para penulis, tentu saja asupan gizi dari buku-buku obral amatlah menyegarkan. Bayangkan, berapa banyak inspirasi yang bisa kita petik, berapa banyak ide baru yang bisa kita munculkan setelah membaca belasan buku yang diborong dengan harga 150 ribu. Tak jarang dari ide-ide segar tersebut kita bisa menghasilkan karya-karya baru yang lebih keren, lebih kece, lebih segar dan jauh lebih dahsyat. Bukan tidak mungkin ide yang kita petik dari buku seharga 10 ribu bisa menjadi ide buku best seller dengan omzet milyaran Rupiah per tahun. :)
Penulis Harus Mengambil Tanggung Jawab Pribadi Untuk Memasarkan Buku-Bukunya
Masih dari sudut pandang penulis, agar buku-buku kita tak terpajang indah di lantai obral maka kita harus berperan menjadi pemasar dari buku-buku kita. Seperti yang sudah diuraikan di awal tulisan ini, sumber daya yang dimiliki oleh penerbit amatlah terbatas. Jika kita tidak mengambil tanggung jawab pribadi, maka bisa jadi buku kita akan kurang promosi dan dalam hitungan bulan nasibnya akan berakhir tragis di lantai obral.
Hadirnya teknologi internet dan media sosial telah membuka peluang bagi kita para penulis untuk menjadi seorang pemasar andal. Kini siapapun bisa menjadi publisher, siapapun bisa belajar menjadi marketer andal dengan internet. Media-media sosial seperti Twitter, blog, Facebook sudah menanti untuk kita pakai sebagai senjata pemasaran buku-buku kita.
[caption id="attachment_343943" align="aligncenter" width="500" caption="Manfaatkan blog untuk menjadi sarana pemasaran buku-buku kita. Mengelola blog itu praktis dan murah kok."]
Apalagi jika kita rutin mengisi seminar atau workshop. Tentu saja acara-acara macam seminar bisa kita manfaatkan untuk branding, promosi dan bahkan selling.
[caption id="attachment_343945" align="aligncenter" width="472" caption="Manfaatkan juga grup di Facebook untuk membangun list pembaca buku Anda."]