Menurut Vygotsky, setiap individu berkembang dalam konteks sosial.
Semua perkembangan intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran,
persepsi, dan kesadaran bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah
intrapersonal. Mekanisme yang mendasari kerja mental tingkat tinggi itu
merupakan salinan dari interaksi sosial (Confrey, 1995:38; Taylor, 1993:3).
Dalam pandangan Vygotsky, semua kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia
mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial setiap individu dalam konteks budaya
tertentu (Brunning, 1995:218). Atau dengan meminjam istilah Wilson dkk.
(1993:80), kognisi merupakan internalisasi dari interaksi sosial. Teori kognisi
sosial dari Vygotsky ini mendorong perlunya landasan sosial yang baru untuk
memahami proses pendidikan.
Vygotsky sangat menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan
dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia (Slavin,
2000:46). Vygotsky (dalam Ormrod, 1995:178) menyatakan bahwa, children's
cognitive development is promoted and enchanced through their interaction with
more advanced and capable individuals. Menurut Vygotsky siswa sebaiknya
belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih
mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya
perkembangan intelektual siswa. Konsep ini oleh Vygotsky dinamakan
pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship). Pemagangan kognitif mengacu
pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh
keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah
orang yang menguasai permasalahan yang dipelajari. Jadi, dapat berupa orang
dewasa atau kawan sebaya (Slavin, 2000:270).
Setiap anak akan melewati dua tingkat (level) dalam proses belajar, yaitu
pertama pada level sosial, yaitu anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan
kedua pada level individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi (Jones &
Thornton, 1993:18). Menurut Solso (1991:384), internalisasi merupakan proses
transformasi tindakan eksternal (perilaku) menjadi kerja psikologis internal
(proses). Jones & Thornton (1993:21) menggambarkan kondisi ini seperti gambar
di bawah ini.
Gambar 1. Dua Level Pembelajaran (Jones & Thornton, 1993:21)
Dari uraian di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru
hendaknya mengorganisasi situasi kelas dan menerapkan strategi pembelajaran
yang memungkinkan siswa saling berinteraksi dengan temannya dan guru, serta
menstimulus keterlibatan siswa melalui pemecahan masalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI