Mohon tunggu...
Jeje
Jeje Mohon Tunggu... Sejarawan - Bertahan

Human Action-Human Factor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pedesaan Masyarakat Jawa

23 Oktober 2020   15:34 Diperbarui: 23 Oktober 2020   15:41 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ciri khusus tanah milik komunal adalah kesamarataan formal dalam membagi bagian garapan kepadapara petani yang memberikan layanan kerja. Menurut Kano ada tiga cara untuk   melakukan redistribusi tanah:

  • kepala desa menentukan distribusi tanah garapan;
  • persetujuan antara para penggarap yang mendapatkan bagian garapan;
  • tanah garapan bagi kepala desa dan pamong desa lainnya ditentukan terlebih dahulu berdasarkan persetujuan antara para penggarap, dan kemudian digilir setiap waktu dalam urutan yang sama.

Kano menjelaskan bahwa cara ketiga yang paling populer. Pada umumnya para penggarap melakukan redistribusi sendiri dengan sedikit campur tangan kepala desa.

Konsekuensi dari kepemilikan tanah dalam tradisi kerajaan yang terus dijalankan oleh pemerintahan kolonial adalah kerja wajib untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Penduduk yang menggarap tanah diwajibkan untuk membayar sewa tanah sebagai pengganti pajak bumi. Pembayaran sewa tanah pada awalnya merupakan kewajiban individual. Karena cara ini tidak berjalan, maka kewajiban tersebut dibebankan kepada desa. Dalam perkembangannya desa berkembang menjadi lembaga pemungut pajak

Pada periode tanam paksa pajak dapat dibayarkan dalam bentuk penyerahan seperlima luas tanah da tenaga kerjanya untuk ditanami tanaman ekspor, terutama tebu/gula dan kopi. Dengan demikian, sebagaimana laporan hasil penelitian desa di Kabupaten Malang, pemilik tanah memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dibayar kepada negara.

Untuk kasus Kabupaten Malang, setiap gogol kenceng dalam satu tahun memiliki kewajiban bekerja baik untuk pemerintah kolonial maupun untuk kepala desa selama 56 hari. Gogol setengah kenceng 49 hari, dan numpangkarang selama 45 hari pertahun. Mereka dapat dibebaskan dari beban kerja wajib jika membayar uang sejumlah delapan sampai dua belas gulden pertahun yang harus dibayarkan kepada kepala desa.  Sedangkan nusup atau kempitan, karena tidak memiliki tanah, tidak memiliki kewajiban untuk melakukan kerja bakti.

Secara sosial, masyarakat di pedesaan di Jawa pada abad ke-19 terbagi dalam kelas-kelas sosial yang sangat kaku.Meskipun setiap daerah memiliki istilah yang berbeda-beda dalam menyebutkan stratifikasi sosialnya, tetapi intinya mesyarakat di pedesaan Jawa terbagi dalam dua kelas yang sangat kontras dalam oposisi biner, yaitu pemilik tanah dan kelasyang tidak memiliki tanah, yang oleh beberapa sarjana Barat disebut dalam istilah the have dan the have not. Stratifikasi sosial pada masyarakat di pedesaan Jawa ditentukan oleh pola penguasaan terhadap tanah

Tanah di Jawa pada abad ke-19 sebagian besar bentuknya tanah komunal. Hak menggarap atas tanah komunal ditentukan oleh kepala desa. Di beberapa daerah di Jawa, tanah komunal diberikan kepada penduduk yang memiliki beban wajib kerja, yang dalam hal ini adalah mereka yang sudah memiliki tanah.

Desa memiliki fungsi juga sebagai lembaga penyedia tenaga kerja bagi keperluan penanaman produk-produk pertanian ekspor. Untuk mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi kebutuhan, pemerintah desa membagi tanah komunal secara lebih luas kepada masyarakat desa. Semakin banyak masyarakat yang menggarap tanah, semakin banyak jumlah orang yang memiliki tanggung jawab wajib kerja.

Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat pada abad ke-19, pembagian tanah menjadi semakin kecil. Tanah yang ada yang tidak bertambah, dibagi dalam jumlah penduduk yang semakin besar. Dengan demikian, yang terjadi bukan bertambahnya kesejahteraan penduduk seiring dengan perkembangan zaman, tetapi yang terjadi justru kemunduran, yang oleh Geertz disebut sebagai involusi.

Sutardjo Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk desa Jawa menjadi beberapa lapisan sosial berdasarkan faktor pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu:

  • warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan
  • warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan.
  • warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain.
  • warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain.
  • pemuda yang belum kawin.

berdasarkan kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial masyarakat desa di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kriteria:

  • luas/sempitnya pemilikan atau penguasaan tanah,
  • adanya pihak lain di luar sektor pertanian,
  •  sistem persewaan atau penguasaan tanah, dan
  • sifat pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun