Mohon tunggu...
Jeje
Jeje Mohon Tunggu... Sejarawan - Bertahan

Human Action-Human Factor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pedesaan Masyarakat Jawa

23 Oktober 2020   15:34 Diperbarui: 23 Oktober 2020   15:41 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karakteristik pemerintahan kolonial Belanda adalah eksploitatif. Mereka berusaha mengeksploitasi tanah jajahan untuk kepentingan negeri induknya. Desa sebagai satuan  terkecil memperoleh dampak yang paling berat dalam sistem eksploitasi kolonial. Unsur paling penting dalam masyarakat desa adalah tanah dan tenaga kerja. Tanah digunakan untuk menjamin tersedianya lahan guna penanaman tanaman ekspor, dan tenaga kerja diperlukan untuk menanam tanaman ekspor yang dikembangkan oleh pemerintahan kolonial.

Dalam konteks kerajaan-kerajaan di Jawa, tanah adalah miliki raja sehingga siapapun yang menggarap tanah memiliki kewajiban-kewajiban tertentu seperti kerja wajib untuk kepentingan kerajaan, perbaikan jalan, pemeliharaan irigasi, dan ronda malam.Bagi penduduk desa, tanah adalah sumber utama penghidupan. Meskipun hampir semua masyarakat di pedesaan hidup dari pertanian, secara sosial tidak dapat dilihat bahwa masyarakat pedesaan di Jawa bersifat homogeny

Masyarakat di Jawa sangat heterogen, terbagi dalam stratifikasi sosial yang sangat kompleks. Perbedaan kelas dalam masyarakat pedesaan di Jawa didasarkan atas penguasaannya terhadap tanah. Petani penguasa tanah di Jawa disebut sikep. Sikep memiliki tanah dari raja langsung atau melalui kaum priyayi di daerah tertentu. Jika raja atau priyayi memerlukan kerja bakti atau sumbangan beras, dapat memerintahkan kepada kepala desa untuk membentuk sikep baru. Setiap sikep mendapatkan tanah dua bau dengan syarat raja atau priyayi mendapatkan pelayanan berupa tenaga kerja atau beras.

Sikep baru dapat terbentuk dari perluasan tanah baru atau dari pembagian ulang penggarapan tanah-tanah komunal. Sebagai pemilik tanah, sikep memiliki berbagai tanggungan sosial berupa berbagai jenis kerja bakti untuk Negara sebagai pengganti pajak. Karena mereka tidak mungkin dapat mengerjakan berbagai kerja wajib tersebut, ia memiliki berbagai bujang, yaitu orang yang belum kawin dan menumpang hidup di tempat seorang sikep.

Dalam hal makanan dan tempat tinggal, petani numpang sangat tergantung kepada sikep. Petani numpang tidak memiliki kewajiban terhadap Negara seperti kerja bakti atau pajak, tetapi mencurahkan pengabdiannya sepenuhnya terhadap sikep. Karena itu, petani numpang merupakan lapisan sosial yang paling rendah di pedesaan.

Struktur rumahtangga pedesaan di Jawa berhubungan langsunng dengan cara bagaimana pertanian di negeri ini dikelola didasarkan pada kepemilikan komunal atas semua tanah, termasuk milik desa. Menurut tradisi kepemilikan ini hanya jatuh pada sekelompok penduduk desa tertentu, dan di antara mereka dibagi tidak merata; ada satu golongan yang mendapatkan hak untuk memiliki tanah, sementara suatu kelompok lain tidak memilikinya.

Dalam hal tertentu pemeilik tanah sangat tergantung kepada bagaimana mereka menguasai pekerja-pekerja individual yang mampu dibayarnya. Pemiliki tanah dapat melepaskan lahan seluas tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemilik tanah akan membayarkan separuh panen kepada cacah atau kepala adatnya, atau juga menyisihkan sebagian untuk mengganti kerja yang perlu mereka lakukan

Pemilik tanah memilih hak untuk ikut serta dalam pemerintahan desa, termasuk hak dipilih dan memilih kepada desa, tetapi sebaliknya, mereka harus menanggung kewajiban-kewajiban yang harus dibayar kepada negara, seperti pajak, kerja wajib untuk ronda malam, pembersihan jalan dan saluran air dan sejenisnya.

Para pemilik tanah tidak mungkin dapat menjerjakan sendiri tanahnya sehingga perlu menampung orang-orang yang tidak memiliki tanah yang disebut bujang atau numpang. Biaya hidup bujang atau numpang ditanggung oleh pemilik tanah yang ditumpangi. Sebagai imbalannya, orang yang numpang memiliki kewajiban untuk bekerja di tanah-tanah pemilik tanah yang ditumpangi. Mereka juga dapat menggantikan peran pemilik tanah untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan wajib. Hubungan antara pemiliki tanah dengan para bujang sifatnya adalah hubungan kawula-gusti.

Tanah-tanah di Jawa sebagian besar berupa merupakan tanah komunal. Bentuk-bentuk tanah komunal ini lebih mudah untuk dipindahtangankan kepada mereka yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengarap tanah dan melakukan kerja wajib untuk desa dan pemerintahan di atasnya, termasuk untuk perkebunan-perkebunan baik miliki pemerintah maupun swasta.

Peran kepala desa sangat penting dalam pengaturan kepemilikan tanah dan pengerahan tenaga kerja. Karena itu, syarat utama bagi penduduk desa yang mendapatkan tanah komunal adalah harus mau dan mampu melakukan kerja wajib.  Syarat kedua, sudah menikah, dan ketiga adalah harus sudah memiliki pekarangan dan rumah. Melihat syarat yang ketiga ini, sebetulnya bahwa untuk mendapatkan tanah komunal  adalah mereka yang merupakan orang yang memiliki tanggung jawab melakukan kerja wajib. Dengan demikian pembagian tanah komunal sebenarnya merupakan imbalan bagi mereka yang mendapatkan beban kerja wajib

Ciri khusus tanah milik komunal adalah kesamarataan formal dalam membagi bagian garapan kepadapara petani yang memberikan layanan kerja. Menurut Kano ada tiga cara untuk   melakukan redistribusi tanah:

  • kepala desa menentukan distribusi tanah garapan;
  • persetujuan antara para penggarap yang mendapatkan bagian garapan;
  • tanah garapan bagi kepala desa dan pamong desa lainnya ditentukan terlebih dahulu berdasarkan persetujuan antara para penggarap, dan kemudian digilir setiap waktu dalam urutan yang sama.

Kano menjelaskan bahwa cara ketiga yang paling populer. Pada umumnya para penggarap melakukan redistribusi sendiri dengan sedikit campur tangan kepala desa.

Konsekuensi dari kepemilikan tanah dalam tradisi kerajaan yang terus dijalankan oleh pemerintahan kolonial adalah kerja wajib untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Penduduk yang menggarap tanah diwajibkan untuk membayar sewa tanah sebagai pengganti pajak bumi. Pembayaran sewa tanah pada awalnya merupakan kewajiban individual. Karena cara ini tidak berjalan, maka kewajiban tersebut dibebankan kepada desa. Dalam perkembangannya desa berkembang menjadi lembaga pemungut pajak

Pada periode tanam paksa pajak dapat dibayarkan dalam bentuk penyerahan seperlima luas tanah da tenaga kerjanya untuk ditanami tanaman ekspor, terutama tebu/gula dan kopi. Dengan demikian, sebagaimana laporan hasil penelitian desa di Kabupaten Malang, pemilik tanah memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dibayar kepada negara.

Untuk kasus Kabupaten Malang, setiap gogol kenceng dalam satu tahun memiliki kewajiban bekerja baik untuk pemerintah kolonial maupun untuk kepala desa selama 56 hari. Gogol setengah kenceng 49 hari, dan numpangkarang selama 45 hari pertahun. Mereka dapat dibebaskan dari beban kerja wajib jika membayar uang sejumlah delapan sampai dua belas gulden pertahun yang harus dibayarkan kepada kepala desa.  Sedangkan nusup atau kempitan, karena tidak memiliki tanah, tidak memiliki kewajiban untuk melakukan kerja bakti.

Secara sosial, masyarakat di pedesaan di Jawa pada abad ke-19 terbagi dalam kelas-kelas sosial yang sangat kaku.Meskipun setiap daerah memiliki istilah yang berbeda-beda dalam menyebutkan stratifikasi sosialnya, tetapi intinya mesyarakat di pedesaan Jawa terbagi dalam dua kelas yang sangat kontras dalam oposisi biner, yaitu pemilik tanah dan kelasyang tidak memiliki tanah, yang oleh beberapa sarjana Barat disebut dalam istilah the have dan the have not. Stratifikasi sosial pada masyarakat di pedesaan Jawa ditentukan oleh pola penguasaan terhadap tanah

Tanah di Jawa pada abad ke-19 sebagian besar bentuknya tanah komunal. Hak menggarap atas tanah komunal ditentukan oleh kepala desa. Di beberapa daerah di Jawa, tanah komunal diberikan kepada penduduk yang memiliki beban wajib kerja, yang dalam hal ini adalah mereka yang sudah memiliki tanah.

Desa memiliki fungsi juga sebagai lembaga penyedia tenaga kerja bagi keperluan penanaman produk-produk pertanian ekspor. Untuk mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi kebutuhan, pemerintah desa membagi tanah komunal secara lebih luas kepada masyarakat desa. Semakin banyak masyarakat yang menggarap tanah, semakin banyak jumlah orang yang memiliki tanggung jawab wajib kerja.

Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat pada abad ke-19, pembagian tanah menjadi semakin kecil. Tanah yang ada yang tidak bertambah, dibagi dalam jumlah penduduk yang semakin besar. Dengan demikian, yang terjadi bukan bertambahnya kesejahteraan penduduk seiring dengan perkembangan zaman, tetapi yang terjadi justru kemunduran, yang oleh Geertz disebut sebagai involusi.

Sutardjo Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk desa Jawa menjadi beberapa lapisan sosial berdasarkan faktor pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu:

  • warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan
  • warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan.
  • warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain.
  • warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain.
  • pemuda yang belum kawin.

berdasarkan kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial masyarakat desa di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kriteria:

  • luas/sempitnya pemilikan atau penguasaan tanah,
  • adanya pihak lain di luar sektor pertanian,
  •  sistem persewaan atau penguasaan tanah, dan
  • sifat pekerjaan.

Smith dan Zopf secara umum membedakan dua pola umum desa yaitu

  • desa sistem satu kelas dan desa sistem dua kelas atau desa di mana pemilikan lahan pertanian penduduk mempunyai luas yang rata-rata sama.
  • Sedangkan desa sistem dua kelas adalah tipe desa di mana terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas pemilikan lahan pertanian.  Di dalam desa sistem satu kelas terdapat pelapisan/stratifikasi sosial,sedangkan di dalam desa sistem dua kelas terdapat polarisasi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun