Mohon tunggu...
Jeni fitriasha
Jeni fitriasha Mohon Tunggu... -

Eks. mahasiswa Psikologi. Pemilik sunyiberdialog.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu/Guru

21 Juni 2016   12:50 Diperbarui: 21 Juni 2016   13:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sambil memotong sawo, ibu bercerita mengenai sekolah tempat ia mengajar; “Sekarang di sekolah guru-guru dilarang sakit, Pak. Kalau sakit tunjangan profesinya dipotong. Ya, sesuai dengan lama waktu sakitnya. Kalau sakitnya lebih dari tiga hari, dipotong tunjangan profesinya sebanyak satu bulan.”

“Itu benaran, Buk?” bapak terkejut tidak percaya. Beliau nyaris tersedak potongan buah sawo.

“Iya! Sudah ada bukti nyata!” Ibu menawarkan satu potong untukku. Aku menggeleng, menolak. Beberapa kali makan buah sawo, getahnya tidak ramah dengan tenggorokanku. Selalu sesudah memakannya aku batuk-batuk sampai berhari-hari.

“Masa iya?” bapak kembali terkejut, masih sulit percaya.

“Itu, salah satunya pak Harris guru matematika. Beliau kena demam berdarah, cuti selama enam hari. Oleh sekolah dikeluarkan kabar bahwa tunjangan profesinya dipotong 2 bulan. Dua bulan, Pak!”

“Itu gaji yang dipotong larinya kemana ya, Buk?” Aku jadi ingin tahu dan penasaran.

“Ndak tahu, dimakan tikus kali!” ibu berdiri mengambil pisau dan piring sawo yang sudah kosong, lalu berjalan meninggalkan ruang tengah menuju dapur.

“Kebijakan ndak jelas!” Aku menoleh, melihat bapak sedang membolak-balik halaman koran. Sepertinya beliau masih sulit percaya bahwa cerita ibu itu adalah kenyataan.

*

Dua hari setelah obrolan tersebut, aku melihat ibu pulang dari mengajar di sekolah dengan wajah lesu. Beliau terduduk lunglai di kursi ruang tengah. Tas kerjanya terkulai di lantai. Aku menghampiri beliau dan bertanya apa ibu baik-baik saja?

“Dek, rasanya ibu kurang enak badan.” Kuambilkan segelas air putih. Lalu langsung diminumnya sampai habis. Lelah sekali nampaknya ibu.

“Kalau ibu sakit, bagaimana ini? Nanti tunjangan tambahan ibu akan dipotong.” Aku hanya bisa mengatakan pada ibu bahwa ia tidak akan sakit, beliau hanya cukup istirahat saja. Ibu tersenyum mendengar ucapanku. Wajahnya memang pucat dan bibirnya pecah-pecah. Setelah duduk sebentar di ruang tengah, ibu bangkit dan berjalan dengan langkah gontai menuju kamarnya. Aku memperhatikan beliau sambil menonton berita tentang Cicak vs Buaya jilid 2.

Keesokan harinya ibu benar-benar sakit. Ibu meriang dan berat untuk bangkit dari tempat tidur. Bapak sudah membawa ibu ke rumah sakit untuk berobat. Dokter bilang ibu kena tipus. Raut muka bapak tampak sedih ketika menerima resep dokter. Tapi ibu tak kalah sedih dari bapak. Ibu bahkan nyaris menangis waktu dokter bilang ibu harus istirahat total selama satu minggu penuh. Tidak boleh kemana-mana dan sangat dianjurkan untuk berbaring saja di tempat tidur. Berjalan jika ibu hanya ingin ke toilet dan ganti baju. Untuk makan pun sebaiknya dibawakan. Ibu harus benar-benar istirahat, berhenti dari aktifitas apa pun. Lalu ketika dokter menambahkan penjelasannya, ibu benar-benar mulai menangis. Aku sibuk mengusap-usap punggung dan memegangi tangannya.

“Kalau selama satu minggu gejala tipusnya tak berkurang, terpaksa ibu harus dirawat di rumah sakit sampai sembuh total.”

Aku heran mengapa ibu bisa menangis seperti itu, menanggapi penyakitnya secara dramatis begitu. Tapi setelah pulang dari rumah sakit, ibu langsung bergegas ke dapur mengambil segelas air putih dan minum obat. Lalu tanpa babibubebo, ibu mengganti bajunya dan langsung naik ke atas tempat tidur.

“Ibu ndak mau sakit lama-lama Dek, nanti tunjangan profesi ibu dipotong dua bulan. Satu bulan saja dipotong ruginya banyak apalagi dua bulan. Jadi udah, cukup dua sampai tiga hari saja ibu sakitnya, Dek. Setelah itu ibu harus sehat. Harus bisa ngajar lagi di sekolah. Rugi dikit mau bagaimana lagi. Namanya juga manusia, bisa sakit tiba-tiba. Mati aja juga bisa tiba-tiba. Iya kan, Dek?”

Aku terkejut ibu bilang begitu. Semakin tekun aku urut kaki ibu di atas tempat tidur. Ucapannya membuat aku khawatir. Seandainya aku sudah bisa dapat pekerjaan, ibu tak perlu pusing-pusing memikirkan gaji tambahan. Tapi ya, nasib. Setelah lima tahun lepas dari kuliah, sudah berpuluh-puluh kali aku masukkan lamaran pekerjaan, tak ada satu pun surat panggilan kerja di antar ke rumahku. Akhirnya ya begini, aku cuma di rumah saja, sesekali keluar untuk bertemu teman-teman lama yang sudah sukses-sukses. Setiap berkumpul mereka selalu bercerita tentang sibuk di sini, sibuk di sana, susahnya bekerja di sini, susahnya bekerja di sana, gajinya kurang, gajinya pas-pasan, gajinya cuma cukup untuk angsuran kredit mobil, begini dan begitu. Kalau mereka sudah bercerita tentang hal-hal itu aku cuma bisa nyeletuk, “Hah?” atau “Oh!” atau “Wah!” dan “Oya?”. Sejujurnya, aku belum paham benar dengan dunia mereka tapi aku hanya tidak mau terlalu tampak bodoh saja.

Jadi sudah tiga hari ibu tidak mengajar ke sekolah karena tipes. Pada hari ke tiga, ibu tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya. Dengan baju hangat dan telapak kaki yang dibungkus kaos kaki, ibu melangkah terseok-seok keluar kamar. Ketika itu kami sekeluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Ada aku, bapak, Rifal adik laki-lakiku nomor dua, ada Inge adik perempuanku yang ketiga, juga ada mbak Nuk adik perempuanku yang terakhir. Kami tengah serius menonton debat politik di salah satu stasiun tv. Ketika bapakku lagi geleng-geleng kepala sambil tertawa terbahak-bahak, ibu datang dan duduk di sampingnya.

“Nonton apa sih kalian? Nonton lawakan?” tanya ibu tanpa melihat layar televisi.

“Ini Buk, debat politik. Kok, dibilang lawakan?” kata bapak.              

“Habis dari tadi di kamar ibu dengar kalian ketawa terus. Apanya sih yang lucu?”

“Ibuk gimana badannya udah enakan?” tanya Rifal sembari mengutak-atik handphonenya.

“Udah! Ini ibuk udah bisa jalan kemana-mana. Besok ibuk udah bisa ngajar lagi.” Ibu tersenyum, sambil menggerak-gerakkan bahu dan tangannya (seperti sedang pemanasan). Ibuk tampaknya ingin membuktikan bahwa ia memang sudah sehat. Kami saling pandang penuh curiga. Tapi juga tidak ingin mematahkan semangat ibu untuk pergi mengajar besok hari. Jadi kami hanya diam saja dan memberi semangat.

Benar saja, keesokan harinya aku sudah tidak menemukan ibu di rumah. Bapak bilang, ibu diantarnya ke sekolah untuk mengajar sewaktu aku pergi ke kedai belakang rumah untuk membeli keperluan dapur. Kulihat guratan kekhawatiran di muka bapak. Lalu aku tanya kenapa itu wajah Bapak kok sedih?

“Ibuk, Dek. Bapak rasa beliau masih belum sehat-sehat benar.” Aku mengangguk, sependapat. Kemudian aku tanya sekali lagi, kita mesti bagaimana  Pak?

“Ya, sepertinya ibumu takut kalau kebanyakan libur nanti uangnya dipotong. Libur tiga hari saja dipotongnya sampai satu bulan. Berarti kalau liburnya kelamaan, bisa-bisa ibumu ndak terima tunjangan profesi sama sekali dong.” Kembali aku mengangguk-angguk sependapat. Lalu juga kembali aku bertanya pada bapak, kita mesti bagaimana?

Pertanyaanku tidak bisa dijawab bapak. Beliau hanya diam saja. Ia minta aku bikinkan kopi, jangan manis-manis. Pahit sedikit biar sama rasanya dengan kehidupan. Begitu celoteh beliau. Aku tertawa mendengarnya, tertawa miris.

Setelah larut dalam nikmatinya kopi, beliau hidupkan televisi. Gosip selebriti tayang dengan suara yang besar sehingga membuat bapak terperanjat kaget. Buru-buru beliau kembali mengambil remote tv dan membuat volumenya jadi ramah di telinga. Aku duduk di samping bapak sambil mengupas kulit kentang. Adik-adikku seperti biasa, dari pagi sampai sore mereka sekolah, kuliah dan berkegiatan di luar rumah. Jadi sehari-hari aku yang selalu setia menemani bapak yang sudah empat tahun pensiun dari pegawai perusahaan swasta. Sejak pensiun bapak kembali serius mengasah kemampuan menulisnya. Jika beliau berhasil membuat satu tulisan, pasti segera dikirim ke koran, lalu honornya dipakai hanya buat kebutuhan hiburan seperti dihabiskan untuk makan bersama di luar rumah.

Sedang santai-santai melihat Syahrini pamer mobil mewah dan perhiasan mahalnya, handphone bapak berdering. Segera bapak bangkit dan mengambil handphonenya yang sedang diisi baterei di atas rak buku yang tak jauh dari meja tivi.

Halo, kata bapak dengan suara yang keras. Aku sudah biasa mendengar bapak bicara dengan nada lebih keras jika sedang menerima telepon lewat handphonenya. Orang-orang tua kebanyakan begitu. Mungkin mereka mengira, karena jarak bicara yang jauh, ya supaya kedengaran jelas harus teriak-teriak. Aku paham dan maklum.

Tiba-tiba raut muka bapak kembali kulihat cemas dan khawatir. Handphone ia masukkan ke saku celananya setelah pembicaraan usai. Aku memandangi bapak juga dengan raut muka yang tak kalah khawatirnya.

“Ibukmu, Dek.” Ibuk kenapa tanyaku pada bapak.

“Pingsan di kelas.”

Beberapa detik, kami berdua terdiam. Bingung, takut dan cemas. Sejurus kemudian, bapak langsung ke kamar, mengambil dompetnya dan kunci mobil. Aku juga langsung masuk kamarku, mengganti baju, mengambil dompet dan handphone. Lalu segera keluar, kulihat bapak sudah duduk di ruang tengah menungguku.

“Ayo kita jemput ibukmu, Dek.” Aku mengangguk, paham.

*

Hari ini, hari ke tujuh. Rumah dipadati ibuk-ibuk dari pengajian yang selalu rutin ibu datangi setiap malam rabu. Bukan hanya ibuk-ibuk dari pengajian tapi juga teman-teman ibu di sekolah tempat beliau mengajar, hampir semuanya datang ke rumah. Sanak-saudara juga begitu.

Aku sebagai kakak tertua, mulai kelimpungan menghadapi para tamu. Adik-adikku juga tidak kalah bingungnya. Aku rasa mulai sekarang mereka harus terbiasa, bekerja seperti ini sendiri-sendiri. Kucari di mana bapak, di antara wajah para tamu. Kutemukan wajah letih dan sedih bapak di kelilingi para sanak saudara laki-laki yang duduk bersama. Sejenak aku termenung dengan al quran di tanganku. Di samping bapak duduk, ada Rifal adik lelakiku satu-satunya. Ia juga hanya diam-diam saja sambil menatap kosong ke depan. Kulihat ibuk-ibuk pengajian yang sedang duduk di hadapanku, mereka komat-kamit melafaskan yasin. Lalu aku menoleh ke sebelah kanan, tempat berkumpulnya guru-guru di sekolah ibu mengajar, ada yang memegang al quran, ada juga yang saling berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan.

Mungkin mereka membicarakan soal ibu. Mungkin mereka membicarakan soal diri mereka sendiri atau mereka sedang menerka-nerka kapan Tuhan membuat mereka jatuh sakit biar mereka bisa mempersiapkan diri agar nanti sakitnya tidak jadi datang, atau sakitnya cukup satu hari, dua hari saja. Biar tunjangan profesinya tidak dipotong sampai satu bulan. Seperti yang sudah ibu alami. Karena ibu tidak mengajar selama tiga hari tunjangan profesinya memang dipotong. Lalu di hari kemudian ibu sudah tidak ada.

Ibu sudah tidak ada.

***

Ujung Gurun, 21 Februari 2015

Terbit di Padang Ekspres, 13 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun