Mohon tunggu...
Jeni fitriasha
Jeni fitriasha Mohon Tunggu... -

Eks. mahasiswa Psikologi. Pemilik sunyiberdialog.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu/Guru

21 Juni 2016   12:50 Diperbarui: 21 Juni 2016   13:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Udah! Ini ibuk udah bisa jalan kemana-mana. Besok ibuk udah bisa ngajar lagi.” Ibu tersenyum, sambil menggerak-gerakkan bahu dan tangannya (seperti sedang pemanasan). Ibuk tampaknya ingin membuktikan bahwa ia memang sudah sehat. Kami saling pandang penuh curiga. Tapi juga tidak ingin mematahkan semangat ibu untuk pergi mengajar besok hari. Jadi kami hanya diam saja dan memberi semangat.

Benar saja, keesokan harinya aku sudah tidak menemukan ibu di rumah. Bapak bilang, ibu diantarnya ke sekolah untuk mengajar sewaktu aku pergi ke kedai belakang rumah untuk membeli keperluan dapur. Kulihat guratan kekhawatiran di muka bapak. Lalu aku tanya kenapa itu wajah Bapak kok sedih?

“Ibuk, Dek. Bapak rasa beliau masih belum sehat-sehat benar.” Aku mengangguk, sependapat. Kemudian aku tanya sekali lagi, kita mesti bagaimana  Pak?

“Ya, sepertinya ibumu takut kalau kebanyakan libur nanti uangnya dipotong. Libur tiga hari saja dipotongnya sampai satu bulan. Berarti kalau liburnya kelamaan, bisa-bisa ibumu ndak terima tunjangan profesi sama sekali dong.” Kembali aku mengangguk-angguk sependapat. Lalu juga kembali aku bertanya pada bapak, kita mesti bagaimana?

Pertanyaanku tidak bisa dijawab bapak. Beliau hanya diam saja. Ia minta aku bikinkan kopi, jangan manis-manis. Pahit sedikit biar sama rasanya dengan kehidupan. Begitu celoteh beliau. Aku tertawa mendengarnya, tertawa miris.

Setelah larut dalam nikmatinya kopi, beliau hidupkan televisi. Gosip selebriti tayang dengan suara yang besar sehingga membuat bapak terperanjat kaget. Buru-buru beliau kembali mengambil remote tv dan membuat volumenya jadi ramah di telinga. Aku duduk di samping bapak sambil mengupas kulit kentang. Adik-adikku seperti biasa, dari pagi sampai sore mereka sekolah, kuliah dan berkegiatan di luar rumah. Jadi sehari-hari aku yang selalu setia menemani bapak yang sudah empat tahun pensiun dari pegawai perusahaan swasta. Sejak pensiun bapak kembali serius mengasah kemampuan menulisnya. Jika beliau berhasil membuat satu tulisan, pasti segera dikirim ke koran, lalu honornya dipakai hanya buat kebutuhan hiburan seperti dihabiskan untuk makan bersama di luar rumah.

Sedang santai-santai melihat Syahrini pamer mobil mewah dan perhiasan mahalnya, handphone bapak berdering. Segera bapak bangkit dan mengambil handphonenya yang sedang diisi baterei di atas rak buku yang tak jauh dari meja tivi.

Halo, kata bapak dengan suara yang keras. Aku sudah biasa mendengar bapak bicara dengan nada lebih keras jika sedang menerima telepon lewat handphonenya. Orang-orang tua kebanyakan begitu. Mungkin mereka mengira, karena jarak bicara yang jauh, ya supaya kedengaran jelas harus teriak-teriak. Aku paham dan maklum.

Tiba-tiba raut muka bapak kembali kulihat cemas dan khawatir. Handphone ia masukkan ke saku celananya setelah pembicaraan usai. Aku memandangi bapak juga dengan raut muka yang tak kalah khawatirnya.

“Ibukmu, Dek.” Ibuk kenapa tanyaku pada bapak.

“Pingsan di kelas.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun