Bayangkan kamu sedang membeli emas. Kamu mungkin menguji apakah itu benar-benar emas murni atau hanya campuran. Demikian pula, keraguan adalah cara kita menguji iman kita untuk melihat seberapa kuat dan murninya. Apapun agama Anda, baik itu Kristen, Islam, Budha, dan lain-lain. Semua orang pasti merasa ragu bahwa apa yang mereka yakini itu tidak benar.
Dengan menyadari bahwa apa yang kita yakini tidak benar akan berdampak besar pada cara kita memandang dunia, dan terkadang transisi untuk mengubah cara pandang kita sangatlah sulit dan menakutkan. Mungkin saja kita merasa bersalah karena kita tidak kuat dalam keyakinan kita terhadap sesuatu sehingga kita akhirnya mengutuk diri kita sendiri karenanya.
Artikel ini hadir untuk meyakinkan Anda, bahwa bersikap skeptis terhadap iman Anda bukanlah hal yang buruk. Sebenarnya, pikiran skeptik itu merupakan elemen penting dalam hal kepercayaan.
Kebanyakan orang memikirkan bahwa pemikiran skeptis sering disalah artikan sebagai kekurangan Iman. Sebuah studi pendahuluan dari Paul Tillich di dalam bukunya Dynamics of Faith, dia membahas berbagai jenis keraguan di dalam Iman. Dia membagi keraguan dalam beberapa jenis. Ada dua jenis yang saya mau menyoroti yaitu Metodologis (proses penyelidikan ilmiah) dan keraguan eksistensial (terkait dengan keprihatinan utama seseorang).
Keraguan Metodologis, khususnya, dijelaskan sebagai jenis skeptisisme yang didesain untuk menguji teori, mengungkap kekurangan, dan pada akhirnya membawa kita lebih dekat pada kebenaran.
Aspek kunci dari keraguan metodologis dibuat sebagai verifikator melalui pengujian reliabilitas dan konsistensi dengan tidak sekedar menolak teori secara langsung dan mengarah pada sinisme. tapi untuk membangun teori dengan landasan yang lebih kuat.
Tidak apa-apa kok, kalau Anda mempunyai banyak pertanyaan tentang iman Anda karena hal itu membantu orang-orang percaya memeriksa “bagaimana” dan “mengapa” di balik keyakinan dan doktrin.
Di dalam sisi lain, ada keraguan eksistensial. Berbeda dengan keraguan metodologis, keraguan eksistensial tidak bertujuan untuk mempertanyakan kemungkinan kebenaran secara umum melainkan mengakui ketidakpastian dalam komitmen iman apa pun, terutama ketika berhadapan dengan kebenaran spiritual.
Sederhananya, keraguan muncul ketika kita berkomitmen pada sesuatu yang berarti, mengetahui bahwa selalu ada risiko kekecewaan atau kegagalan.
Keraguan eksistensial adalah jenis keraguan yang muncul ketika seseorang berkomitmen pada keyakinannya. Komitmen semacam ini membawa kerentanan, karena menerima sesuatu pada akhirnya bermakna (seperti Tuhan, cinta, atau kebenaran) juga membawa kemungkinan bahwa keyakinan ini dapat ditentang. Dengan kesadaran ini, keyakinan kita memberikan rasa kerapuhan.
Tenang saja, jangan salahkan keraguan semacam ini sebagai aspek berbahaya dari memiliki iman. Ini berbeda dengan kepastian kebenaran logis atau ilmiah. Keraguan eksistensial merupakan bagian intrinsik dari iman .
Iman, dengan keseluruhan, bukanlah kepastian yang statik maupun kepercayaan yang buta tapi sesuatu yang bisa diafirmasi dengan keraguan. Gordon Allport, sebuah psikolog yang diketahui sebagai orang yang bergairah kepada hal tentang agama berpendapat bahwa iman yang matang berkembang melalui serangkaian keraguan dan afirmasi.
Bagi Allport, Iman itu bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan indikasi keimanan yang hidup dan bertumbuh. Keraguan menantang keyakinan dangkal yang menerima jawaban yang sederhana untuk mendorong orang-orang dengan kepercayaan diri mereka sendiri untuk mengembangkan hubungan yang tangguh dengan apa yang mereka anggap paling utama.
Sebaliknya, menurut Daniel Batson dalam studinya mengenai Measuring Religion as Quest, bagi orang yang mereka yang menganut pendekatan iman yang "tertutup" atau "dogmatis" cenderung menyembunyikan keraguan, karena hal itu mengancam sistem kepercayaan mereka yang kaku. Temuan Batson menunjukkan bahwa pendekatan iman yang berorientasi pada pencarian, yang ditandai dengan keterbukaan terhadap keraguan, sering kali mengarah pada pengalaman spiritual yang lebih dalam dan bermakna.
Hal ini mendorong sikap rendah hati, keterbukaan, dan pertumbuhan yang berkelanjutan, karena keraguan berfungsi sebagai pelindung terhadap penyembahan berhala dan sebagai motivator untuk mencari iman yang lebih dalam dan reflektif.
Dalam perjalanan iman, keraguan bukanlah akhir yang harus ditakuti, melainkan langkah pertama yang perlu dirangkul. Seperti menguji emas untuk memastikan kemurniannya, keraguan membantu kita menguji dan memperkuat keyakinan kita. Menghadapi keraguan dengan keberanian dan kejujuran memungkinkan kita untuk tidak hanya mengejar kebenaran, tetapi juga memperdalam hubungan kita dengan apa yang paling kita yakini.
Jika Anda merasa ragu, ketahuilah bahwa Anda tidak sendiri. Bahkan iman yang paling kuat akan diuji dan direfleksikan sepanjang hidup. Daripada menutup pintu pada keraguan, kita diajak untuk membuka diri terhadap pertanyaan, menjelajahi keyakinan kita dengan kerendahan hati, dan memperkuat iman yang lebih hidup dan autentik.
Justru dengan merangkul keraguan, kita menemukan makna yang lebih dalam dan pertumbuhan yang sejati. Jadi, jangan takut untuk mempertanyakan. Karena di balik setiap pertanyaan, ada peluang untuk menemukan kebenaran yang lebih besar.
***
Referensi:
Allport, G. (1950). The Individual and His Religion: A Psychological Interpretation. Michigan: Macmillan.
Batson, D. (1991). Measuring Religion as Quest: 1) Validity concerns. Journal for the Scientific Study of Religion, 416-429 .
Tillich, P. (1956). Dynamics of Faith. New York: Harper Torchbooks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H