Mohon tunggu...
Jeanne Noveline Tedja
Jeanne Noveline Tedja Mohon Tunggu... Konsultan - Founder & CEO Rumah Pemberdayaan

Jeanne Noveline Tedja atau akrab dipanggil Nane adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan isu kesejahteraan anak dan perempuan, kesetaraan gender, keadilan sosial, toleransi dan keberagaman. Kunjungi website: https://jeannenovelinetedja.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Prinsip Pemenuhan Hak Anak

10 Februari 2019   13:20 Diperbarui: 10 Februari 2019   13:47 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat membaca berita mengenai kejadian yang dialami oleh seorang siswi SD di Kabupaten Bogor yang disuruh melakukan push-up oleh Kepala Sekolah lantaran orangtuanya belum membayar SPP, saya langsung merasa prihatin. 

Terlebih lagi kejadian itu membuat siswi tsb trauma dan tidak mau kembali sekolah. Kejadian tersebut menandakan bahwa Kepala Sekolah tidak melindungi hak anak dan bersikap dikriminatif. 

Hal ini membuktikan bahwa masih banyak praktisi dalam dunia pendidikan yang belum memahami prinsip-prinsip dalam pemenuhan hak anak. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini, saya ingin berbagi mengenai prinsip-prinsip pemenuhan hak anak.

Sesungguhnya, PBB telah melahirkan Konvensi Hak Anak (KHA) pada tahun 1990 dengan tujuan untuk melindungi hak-hak anak. KHA merupakan instrumen internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling komperhensif yang melindungi anak yang berusia dibawah 18 tahun dan telah diratifikasi oleh sekitar 190 negara di dunia.  

KHA terdiri dari 54 pasal yang terdiri dari hak generasi pertama dan kedua, dimana hak-hak yang dilindungi menekankan pada kepentingan terbaik anak (best interest of the child). 

Hak generasi pertama yang dilindungi dalam KHA meliputi hak untuk hidup, kebebasan berekspresi, hak untuk tidak dipisahkan dari orangtua, bebas dari kekerasan dan penelantaran, bebas dari eksploitasi secara ekonomi dan seksual, dan bebas dari penyiksaan. 

Selanjutnya, perlindungan hak generasi kedua KHA meliputi hak kesehatan dasar, jaminal sosial, standar kehidupan yang layak, pendidikan dan akses perawatan anak. 

Negara-negara yang telah merativikasi KHA berkewajiban memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghormati (to respect) hak-hak anak tersebut untuk mencapai kesejahteraan sosial.  KHA dibuat untuk menyediakan sebuah framework kepada setiap negara untuk menyesuaikan dan mengembangkan kebijakan, hukum dan pelayanan yang berkaitan dengan masalah anak.  

Di Indonesia, dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak, Pemerintah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Hal ini sejalan dengan Pasal 28B (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.  KHA juga menjadi salah satu landasan lahirnya UU Perlindungan Anak pada tahun 2002.

Dalam pelaksanaannya, KHA memiliki 4 prinsip. Yaitu, Pertama, non-diskriminasi, yaitu tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya; 

Kedua, kepentingan terbaik bagi anak, yaitu menjadikan hal yang paling baik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan; 

Ketiga, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, yaitu menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak semaksimal mungkin; 

Keempat, penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya. 

Artinya, baik Pemerintah, dunia pendidikan, para praktisi pemangku kebijakan anak, masyarakat pada umumnya serta para orangtua, seyogyanya selalu mengacu kepada ke-empat prinsip tersebut dalam melaksanakan semua kegiatan yang melibatkan anak.  

Sebagai contoh, kejadian Kepala Sekolah yang menghukum siswinya lantaran belum membayar SPP, telah bertindak diskriminatif; yaitu membedakan siswa berdasarkan status ekonominya, dimana seharusnya semua siswa berhak mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. 

Oleh karenanya saya berharap setiap Pemerintah Kota/Kabupaten dapat memberikan sosialisasi / advokasi kepada seluruh praktisi pemangku kebijakan yang melibatkan anak, baik itu Kepala Sekolah, tenaga pengajar, dan semua pihak lainnya agar semua memahami prinsip-prinsip pemenuhan hak anak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun