DIA sangat manis, entah kapan aku mulai mencintaiNYA. Seperti sejak lama. DIA seperti pernah ada bersamaku di bawah hujan. Seperti kenangan terekam yang kembali berputar. Dalam bayanganku bukan hanya DIA disana, ada banyak orang lainnya. Namun aku hanya memperhatikannya. Sejak saat itu, tentu saja sejak saat itu, sejak saat itu yang entah kapan, sejak lama, aku sudah mencintainNYA.
Kepalaku pusing, semua kenangan seperti berputar dalam bayang-bayang. Tak jelas, yang kuingat hanya satu. Aku sadar aku mencintaiNYA di saat hujan, di hari yang sama. Jauh lebih lama sebelum aku menyadarinya sekarang, aku mencintaiNYA sejak lama. Dan aku mencintaiNYA lagi sejak aku menyadarinya.
Tapi aku tak ingat satu kenangan apa pun tentangnya selain hujan. Ini menyakitkan. Kulangkahkan kakiku kembali ke kelas, yang kutuju hanya satu, si kurus. Aku harus tahu semuanya. Tentang DIA, tentang hujan, tentang gelang itu, semua. Karena aku tahu temanku itu pasti tahu, tak ada yang tak diketahuinya tentang aku.
Nafasnya terengah-engah, seakan kecemasannya selama ini meledak saat itu juga. Kepalan tanganku kiriku masih melekat di kerah bajunya.
“Siapa DIA?” aku bertanya, entah untuk yang keberapa kalinya. Tangan kanan ku sudah siap mengancamnya. Dia menyerah, memberitahukan semua dengan singkat, tapi sangat jelas bagiku.
“Mau kemana kau? Kami ngelakuin ini untuk kau, tahu?!?!
“Jangan bilang kau mau ke tempat DIA, hei!!!
“Kami ga mau kau sedih lagi kawan!!!” teriaknya.
Tak kudengar, kata-katanya tak ada yang kudengar.
t(^.^t)
“Jangan menghindar. Aku memang lupa semuanya, tapi tolong jangan pergi...”