Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Balada Pekerja Informal: Di Antara Keterbatasan, Kegagalan, dan Kemerdekaan

4 November 2021   10:45 Diperbarui: 4 November 2021   20:47 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bekerja | Sumber : Shutterstock

Hampir setiap hari di tengah-tengah aktivitas dan kesibukan masyarakat perkotaan lumrah dijumpai para pekerja informal. Perspektif akan eksistensi para pekerja informal khususnya di perkotaan cenderung diartikan sebagai para pekerja bebas, pekerja lepas, pekerja “mocok-mocok”, atau pekerja serabutan. Sebuah pandangan dan perlakuan yang menurut saya sedikit termarjinalkan namun di tengah pandemi justru semakin meningkat. 

Pekerja informal yang seharusnya juga dihargai dan dilindungi serta diberdayakan.

Melansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pengertian pekerja informal adalah mencakup para pekerja yang berstatus memiliki usaha sendiri dan pekerja bebas di sektor pertanian maupun non pertanian. Sedangkan menurut UU Ketenagakerjaan, pekerja informal adalah merupakan pekerja yang bekerja tanpa ikatan atau relasi kerja tertentu, tidak ada perjanjian yang mengatur terkait dengan deskripsi kerja, upah, wewenang dan kekuasaan. 

Dalam penerapannya para pekerja informal bekerja bukan kepada pemberi kerja, tetapi menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain karena hasil kerjanya. Beberapa pekerja informal yang sering dijumpai seperti pedagang kaki lima, pengamen, supir, juru parkir dadakan, tukang kebun panggilan, fotografer keliling, tukang becak, guru les privat dan ragam pekerja lainnya.

Dari pengertian di atas tampak bahwa perbedaan utama antara pekerja formal dengan pekerja informal adalah menyangkut dengan landasan hukum terkait pendapatan berdasarkan perjanjian tertentu

Berbeda dengan pekerja formal yang dipekerjakan dengan dasar perjanjian yang setidaknya mengatur ruang lingkup pekerjaan, upah dan jangka waktu dengan pemberi kerja. Sehingga jamak disebut pekerja formal sebagai pegawai atau karyawan/buruh, baik berstatus pegawai pemerintah atau karyawan swasta.

Ilustrasi Pekerja Informal | Sumber : liputan6.com
Ilustrasi Pekerja Informal | Sumber : liputan6.com
Saat ini sektor informal semakin tidak dapat dipisahkan dari perekonomian di negara berkembang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor informal memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian. 

Data BPS menyebutkan di periode Februari 2021 sudah mencapai 78,14 juta orang dari jumlah angkatan kerja sebanyak 139,81 juta orang. Sehingga porsi para pekerja informal menyumbang sebesar 55,89% dari seluruh angkatan kerja.

Sedangkan bila dibandingkan dengan jumlah pekerja yang adalah sebesar 131,06 juta orang maka persentase para pekerja informal sebesar 59,62%. Angka dan persentase yang cukup mendominasi dan berkontribusi bagi perekonomian di Indonesia.

Mengapa pekerja informal bermunculan dan meningkat? Apakah faktor dominan akibat efek pandemi Covid-19 telah membuat para pekerja formal terdegradasi menjadi pekerja informal?

Keterbatasan Dan Pemenuhan Tenaga Tambahan

Ilustrasi Menunggu | Sumber : Dokpri JBS
Ilustrasi Menunggu | Sumber : Dokpri JBS

Tidak bisa ditampik bahwa salah satu faktor hal ini terjadi dikarenakan dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor formal pasca merebaknya pandemi Covid-19. Belum pulihnya ekonomi global berdampak pada permintaan dan penawaran barang dan jasa. Efek ini juga memukul dunia usaha sehingga mau tidak mau merumahkan atau melakukan PHK.

Namun seiring dengan kondisi yang mengharuskan sebuah kebiasaan baru (new normal) dengan ditandai pembatasan mobilitas sehingga menerapkan metode bekerja secara daring atau Work From Home membuat sektor informal menemui titik tumbuh dan ke depan semakin berkembang.

Menurut analisa saya, dengan terbiasa bekerja dari rumah dan punya waktu lebih, beberapa pekerjaan rumahan seperti berkebun dan memasak justru telah melatih para pekerja formal menemukan jenis pekerjaan baru yang juga bisa mendatangkan penghasilan.

Dari beberapa testimoni dan pengalaman beberapa orang yang saat ini telah menekuni usaha kuliner atau makanan siap-antar, awal mulanya memulai usaha rumahan tidaklah untuk mendatangkan penghasilan namun sekadar hobi mengisi waktu luang. 

Namun adanya permintaan dengan jumlah besar yang konsisten (potensi cuan yang besar) telah mengubah paradigma para pekerja formal untuk keluar dari pekerjaannya dan kini berusaha penuh waktu mengembangkan usahanya.

Keterbatasan para pekerja formal memenuhi layanan publik khususnya di bidang-bidang yang menjadi kebutuhan mendesak belakangan ini di masyarakat perkotaan mengharuskan tenaga tambahan dari pekerja informal. 

Dorongan akan pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan keteraturan, ketertiban, keamanan, kesehatan dan pendidikan menjadi salah satu penyebabnya.

Ilustrasi Pekerja | Sumber : alinea.id
Ilustrasi Pekerja | Sumber : alinea.id
Kebutuhan akan asisten rumah tangga, tukang cuci/gosok/masak, pengamanan perumahan, perawat jompo, atau guru les privat bagi masyarakat adalah sesuatu yang biasa dijumpai. 

Bahkan mungkin Anda dan saya adalah salah satu orang yang membutuhkan tenaga pekerja informal ini. Belum lagi di sektor pertanian dan perkebunan seperti di kampung saya di Tanah Karo, dibutuhkan selalu para pekerja harian “Ngemo” (bekerja di ladang atau kebun diupah harian khususnya pada saat musim tanam atau saat panen tiba).

Kegagalan Sistem dan Budaya 

Pernah satu kali waktu saat pengalaman melancong di negara tetangga ketika saya menggunakan MRT (Mass Rapid Transit) di mana ada stiker larangan untuk makan atau minum. 

Peristiwa itu terjadi tepat di depan saya ada seorang ibu bersama anak kecil yang umurnya 6 tahunan menangis karena kehausan dan ingin minum (sepertinya baru pulang sekolah karena memakai seragam sekolah) namun si ibu tidak memberikan botol minuman yang dia pegang. Iseng-iseng saya bertanya mengapa tidak diberikan.

Ilustrasi MRT | Sumber : iStock
Ilustrasi MRT | Sumber : iStock
Si ibu menjawab bahwa selain wajib menaati aturan/larangan itu, dia menjelaskan bahwa kemungkinan dampak akibat pemberian minuman itu bisa saja tumpah ke lantai. 

Dia mengatakan negeri itu tidak punya pelayan publik di MRT untuk membersihkannya (bila terjadi), bagi mereka hal itu bisa menjadi “ongkos” dan bisa membuat repot penumpang yang lain. Dampak sosial terganggu sehingga berdampak secara ekonomis.

Tanggung jawab bersama menjaga ketertiban dan kebersihan fasilitas publik adalah menjadi solidaritas masyarakat dan dipatuhi bersama. Mencengangkan dan tidak ada pembelaan diri meski demi kepentingan anak sendiri. 

Berkaca dari pengalaman di atas betapa memberikan tamparan keras bagi saya. Dari sekelas seorang ibu rumah tangga memiliki standar paradigma bahwa masyarakat adalah pelayan publik itu sendiri. 

Tidak dibutuhkan tambahan tenaga pekerja (formal atau informal) untuk mengurusi diri sendiri, pemahaman bahwa budaya tertib dengan tingkat kedisiplinan tinggi lewat perilaku, dan dilaksanakan sehingga bukan sekadar basa-basi. Pekerjaan yang kelihatan sepele dan menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.

Ilustrasi Petugas Kebersihan | Sumber : beritasatu
Ilustrasi Petugas Kebersihan | Sumber : beritasatu

Jauh berbeda dengan budaya dan perilaku saya, yang terkadang dimanjakan dengan selalu beranggapan bahwa ada tukang sapu atau petugas kebersihan/ketertiban di fasilitas publik untuk mengurusi masalah ini. Tepok jidat sendiri.

Apa yang mau saya utarakan selanjutnya mungkin akan mudah ditebak ke arah mana pembahasan berikutnya. Bagaimana pengalaman berbicara kala pelayanan publik tidak bisa maksimal hanya karena keterbatasan anggaran, petugas yang kurang, dan macam ragam dalih lainnya. Sebuah kondisi serba salah dan serba benar di antara rasionalitas, logika permisif, dan saling menyalahkan.

Acapkali kurangnya kesadaran terhadap budaya dan tanggung jawab khususnya terkait kedisiplinan dan keteraturan diri saat menggunakan fasilitas publik atau privat sekalipun, menimbulkan potensi bisnis atau bidang pekerjaan baru.

Keterbatasan anggaran terhadap layanan publik melahirkan pekerja informal sebagai petugas cleaning service dadakan, tukang parkir dadakan, pengatur lalu lintas dadakan, pengutip sampah dadakan dan serba serbi pekerja dadakan atau musiman lainnya. 

Dan terakhir sering pula menjadi sebuah keluhan bahkan berujung kericuhan pada sebagian orang akibat dikenakan cost atau ongkos dadakan atas balada ini.

Sementara di lain pihak, kondisi ini dianggap sharing rezeki atau sedekah karena sama-sama bersifat mutualan. Masing-masing opini adalah serba benar, dan sisi lain juga serba salah.

Kemerdekaan dan Aktualisasi Diri 

“Tekad saya sudah bulat, Pak. Saya ingin meluangkan banyak waktu menemani anak saya yang masih kecil. Kalau uang bisa dicari tetapi keluarga adalah segalanya. Saya tidak mau menyesal di belakangan hari bila terjadi apa-apa dengan pertumbuhan fisik dan jiwa anak saya.” 

Demikian salah satu alasan dari seorang karyawan wanita yang resign dari sebuah perusahaan ternama. Dan kemudian memutuskan berusaha mandiri lewat jualan online. Jenis pekerjaan yang marak dan berkembang layaknya pedagang kaki lima (rumahan), namun kini dijumpai secara virtual lewat kemajuan teknologi.

Ilustrasi Bekerja | Sumber : Shutterstock
Ilustrasi Bekerja | Sumber : Shutterstock
Akhir-akhir ini begitu banyak kasus para pekerja formal memutuskan keluar dari sebuah pekerjaan. Bahkan dari riset dan laporan Work Trend Index 2021 yang berjudul “The Next Great Disruption Is Hybrid Work – Are We Ready?” oleh perusahaan Microsoft sebagai evaluasi penerapan kegiatan pekerjaan work from home selama lebih 1 tahun pandemi Covid-19 menyebutkan bahwa sebanyak 41% para pekerja formal berencana mengundurkan diri dari pekerjaannya saat ini. Bahkan yang mengejutkan justru persentase di Indonesia menyentuh hingga sampai 49% atau di atas kecenderungan para pekerja global. 

Setidaknya alasan mengapa pilihan ini dibuat adalah dikarenakan keinginan fleksibilitas dalam bekerja (daring dan luring) sehingga dapat dilakukan bebas di mana saja atau tanpa meninggalkan rumah/keluarga. 

Tren peningkatan pekerja informal dan maraknya freelancer ini khususnya pada bidang sektor keuangan, digital marketing dan sub sektor teknologi lainnya seakan memberikan kebenaran sebagaimana data BPS atau riset Microsoft di atas.

Pandangan akan adanya keseimbangan bekerja di antara tuntutan produktivitas tinggi tanpa pula harus mengorbankan kebutuhan non materi lainnya adalah menjadi nilai-nilai baru di era ini.

Kemerdekaan finansial dan aktualisasi diri yang disokong oleh kemajuan teknologi telah membuka peluang besar akan hadirnya talenta-talenta baru yang dibutuhkan bagi perusahaan.

Ilustrasi WFH | Sumber : 123RF.COM
Ilustrasi WFH | Sumber : 123RF.COM
Bukan tidak mungkin definisi dan peraturan hukum atas pekerja formal atau informal juga akan direvisi dan beradaptasi terhadap perkembangan digitalisasi yang menyentuh ke semua sektor usaha dalam sebuah perekonomian negara bahkan global. 

Sehingga balada pekerja informal dan sudut pandang terhadap sektor ini akan bergeser dari kurang diminati menjadi pilihan anda dan saya di masa yang akan datang. Sepertinya cepat atau lambat akan menjadi kenyataan.

Tidak Ada Yang Paling Bertanggung Jawab Atas Hidupmu, Kecuali Dirimu Sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun