Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bank Digital dan Tantangan Generasi Milenial

27 Oktober 2021   09:48 Diperbarui: 31 Oktober 2021   17:47 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bertani ala Hidroponik | Sumber : digination.id

Hai Sobat Milenial

Angkatan milenial secara demografi di Indonesia saat ini bahkan beberapa tahun ke depan akan merajai komposisi penduduk dan juga sebagai pelaku utama perekonomian.

Berdasarkan data dari BPS menyebutkan bahwa para milenial yang merupakan kelompok penduduk yang lahir di periode tahun 1981-1996 (rentang umur 25-40 tahun) adalah penyumbang sebesar 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen dari total 270 juta jiwa lebih penduduk di Indonesia. 

Angkatan milenial merupakan kelompok usia produktif bagi para pencari kerja bahkan mereka yang telah menjadi pemimpin di beberapa organisasi/perusahaan terkini.

Dari data di atas, mari coba bandingkan dan lihat teman-teman yang duduk di seputaran meja kerja kantor Anda saat ini. 

Anda dan saya mungkin terkejut bahwa fakta ini mendekati kebenaran. Wajah para anak muda begitu menghiasi di setiap kantor pemerintahan maupun sektor swasta. Satu dari 4 pekerja maupun para pengambil keputusan adalah mereka para milenial!

Bukan sebuah cerita yang tidak beralasan bilamana data ini adalah sebuah gambaran bagi setiap perusahaan dari berbagai sektor untuk menggarap pasar milenial dan kebutuhannya. 

Menggarap pasar milenial adalah cuan dalam sektor apapun termasuk pula sektor jasa keuangan dan perbankan. 

Hal ini semakin menarik karena salah satu karakteristik dari beberapa survei yang paling dominan menyebutkan para milenial adalah generasi yang adaptif khususnya dengan teknologi digital, ditandai sebagai penguasa jagad maya medsos. 

Karakteristik yang yang semakin menegaskan ciri kelompok generasi ini yang gak mau ribet, mudah bosan, instan, dan yang paling mendominasi adalah narsisme dan eksistensi menciptakan personal branding sebagai fokus utama.

Ilustrasi Belanja Online | Sumber : Techno FAQ
Ilustrasi Belanja Online | Sumber : Techno FAQ

Berangkat dari upaya pemenuhan kebutuhan berdasarkan analisa karakteristik para milenial, maka tidak mengherankan memang bahwa hampir seluruh perbankan berlomba menciptakan produk jasa layanan berikut fitur-fitur lainnya. 

Kebutuhan akan eksistensi diri dengan tidak perlu repot oleh banyaknya administrasi yang melelahkan dengan prinsip kemandirian semakin menegaskan pula bahwa pasar milenial begitu menjanjikan dan menggiurkan. 

Sebagai pembanding, melansir data persaingan toko online di Indonesia milik iPrice, Rabu (22/8/2021) menampilkan data traffic terhadap 10 e-commerce di Indonesia secara total hampir menyentuh 370 juta lebih kunjungan bulanan dan di dominasi oleh para milenial.

E-commerce atau toko online bagaikan pasar yang dipenuhi hiruk pikuk para pembeli dengan pedagang yang perlu dijembatani lewat sistem pembayaran terkoneksi dengan bank.

Dalam hal inilah, layanan bank digital diciptakan secara penuh beroperasi dan terintegrasi dengan e-commerce menciptakan kemudahan bertransaksi bagi para milenial. 

Setidaknya kebutuhan dasar para milenial dari mulai makanan, gadget, pulsa, alat elektronik, fashion, dan alat-alat kesehatan maupun kecantikan (health care/skin care) oleh para produsen ditawarkan ke pasar digital. Dan jasa bank digital berfungsi sebagai institusi keuangan perantara menyelesaikan pembayaran.

Ilustrasi Medsos | Sumber : theberkeleygraduate.com 
Ilustrasi Medsos | Sumber : theberkeleygraduate.com 
Hitungan jasa yang terbilang adalah merupakan fee based income atau sumber pendapatan turunan di bank konvensional kini menjadi sumber pendapatan utama bagi bank digital. 

Transaksi yang masif dengan mengejar volume terbilang hitungan receh bila dilihat nomial per transaksi (kisaran Rp 1.000-Rp 5.000). 

Namun bila diperhitungkan dengan volume transaksi hingga mencapai ratusan juta per bulannya bahkan diprediksi semakin meningkat ke depan, sungguh akan menjadi potensi bisnis dengan keuntungan yang fantastis. 

Fee layanan transaksi pasar digital bagaikan sebuah restribusi parkir yang lebih murah bila dibandingkan berbelanja luring manakala harus ke pusat perbelanjaan atau pasar nyata. Belum lagi bila memperhitungkan biaya transportasi dan juga faktor pandemi Covid-19 yang masih mengancam.

Pada dasarnya full digital banking atau bank digital beroperasi secara penuh dengan digitalisasi perbankan adalah dua hal yang berbeda namun jasa pemenuhan kebutuhan perbankan secara digital bagi nasabahnya menjadi tujuan yang sama. 

Perbedaan yang paling signifikan hanyalah terkait sistem operasi, waktu dan lokasi.

Bank digital dari sejak pembukaan hingga seseorang berhasil memiliki rekening sendiri dan kemudian bisa melakukan aktivitas perbankan dilakukan secara daring dan branchless. Melalui aplikasi bank digital yang tersedia, kapan saja, di mana saja tanpa harus ke kantor sebuah bank konvensional.

Berbeda dengan digitalisasi perbankan lewat bank umum lainnya, di mana pada umumnya langkah pertama pembukaan rekening nasabah masih dilakukan secara luring atau offline

Kemudian lewat produk digital seperti mobile banking atau internet banking difasilitasi dan juga dilengkapi fitur dan jasa layanan perbankan yang secara prinsip hampir sama dengan bank digital. 

Nasabah konvensional wajib mengunjungi ke lokasi bank (kantor fisik) untuk menerima jasa layanan perbankan sesuai dengan keterbatasan waktu operasional bank tersebut.

Namun sesuatu yang meresahkan adalah apakah bank digital dengan kemudahannya, semakin merangsang para milenial menjalankan impulsive buying? Apakah kemudahan bertransaksi dan kebebasan finansial membuat para milenial terperangkap dengan budaya konsumtif yang membahayakan?

Pertanyaan di atas adalah sesuatu yang sederhana disikapi dan sejatinya kemajuan teknologi menjadi pertanda kemajuan zaman. 

Memenuhi kebutuhan dengan mudah di sisi lain berpotensi menjadi sangat boros dan tidak terkontrol adalah sebuah pilihan dari setiap orang. 

Memilih untuk berbelanja secara offline atau online adalah consumption activities. Pilihan untuk datang ke pasar tradisional atau pusat perbelanjaan dengan mengeluarkan biaya transportasi, melihat langsung, menyentuh, menawar dan kemudian memutuskan untuk membeli, atau cukup ambil aplikasi lewat gadget, lihat, pilih, dan bayar!

Ilustrasi Produktif | Sumber: www.brilio.net
Ilustrasi Produktif | Sumber: www.brilio.net
Dari proses di atas berikut dengan karakter instan dengan kebebasan finansial (“bebas tidak boleh ada yang atur”) oleh para milenial sering membuat pilihan dengan segala bentuk tawaran dari bank digital yang terintegrasi dengan e-commerce terbuka kesempatan untuk berbelanja berlebihan. 

Rasa-rasanya demi mempertahankan eksistensi dan membangun personal branding yang tentunya mengeluarkan biaya tambahan setidaknya untuk tetap fashionable, instagramable, perawatan dengan skin care yang mumpuni plus didukung lewat aktivitas traveling ke tempat wisata baru seakan menjadi sebuah standar baru para milenial dengan kebutuhannya. 

Agak sulit menjadi hits dan membuktikan eksistensi milenial dengan tidak didukung oleh fashion terkini, berlatar belakang spot foto yang unik dan baru, atau penampilan fisik wajah dan tubuh yang kinclong dan wah. Sehingga dapat menghiasi medsos milenial dan menjadi super star atau selebritis medsos. Suatu kondisi terkini dan hampir setiap orang mungkin memiliki pandangan dan tujuan yang sama.

Semua itu bisa terpenuhi dan didukung dengan cepat, hanya dengan jari lewat layanan digital. Mudah, cepat dan sisi yang lain mempercepat terbentuknya pendapatan yang akan diterima akan sama dengan yang dikonsumsi atau dibelanjakan. 

Kondisi yang lebih membahayakan bila tidak terkontrol justru menjadi pendapatan negatif. Terjadi saat konsumsi menjadi lebih besar dari pada pendapatan yang diterima. Namun ini pun bisa diatasi dengan mengandalkan histori pendapatan tetap yang diterima. 

Tawaran akan sebuah pinjaman terbuka lebar untuk membiayai kegiatan konsumsi adalah menjadi produk atau fitur yang juga tersedia di layanan bank digital. 

Pada titik ini satu kata menggambarkannya “berbahaya” dan kelak menjadi sebuah jebakan finansial bagi para milenial bahkan perekonomian nasional.

Sebagai seorang bankir, alur dan skema bisnis di atas adalah hal yang lazim digunakan demi sebuah bisnis yang tetap terjaga dan tumbuh. 

Peluang menggarap para milenial untuk menaikkan sektor konsumsi lewat Teori Ekonomi Makro adalah sesuatu yang halal pula. 

Namun keseimbangan yang lebih baik untuk perekonomian di masa yang akan datang dengan komposisi peningkatan tabungan dan investasi oleh setiap pribadi maupun rumah tangga lewat pengelolaan pendapatan terencana akan membuatnya berkesinambungan. 

Jebakan pendapatan menengah atau middle income trap bagi para milenial sehingga tidak produktif dan cenderung konsumtif akan menjadi momok perekonomian.

Keputusan ke depan oleh pelaku ekonomi berikut persfektif finansial dengan prinsip produktivitas dan kewirausahaan di tengah arus digitalisasi perbankan bagi para milenial di negeri ini akan menjadi kunci sukses kemajuan perekonomian bangsa.

Ilustrasi Bertani ala Hidroponik | Sumber : digination.id
Ilustrasi Bertani ala Hidroponik | Sumber : digination.id
Apapun itu dengan membedakan antara kebutuhan dan keinginan adalah tergantung dari para milenial menyikapi tantangan zaman. 

Bijak dalam berkeuangan dengan memanfaatkan kemudahan yang semakin marak di depan mata adalah sesuatu yang membuat para milenial tersenyum lebar di masa datang atau malah sebaliknya. 

Seharusnya kemudahan mengakses jasa layanan perbankan dan kemudian menggunakannya lewat usaha produktif adalah pilihan terbaik. 

Atau malah terjebak dengan pendapatan menengah bahkan berpendapatan pas-pasan dan atau dihabiskan demi sebuah eksistensi yang kebablasan akan menjadi sebuah bencana ekonomi. Bujur

***

Artikel ini merupakan opini menyambut Hari Sumpah Pemuda ke-93 (Bersatu, Bangkit dan Tumbuh).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun