Di sisi lain yang kadang tidak masuk akal adalah penyakit mental masa lalu dan hipotesa yang pernah muncul adalah penyakit iri, dengki dan benci. Beberapa dari kita mungkin pernah mengalami bahwa konflik yang tidak sehat antara subyek di organisasi menyasar kepada urusan pribadi.Â
Bisa saja sebuah keputusan bersama tidak didukung atau bahkan dihambat oleh salah seorang pakar atau pemutus kebijakan hanya karena tidak suka dengan seorang pemutus yang lain.Â
Istilah sekarang adalah kepentingan politis tapi bagi saya sekali lagi ini adalah penyakit mental dan kejiwaan. Bahkan hanya karena hal ini kepentingan secara umum bagi khalayak ramai menjadi tergadai. Gajah yang berantam menyebabkan semut-semut dibawahnya pada lari kocar-kacir.Â
Secara tidak sengaja pula bahkan sulit sekarang membedakan kemurnian atau keikhlasan dari sebuah kebijakan yang terlepas dari kepentingan politis dan yang bukan sama sekali. Sehingga menjadi jamak terjadi sedikit-sedikit menyalahkan orang lain karena dikucilkan dan mengambinghitamkan orang lain pula.
Keahlian adalah sebuah keagungan, anugerah, seharusnya pula bebas dari pada ego pribadi dan dipergunakan bagi kepentingan orang banyak.
 Keahlian vs Ancaman
Pada banyak kasus hukum yang terjadi sering menjadi isu utama mengapa seseorang yang begitu diakui keahliannya terbentur dengan masalah hukum karena adanya ancaman. Di ujung drama pemeriksaan istilah "bernyanyi" pun muncul dengan menyeret pihak lain. Tidak bisa mempertahankan keahliannya dalam bekerja karena adanya ancaman serius bagi kelangsungan hidup dan jiwanya.
Bila ditilik dari masa ke masa hal ini akan selalu terjadi. Sifatnya alamiah karena terkait nyawa dan hidup. Yang menjadi pekerjaan rumah adalah sampai kapan sebuah sistem hukum dan budaya ini bisa berubah dan dilindungi dengan baik oleh organisasi bahkan negara.Â
Cara-cara barbar yang seiring dengan perjalanan waktu dan perjuangan bersama sebagai sebuah bangsa yang harusnya segera diakhiri dan tidak relevan bagi sebuah peradaban dan kehidupan lebih baik. Bila tidak keahlian dan orang-orang yang berlabel profesor akan segera meninggalkan organisasi tersebut.
"Karena bila seorang terpeleset maka tidak tertutup kemungkinan yang lain bisa terseret."
Sama seperti pengalaman dari beberapa anak bangsa yang sampai hari ini tidak kembali ke tanah air dan lebih memilih berkarya di negara lain karena masalah ini.Â
Sedangkan mereka yang tidak siap akhirnya menggadaikan keahliannya akibat ancaman. Produk keputusan yang dihasilkan menjadi ngawur dan semua orang menjadi bertanya-tanya mengapa sekelas ahli mengambil kebijakan di luar akal sehat.