"Meski tidak bisa memiliki seluruh kesenangan dunia, tetap bersyukur karena kesenangan dunia tidak bisa membeli saya"
Pagi hari sebelum memulai seluruh pertempuran sepanjang hari dengan seluruh rutinitas layaknya sebagai seorang buruh kantoran, seperti biasa menyeruput secangkir kopi semangat sembari mengkonsumsi isi pikiran yang juga adalah sangat dibutuhkan tetap "fresh" lewat pembelajaran dari isi hati status teman di dunia maya dari seluruh belahan dunia dan lorong waktu. Menarik isi status dari medsos teman-teman yang memposting status baik dari Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya di masa pandemi ini.Â
Apakah secara kebetulan atau tidak mayoritas diantaranya adalah tentang berbagai respon terhadap perkembangan kehidupan khususnya pula membicarakan tujuan hidup terkini.Â
Apakah ini hanya menurut pengalaman pribadi saya dari teman-teman yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh kantoran atau memang menjadi lazimnya terjadi? Apakah isu utama terhadap tujuan hidup menyikapi tentang harta, tahta dan pasangan hidup tetap akan abadi dan hangat dibicarakan? Mari kita coba cari tahu dari berbagai pandangan.
Masih tentang "Harta"
Harta yang identik adalah uang atau kekayaan yang dimiliki atau yang diupayakan untuk diraih. Tak bisa menafikan pendapat bahwa salah satu tujuan untuk menyambung hidup dengan berjerih lelah adalah mendapatkan uang. Uang yang adalah sebagai alat tukar, alat pembayaran dan investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu kapan saja bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Utamanya adalah kebutuhan untuk makan-minum, pakaian dan juga rumah untuk berteduh. Demikian dulu istilah tingkatan kebutuhan manusia yaitu sandang, pangan dan papan.
Namun di era sekarang rasa-rasanya pergeseran paradigma memiliki uang dan kemudian pemaknaannya untuk kalangan teman-teman dari status mereka yang terpampang di medsos membuat saya sedikit terkejut. Ternyata apakah ini sebuah kebenaran atau hanya sekedar sebuah keputusasaan tentang kejamnya kehidupan terkait susahnya mencari uang atau pekerjaan? Mengapa? Karena kesimpulan terkini tentang uang (maaf kalau salah) bahwa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya bukan menjadi tujuan akhir namun lebih kepada kata "cukup".
Kata cukup yang juga bukan berarti identik pas-pasan makan saja tapi cukup untuk kebutuhan dengan terpenuhinya sandang, pangan, papan dan hubungan pertemanan yang identik dengan kegiatan ngopi bareng, menjalankan hobi bersama (kegiatan olahraga, musik, politik, sosial, keagamaan, termasuk aktivitas "beyond blogging" ala kompasianer), dan juga kebutuhan rekreasi atau berpergian mendapatkan sensasi tempat yang baru.Â
Intinya adalah bahwa kata cukup tidak identik dengan besaran uang segunung dan ketakutan berlebihan dengan menumpuk sebanyak-banyaknya sampai kuatir akan kebutuhan anak cucu sampai tujuh turunan.
Lebih kearah adanya keseimbangan antara bertahan hidup dan kebahagiaan batin tersendiri. Dan itu membuat saya tercengang sekali lagi apakah ini hanya pada level status medsos biar tampak lebih keren dan membumi atau hanya pengalaman teman-teman saya yang sudah pada "hijrah"atau memang ini adalah tren terbaru dari pandangan anak zaman "Now" tentang pekerjaan dan upaya mencari uang.
Semoga waktu berikut perubahannya yang menjawab. Tak perlu menjadi hakim bagi mereka untuk memutuskannya. Ditengah tantangan upaya sekuat tenaga dari kondisi negeri yang masih juga belum keluar dari stigma masyarakat dengan tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini sedikit melegakan kalau ternyata generasi ini mulai menyikapi tentang uang dengan lebih bermakna. Setidaknya status itu juga menelisik hati dan membangunkan diri saya sebagai buruh kantoran yang sama pula. Mungkin ditengah frustasi berkepanjangan untuk menciptakan titik baru menuju masyarakat dan budaya kerja yang lebih baik bisa menjadi kenyataan bagi generasi negeri.
Selanjutnya masih tentang "Tahta"
Siapa yang tidak berkeinginan untuk memiliki karir yang baik hingga meraih posisi puncak dalam sebuah organisasi? Kebanyakan dari semua kita pasti ingin menjadi presiden direktur, direktur, manager atau label pemimpin lainnya. Pemimpin yang adalah panutan dan juga punya kuasa. Didengarkan dan menjadi subyek yang selalu dinanti-nantikan arahan berikut titahnya yang mengatur seluruh aktivitas organisasi. "Every word of the king is law" yang berarti setiap perkataan (arahan) dari seorang raja (pemimpin) adalah undang-undang yang mengikat dan wajib dipatuhi. Demikian arti uangkapan tersebut yang membuat betapa sesungguhnya marwah dari seorang raja atau pemimpin. Sehingga tahta atau jabatan dari sebuah organisasi adalah menjadi tujuan pula bagi setiap pekerja. Bekerja dengan lebih keras bahkan tidak sedikit berjibaku dengan mengorbankan segalanya dengan tujuan agar naik kasta dan tahta.
Bila tahta dengan kompensasi yang diharapkan serba gemerlap namun dalam bayang-bayang tanggung jawab berikut risiko yang meresahkan bagi teman-teman pekerja saat ini adalah saatnya untuk "ditinggalkan".
Untuk apa duduk di posisi yang lebih tinggi tapi "merepotkan" dengan banyaknya aturan baik dari internal perusahaan ataupun dari eksternal yang tumpang tindih yang mengancam kapan saja mengantarkan diri menjadi seorang pesakitan. Bahkan tidak jarang bukan karena tanggungjawab semata menjadi korban dari sebuah sistem yang masih banyak perdebatan. Tahta kemudian ditinggalkan oleh sebagian orang, tidak menarik karena istilah "Mengapa musti mencari (tanggungjawab) lebih kalau yang sederhana juga sudah bahagia?". Hampir dari beberapa pengalaman teman-teman dengan status curhatan dari berbagai lingkungan organisasi yang berbeda juga berpendapat yang sama.Â
Ada yang menjadi pertanyaan dan tantangan hari ini yakni apakah kita sudah masuk dalam fase tidak memerlukan pemimpin? Apakah ini sebuah krisis kepemimpinan dan sistem? Atau perlukah mendefenisikan kembali pengertian sebuah arti pemimpin di era edan ini? Mungkin perlu kita renungkan masing-masing tanpa buru-buru membuat sebuah kesimpulan yang valid.
 Terakhir adalah tentang "Kamu"
"Kamu" ya saya, anda juga tentang dia. Ini adalah tentang pasangan hidup, kebutuhan sex dan privasi tentang status sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tak akan pernah disangkal sejak sejarah dunia diciptakan tentang "Kamu" ini adalah sesuatu yang rumit. Manyangkut bagaimana seorang manusia menjalin hubungan dengan pasangannya terkhusus memenuhi kebutuhan sex, percintaan, asmara dan hubungan psikologis manusia. Begitu kompleks bahkan bila membicarakan tentang pasangan baik yang telah berkeluarga maupun tidak adalah menjadi topik hangat dan menjadi isi otak manusia (laki-laki maupun perempuan dewasa) di setiap tempat dan waktu. Apakah kemudian menjadi tujuan hidup? Sebagian ya dan sebagian lagi tidak.
Tidak masuk dalam perdebatan bagaimana seharusnya yang terbaik tentang menjalin sebuah jalinan hubungan khususnya dalam jenjang pernikahan atau keluarga. Dari beberapa status yang menjadi terhilang dari seluruh lika-liku tentang pasangan hidup ini adalah terkait membangun dan menjaga "komitmen".Â
Ya, cerita cinta dari dahulu deritanya tiada akhir. Sebuah misteri dan perlu pengorbanan sehingga kebahagiaan sejati mungkin dapat terwujud di dunia yang semakin mencekam ini.
Tulisan ini adalah sebahagian kecil dari pelbagai kerumitan hidup. Yang sejatinya bisa dimaknai secara sederhana karena keterbatasan setiap insan. Setiap kesenangan yang ditawarkan dunia juga tidak sama respon antara saya dan anda, bahkan pilihan itu ada pada setiap kita apakah kemudian anda tergiur ingin merengkuh seluruh kesenangan atau kebahagiaan yang ditawarkan dunia atau tidak.Â
Sangat tergantung dengan nilai dan kepercayaan setiap orang. Tapi saran saya mungkin tidak sama sekali! Capek dan sungguh melelahkan. Saatnya berupaya yang terbaik, mensyukuri pahit dan manisnya hidup, dan menikmati apa adanya. Salam hangat.
Medan, 27 Mei 2021
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H