Semoga waktu berikut perubahannya yang menjawab. Tak perlu menjadi hakim bagi mereka untuk memutuskannya. Ditengah tantangan upaya sekuat tenaga dari kondisi negeri yang masih juga belum keluar dari stigma masyarakat dengan tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini sedikit melegakan kalau ternyata generasi ini mulai menyikapi tentang uang dengan lebih bermakna. Setidaknya status itu juga menelisik hati dan membangunkan diri saya sebagai buruh kantoran yang sama pula. Mungkin ditengah frustasi berkepanjangan untuk menciptakan titik baru menuju masyarakat dan budaya kerja yang lebih baik bisa menjadi kenyataan bagi generasi negeri.
Selanjutnya masih tentang "Tahta"
Siapa yang tidak berkeinginan untuk memiliki karir yang baik hingga meraih posisi puncak dalam sebuah organisasi? Kebanyakan dari semua kita pasti ingin menjadi presiden direktur, direktur, manager atau label pemimpin lainnya. Pemimpin yang adalah panutan dan juga punya kuasa. Didengarkan dan menjadi subyek yang selalu dinanti-nantikan arahan berikut titahnya yang mengatur seluruh aktivitas organisasi. "Every word of the king is law" yang berarti setiap perkataan (arahan) dari seorang raja (pemimpin) adalah undang-undang yang mengikat dan wajib dipatuhi. Demikian arti uangkapan tersebut yang membuat betapa sesungguhnya marwah dari seorang raja atau pemimpin. Sehingga tahta atau jabatan dari sebuah organisasi adalah menjadi tujuan pula bagi setiap pekerja. Bekerja dengan lebih keras bahkan tidak sedikit berjibaku dengan mengorbankan segalanya dengan tujuan agar naik kasta dan tahta.
Bila tahta dengan kompensasi yang diharapkan serba gemerlap namun dalam bayang-bayang tanggung jawab berikut risiko yang meresahkan bagi teman-teman pekerja saat ini adalah saatnya untuk "ditinggalkan".
Untuk apa duduk di posisi yang lebih tinggi tapi "merepotkan" dengan banyaknya aturan baik dari internal perusahaan ataupun dari eksternal yang tumpang tindih yang mengancam kapan saja mengantarkan diri menjadi seorang pesakitan. Bahkan tidak jarang bukan karena tanggungjawab semata menjadi korban dari sebuah sistem yang masih banyak perdebatan. Tahta kemudian ditinggalkan oleh sebagian orang, tidak menarik karena istilah "Mengapa musti mencari (tanggungjawab) lebih kalau yang sederhana juga sudah bahagia?". Hampir dari beberapa pengalaman teman-teman dengan status curhatan dari berbagai lingkungan organisasi yang berbeda juga berpendapat yang sama.Â
Ada yang menjadi pertanyaan dan tantangan hari ini yakni apakah kita sudah masuk dalam fase tidak memerlukan pemimpin? Apakah ini sebuah krisis kepemimpinan dan sistem? Atau perlukah mendefenisikan kembali pengertian sebuah arti pemimpin di era edan ini? Mungkin perlu kita renungkan masing-masing tanpa buru-buru membuat sebuah kesimpulan yang valid.
 Terakhir adalah tentang "Kamu"
"Kamu" ya saya, anda juga tentang dia. Ini adalah tentang pasangan hidup, kebutuhan sex dan privasi tentang status sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tak akan pernah disangkal sejak sejarah dunia diciptakan tentang "Kamu" ini adalah sesuatu yang rumit. Manyangkut bagaimana seorang manusia menjalin hubungan dengan pasangannya terkhusus memenuhi kebutuhan sex, percintaan, asmara dan hubungan psikologis manusia. Begitu kompleks bahkan bila membicarakan tentang pasangan baik yang telah berkeluarga maupun tidak adalah menjadi topik hangat dan menjadi isi otak manusia (laki-laki maupun perempuan dewasa) di setiap tempat dan waktu. Apakah kemudian menjadi tujuan hidup? Sebagian ya dan sebagian lagi tidak.
Tidak masuk dalam perdebatan bagaimana seharusnya yang terbaik tentang menjalin sebuah jalinan hubungan khususnya dalam jenjang pernikahan atau keluarga. Dari beberapa status yang menjadi terhilang dari seluruh lika-liku tentang pasangan hidup ini adalah terkait membangun dan menjaga "komitmen".Â
Ya, cerita cinta dari dahulu deritanya tiada akhir. Sebuah misteri dan perlu pengorbanan sehingga kebahagiaan sejati mungkin dapat terwujud di dunia yang semakin mencekam ini.
Tulisan ini adalah sebahagian kecil dari pelbagai kerumitan hidup. Yang sejatinya bisa dimaknai secara sederhana karena keterbatasan setiap insan. Setiap kesenangan yang ditawarkan dunia juga tidak sama respon antara saya dan anda, bahkan pilihan itu ada pada setiap kita apakah kemudian anda tergiur ingin merengkuh seluruh kesenangan atau kebahagiaan yang ditawarkan dunia atau tidak.Â