Faktor lingkungan sejak terlahir dengan era komputerisasi yang mulai membooming di era ‘80an secara tidak langsung telah membentuk generasi ini pula berpikir taktis dan simple.
Kerumitan dan kompleksitas terhadap sebuah identifikasi masalah menjadi sesuatu yang membuat pekerjaan yang birokratik dengan begitu banyak meja dan orang yang dilalui membuat seakan pekerjaan yang dihadapi adalah sebuah proses administrasi tanpa ujung.
Sesuatu yang tidak menarik, kuno, membosankan dan dihindari. Tidak jarang si anak manja akhirnya menarik diri atau resign dari pekerjaannya.
Antara manja dan karakter petarung untuk berupaya mengubah situasi sulit yang menjadi kendala. Status anak milenial dengan pemahaman praktis dan kreativitas yang hampir melekat pada diri mereka menjadi pupus karena daya juang yang apa adanya.
Terbentur dan kemudian luntur. Tidak mau untuk berjibaku karena tentunya akan menghadapi tembok-tembok birokrasi dan pemikiran bukanlah yang menarik untuk dilakukan oleh para milenial.
Status “friendly” dengan kebiasaan bermedia sosial yang menjadi keseharian dengan begitu mengoleksi teman-teman virtual seolah menjadi tujuan dan dorongan sehingga dalam situasi tertekan pada dunia kerja nyata sebagai agen perubahan menjadi sebuah kesia-siaan.
Jangan pernah berharap para generasi lama akan adanya sebuah konflik atau kegaduhan dalam ide maupun gagasan yang membuat jurang pemisah.
Milenial akan mengalah dalam artian tidak bentrok sebagai sebuah kemenangan dengan rasa ketidakpedulian bila ide atau gagasan pemikirannya berujung terhadap sebuah konflik. Gaduh tidak terjadi namun kepedulian sudah pasti diakhiri.
Si Anak Bawang Ambisius
Kepercayaan diri yang tinggi dengan pengalaman bersekolah yang lebih bersifat demokratis dan dituntut kreatif membuat generasi ini adalah anak-anak bawang yang “pedas”.