Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mewariskan "Pekerjaan Rumah"

8 Maret 2021   22:19 Diperbarui: 18 Maret 2021   13:22 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir 31 tahun sudah kepergian Ayah dan momen itu masih teringat jelas kisah pilu di Hari Minggu di Hari Paskah. 

Saat itu usia saya masih beranjak 10 tahun dan duduk di kelas IV SD. Duduk di samping jenazahnya dan hanya bisa pasrah serta tidak tahu harus berkata apa. Kehilangan Ayah begitu mendalam.

Sebagai anak terkecil dari 7 bersaudara dengan modal peninggalan gaji sebagai anak seorang Sersan Mayor, tentunya Ibu berjibaku dengan segala dayanya. 

Ayah yang sudah tiada dengan Ibu seorang diri dengan berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga memutar asa untuk ketujuh anaknya yang belum satupun berumahtangga. Ibu hanyalah tamatan SD dan hanya mampu membuka warung ditambah menunggu gaji pesiunan janda TNI setiap bulannya.

Meski keras dalam mendidik anaknya, dan terkadang seperti terbawa dalam suasana latihan militer, semasa hidup Ayah mendidik kedisiplinan tinggi kepada ketujuh anaknya. 

Pagi hari tepatnya pukul 5 pagi wajib sudah bangun dan sebelum beraktivitas Ayah selalu mewajibkan semua kami untuk kumpul berdoa. Kemudian dari yang tertua sampai saya yang paling bontot sudah punya tugasnya masing-masing di rumah. 

Dari memulai memasak, menimba air dari sumur, menyapu halaman, menyuci baju dan tugas lainnya. Bahu membahu sampai akhirnya sarapan dan berangkat ke sekolah.

Sebenarnya masih banyak kisah yang terjadi namun bagi saya itu adalah sebuah perenungan waktu dengan kondisi yang dialami sekarang. Satu yang begitu menggelitik adalah saya masih sangat terkenang karena dari mulai SD sampai SMA hampir setiap bulan saya tidak bisa membayar uang sekolah tepat waktu setiap bulannya. 

Lucu rasanya mengingat hal itu terjadi. Ketakutan awal bulan itu menggentayangi diri di setiap tanggal mendekati tanggal 10. 

Meskipun saya bersekolah di negeri, bahkan uang beasiswa saya yang jauh lebih besar ketimbang uang SPP juga terkadang harus terpakai untuk membantu keluarga. Namun itu sangat berarti dan membanggakan bagi saya. Sesuatu yang rasa-rasanya tanpa harapan bahkan impian kala itu.

Jalan Sang Khalik berkata lain mungkin dalam doa sebelum meninggal dunia, Ayah sudah menitipkan pesannya pada Sang Khalik agar anak-anaknya bisa bersekolah dan bernasib lebih baik darinya (Ayah cuman tamatan SMP dan masuk TNI sebagai seorang prajurit). 

Sesuatu yang sederhana yang diinginkan dan dicita-citakannya agar bisa lebih baik darinya. Bagi saya apa yang dinikmati hari ini adalah sebuah perjuangan panjang dari cita-cita dan doa Ayah.

Kondisi sekarang sangatlah jauh dari kondisi parah akan sebuah perjuangan hidup. Makan saja susah dulu, tapi kalau sekarang rasanya perut yang sudah tidak tahan bila terisi penuh dengan pelbagai makanan. 

Ketiga anak saya bisa bersekolah jauh dari sebuah kewas-wasan akan dipanggil ke tata usaha karena terlambat bayar. Saya sudah bekerja dan memenuhi harapan Ayah, dan juga menyelesaikan pendidikan pacasarjana, dan keenam abang dan kakak saya juga semua bertitel sarjana bahkan Doktoral dan mungkin juga 4 tahun mendatang bila diizinkan Tuhan akan berpangkat Jenderal. Sesuatu yang tidak mungkin kalau ditimang-timang.

Saya pikir kepergian Ayah di saat saya masih kecil ternyata mewariskan sebuah pekerjaan rumah dan warisan itu begitu berharga. 

Saya bukanlah hebat bahkan pengalaman saya mungkin tidak ada apa-apanya dari orang lain, tapi bagi saya hari-hari ini adalah hari penuh “bonus”

Ketakutan apapun rasanya belum ada apa-apanya ditengah ancaman, rasa dikucilkan oleh orang lain atau pula cemoohan apapun telah pernah menjadi bagian terbiasa dalam hidup masa lalu bahkan modal kedepan ditengah ketidakpastian hidup.

Bahkan diantara teman-teman saya dulu yang mereka jauh berkecukupan baik dari materi maupun kesempatan sepertinya saat ini justru sedikit kurang beruntung, tertinggal bahkan mundur.

Ayah menyisakan “PR” dan dia tidak selesaikan. Itu semua supaya saya bisa menyelesaikannya dan lepas dari beban. Dan Ayah tidak diberikan kesempatan untuk menyelesaikan semua “PR” dengan kondisi pangkat atau titel sarjana yang lebih tinggi. Karena hidup bukanlah untuk menyelesaikan segala sesuatu oleh dirinya semata. 

Bagaimana seandainya saya terlahir dari  Ayah yang berpangkat Jenderal, karir yang mumpuni, jabatan mentereng bahkan menyediakan fasilitas lengkap buat masa depan saya? Bisa saja saya sekarang sudah jadi lebih hebat darinya, atau sebaliknya pula. 

Saya terlena, terpuaskan dan mengatakan bahwa ini adalah titik terpuncak dari hidup dan kemudian menikmatinya dan tinggal dalam kemalasan, kelupaan serta berujung tragis. 

My Triple "A" (Dok. Pribadi)
My Triple "A" (Dok. Pribadi)
Misteri kehidupan yang sulit ditebak. Satu yang pasti terima kasih Ayah karena “PR” itu saat ini saya sudah selesaikan sedikit, dan masih tersisa buat cucu-cucumu yang merindukanmu. 

Aku yang yang selalu merindukanmu.

JBS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun