Jika diteliti, maka pola permainan isu fitnah sama seperti apa yang dibuat Lee untuk mengandaskan Michael Dukakis. Kekuatan Jokowi sebagai pejabat pelayan masyarakat adalah, sebagai seorang muslim, Jokowi yang tak pernah mengekspos kehidupan agamanya, dikenal sebagai pemimpin yang pluralis. Ia ingin masuk ke berbagai kalangan, karena itu ia memilih jalan sunyi dalam beragama. Biar Allah SWT yang menilai.
Jokowi juga memilih untuk benar-benar mendedikasikan perannya sebagai pejabat untuk mendengar dan mendekat dengan rakyat. Blusukan adalah aksi utamanya. Ia juga tak pernah mempromosikan program-program pemerintahannya secara berlebihan. Akan tetapi ia, lagi-lagi, memilih jalan sunyi dalam memerintah. Masyarakat pun tak banyak tahu apa program orang ini, tapi tahu-tahu pasar-pasar rapi, waduk bersih dan cantik dan kampung-kampung kumuh menjadi bersih.
Dalam kaca mata strategi Lee, kekuatan Jokowi inilah yang menjadi titik serang utama. Dan memang demikian. Jokowi yang sudah jelas muslim dan berdarah Jawa asli, difitnah dengan desas desus dia adalah seorang nonmuslim sekaligus berkeuturunan Tionghoa.
Yang paling mutakhir, fitnah kepada menyerang sikapnya yang merakyat dengan mengaitkan dirinya dengan paham komunisme. Sikap merakyat Jokowi dan keinginannya untuk memperbaiki semangat juang dan mental rakyat Indonesia menjadi titik serang. Jokowi dianggap antek komunis.
Betapa licik dan tidak bertanggung jawabnya fitnah dan kampanye hitam di masa kampanye ini. Strategi kampanye seperti ini memang menjengkelkan tetapi telah terbukti ampuh untuk mengelabui masyarakat untuk mengalihkan pilihan mereka.
Akan tetapi, mungkin kubu penebar fitnah lupa bahwa Indonesia bukanlah Amerika. Efek dari strategy Lee memang sedikit terasa. Beberapa pihak terpengaruh. Namun Indonesia tetap Indonesia, bukan Amerika. Dalam beberapa kali, terbukti bahwa mereka yang terfitnah lah yang menggenggam kemenangan.
Budaya orang Indonesia yang santun dan ramah menjadi kekuatan menangkis fitnah dan kampanye hitam. Kesantunan dan kesopanan serta kearifan-kearifan lokal sudah mendarah daging dalam budaya dan diri manusia Indonesia. Lalu siapa yang akan meraih kemenangan nanti?
Tentu ini kemenangan masyarakat Indonesia. Tapi saat ini, kecerdasan dan pengetahuan kita sedang diuji. Mana pemimpin yang cocok dan sesuai dengan keberagaman dan demokrasi Indonesia, seharusnya itu yang terpilih. Namun memang seringkali, orang Indonesia lebih suka membela yang lemah dan punya sopan santun, bukan memilih yang terlihat perkasa dan suka beretorika. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H