[caption id="attachment_358122" align="alignnone" width="638" caption="(Sumber: www.personnel-placements.co.uk)"][/caption]
Setelah lulus kuliah, apa yang mau kamu lakukan? Yang Alhamdulillah punya bisnis keluarga, bisa langsung terjun ke dunia itu. Ini tentu menarik sekali. Tapi sayangnya pilihan itu belum banyak di sekitar kita. Lalu apa pilihannya? Ya cari kerja.
Buka-bukalah website penyedia lowongan kerja. Sekarang semua mudah sebab banyak media bisa kita akses untuk info lowongan. Saya sendiri juga sempat beberapa kali melamar hingga akhirnya berlabuh di pekerjaan saya sekarang. Tapi, ada yang menarik setelah saya masuk dunia kerja.
Dunia kuliah dengan dunia kerja sepintas tak memiliki batas. Sama-sama berisi manusia, tugas, deadline, senior-junior (atasan-bawahan) dan lain-lainnya. Tapi bila kita sudah masuk dunia kerja, rupanya dunia kuliah dengan dunia kerja sangat berbatas.
Mengapa? Karena dua dunia ini berbeda sama sekali. Ketika kita masuk dunia kerja, maka mau tak mau kita memasuki alam lain, dunia lain, suasana lain sehingga langkah kita pun mau tak mau dimulai lagi dari nol. Artinya?
Sesenior-seniornya kita di kampus, sekeren-kerennya kita di kampus, segarang-garangnya kita di tempat kuliah, ketika masuk dunia kerja, jadilah semua itu tak berguna.
Saya teringat celetukan teman saya yang, menurutku, spontan tapi menggambarkan bagaimana rasanya ketika ia masuk dunia kerja. Kalau tidak salah dia berujar dengan canda: Gila, sekeren ape lu di kampus, mau dari kampus macam apa lu, kalau pertama masuk kerja, lu jadi kacung… Haha.  Ketik ini itu, foto kopi ini itu… Haha.
Kacung. Iya kacung. Tak pernah terbesit kata ini di pikiran saya hingga teman saya menceletukkannya. Saya pikir, benar juga ya…
Ketika pertama masuk dunia kerja, kita mulai belajar hal baru. Namanya belajar hal baru, tentu belajar dari hal-hal kecil dulu bukan? Ini yang tidak banyak disadari oleh sebagian besar lulusan universitas.
Kalau lulus dengan IPK 4, maka akan mudah dapat pekerjaan? Belum tentu. Mungkin mendapatkan pekerjaan mudah bagi yang bernilai baik, tapi untuk bertahan di pekerjaan barunya, itu hal lain.
Banyak yang mengeluh: IPK saya kan cumlaude, tapi mengapa saya disuruh cuma jadi notulen, kenapa saya cuma bikin surat dan antar surat, kenapa saya cuma urus absen karyawan, kenapa saya cuma isi angket penilaian? Kenapa saya jadi operator mesin? Saya bisa lakukan hal lebih besar…
Mengeluh demikian tentu lumrah saja. Lha iya, di kampus dulu jadi bintang fakultas, jadi lulusan terbaik, ikut seminar di luar negeri ini itu, lha kok cuma mengurus surat-menyurat, lha kok cuma jadi operator mesin?
Saya pernah (dan sedang, haha) mengalami masa-masa itu. Tapi sejalan waktu, saya sadar dan ingat ucapan kawan saya: masuk dunia kerja, pertama-tapi pasti jadi kacung.
Saya kemudian menyadari kalau dunia kerja dan dunia kampus berbeda sekali satu sama lain. Di kampus, sebelum kamu menjadi senior, pasti harus jadi junior. Butuh waktu dan pengalaman untuk jadi senior. Sama di dunia kerja, untuk menjadi atasan dengan tugas lebih besar, kita juga harus melewati fase menjadi bawahan atau kasarannya kacung. Disuruh ini itu diminta pergi ke sini dan ke situ.
Memang rasanya agak pahit di awal. Sepertinya nilai-nilai dan pengalaman semasa kuliah tak dihargai. Tapi masalahnya bukan dihargai atau tidak pengalaman kita di bangku kuliah.
Masalahnya, dunia kerja adalah dunia baru. Untuk menaklukkannya butuh waktu dan jam terbang, sebagaimana kita berkuliah, perlu waktu untuk jadi senior. Di dunia kerja lingkungan tentu jauh lebih kompetitif dan tanggung jawabnya lebih besar. Jenjang karir juga bukan Cuma 4 jenjang seperti kuliah. Ini bisa berlipat-lipat dari itu.
Anak kuliahan baru masuk dunia kerja itu seperti seorang anak yang beberapa tahun belajar berenang di dalam kelas. Suatu hari ia lulus lalu diminta untuk renang betulan di lautan.
Sebagian besar merasa jumawa. Nilai ujian teori renangnya tinggi. Ia ingin segera berenang di lautan lepas. Tapi mereka lupa kalau berenang betulan di tepian pun mereka belum bisa. Alhasil mereka hanya pindah dari satu pantai ke pantai lain.
Sebagian lain merasa, lebih baik mencoba berenang di tepian pantai. Sebentar nanti juga akan makin pandai. Dari pantai satu, mereka sedikit demi sedikit menjauh ke arah laut. Terus menerus demikian.
Saya sendiri masih di bibir pantai, di pinggir sekali. Saya masih menjadi kacung dan saya (kini) senang manjalaninya. Sebab, sederhana saja, rupanya banyak ilmu yang saya pelajari pada tahap ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H