Mohon tunggu...
Sukron  Makmun
Sukron Makmun Mohon Tunggu... Editor - Peneliti, penulis

I'm a go-lucky-man, just free me from all these rules from needing to find an explanation from everything, from doing only what others approve of...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsep Pendidikan Qur'ani; Solusi Pendidikan Islam Kontemporer

4 Januari 2017   15:05 Diperbarui: 3 Oktober 2019   21:01 1702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

71 tahun Indonesia Merdeka, namun masa depan pendidikan kita masih belum jelas arahnya. Generasi kita seolah terseok mengejar zaman yang begitu cepat. Sepertinya pendidikan hanya sebatas Trend, sehingga masih banyak kaum terpelajar yang seolah tidak terdidik.

Apakah ini disebabkan karena anggaran yang minim? Ataukah konsepnya yang belum tepat?

Kenyataannya kita sudah mencoba berbagai sistem. Kurikulum juga diubah hampir setiap ganti menteri. Anggaran juga sudah ditingkatkan. So, kenapa masih seperti ini?

Jika semua sudah dicoba, tapi hasilnya nihil, kenapa tidak mencoba konsep yang lain? Sebagai Muslim, kenapa kita tidak memilih konsep yang ditawarkan oleh Islam? Jargon “Al-Islam huwa al-hallu (Islam adalah solusi) insyallah bukan isapan jempol, jika kita mau konsisten. Ia bisa menjadi alternatif yang akan membuahkan hasil terbaik.

SebeIum menerapkan konsep tersebut, izinkan saya menyampaikan konsep pendidikan, yang menurut hemat saya, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Konsep ini berawal dari hasil telaah kritis terhadap pemikiran Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Konsep ini merupakan bagian dari Arkanu al-Bi’tsah (pilar-pilar kenabian).

Ini penting untuk disampaikan agar kita mengetahui langkah-langkah yang harus dimengerti oleh para praktisi di dunia pendidikan. Inilah sebenarnya metodologi yang digunakan oleh Nabi Saw., dalam mendidik ummat saat itu. Konsep genuine yang menurut saya sangat bagus untuk diterapkan di tanah air, khususnya di pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain.

Fase pendidikan dalam konsepsi al-Qur’an

Pertama, Tilawah (membaca). Tahap pertama yang harus  ditempuh oleh Santri –atau peserta  didik– adalah pendidikan membaca ayat-ayat Allah Swt., al-Qur’an (Lihat QS. Al-Jum’ah: 2). Karena al-Qur’an adalah kalamullah yang jadi pedoman hidup setiap manusia, sekaligus sumber segala ilmu. Kalau kita korelasikan dengan firman Allah dalam surat Al-‘Alaq, surat yang pertama kali turun, maka semakin jelas bahwa membaca adalah syarat mutlak untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah[knowledge]), sains (al-Ulum[sciences]) maupun karunia-karunia Allah yang lain (al-‘Alaq: 1 dan 3).

Menurut Profesor Bermawy Munthe, bacaan akan memberikan input makna pada setiap pembacanya, -baik membaca sendiri maupun dibacakan-, yang selanjutnya akan membentuk cara pandang seseorang, Worldview (pandangan hidup) atau dalam bahasa Jerman disebut weltanschauung (filsafat hidup) atau weltansicht (pandangan dunia).

Dengan demikian, yang perlu diprioritaskan kepada anak didik kita, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tingkat menengah adalah membaca dan memahami al-Qur’an. Terma membaca di sini kita artikan secara spesifik, sangat terbatas, yaitu membaca “ayat-ayat Allah, al-Qur’an”. Nanti, ketika anak-anak sudah masuk perguruan tinggi, maka terma tersebut kita artikan secara lebih luas dan komprehensif, bukan lagi sebatas ‘tilawah’, tapi ‘qira’ah’, yaitu membaca ayat Allah (al-Qur’an) dan juga ayat-ayat kauniyah, makro & mikro kosmos (al-‘alam). Belajar sains, teknologi dan juga pengetahuan yang lain, seyogyanya ditekankan pada jenjang ini (al-Baqarah: 151). Itulah kenapa dalam Surah al-Baqarah  ayat 151, kata “wa yuallimukum malam takunu ta’lamun” disebut terakhir sebagai penutup? Jadi belajar sains itu setelah bacaan al-Qur’annya benar, ibadahnya benar, dan ilmu Syari’ahnya juga sudah bagus.

Kedua, Tazkiyah. Tazkiyatu al-Nafs (penyucian jiwa). Berarti para santri harus memurnikan akidahnya dari unsur-unsur syirik (paganism). Para santri harus belajar tashawuf dan mengamalkannya. Ilmu tidak dapat diperoleh oleh mereka yang tinggi hati. Tabiat ilmu seperti air. Tidak pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Kesucian jiwa juga diperlukan pada saat proses transfer. Tidak pernah sampai ke hati, jika datangnya juga tidak dari hati. Ilmu yang didapat secara otodidak akan sulit membekas, kosong seperti jasad tanpa ruh. Jika tidak dibangun dengan hati, tidak dikoneksikan kepada Allah, maka ilmu itu tidak dapat menjadi penerang, bahkan cenderung menyesatkan dirinya maupun orang lain. Bisa juga jadi sumber malapetaka (al-Jatsiyah: 23).

Betapa banyak terpelajar yang tidak terdidik. Ia berpikir hanya dengan akalnya, bukan hatinya. Toh, para filsuf Timur maupun Barat pada akhirnya sepakat, bahwa kebenaran mutlak itu sifatnya intuitif. Teori ini dipelopori oleh Suhrawardi, Al-Ghazali dan Husserl. Bahkan, Husserl sendiri, yang hidup di lingkungan masyarakat sekuler, justru memperkenalkan kesadaran intuitif untuk melihat langsung kompleksitas realitas, tanpa perantara dan tanpa perspektif, sebagaimana yang diyakini oleh para filsuf Islam Timur.

Ketiga, “Wa yuallimuhu al-Kitaba wa al-hikmah”. Prioritas dan fase selanjutnya adalah belajar Ilmu Syari’ah, dalam hal ini adalah ilmu fiqih dan ushulnya (QS. Ali Imron: 164).

Keempat, “Wa yuallimukum ma lam takunu ta’lamun”. Setelah yang disebut tadi bagus dan maksimal, maka yang selanjutnya harus dipelajari adalah sains, teknologi, dan ilmu humaniora.

Rahasia di balik urutan dan redaksi ayat

Ayat-ayat tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Urutan dan subtansinya juga hampir sama. Kira-kira urutannya seperti ini: Dimulai dari surat al-Baqarah ayat 129, Ali Imran ayat 164, al-Jumu’ah ayat 2 dan terakhir adalah al-Baqarah ayat 151.

Sama tapi beda. Urutan, redaksi dan subtansinya yang sama. Namun dhamir(kata ganti) atau mukhatab (sasaran) serta letaknya tidak sama. Seperti kata ‘wa yuzakkihim’ dalam al-Baqarah ayat 129 –sebagai ayat yang paling awal diantara ketiga ayat dimaksud–  justru disebut paling terakhir. Dengan demikian, urutannya adalah, (i) belajar membaca al-Qur’an, (ii) belajar syariah (fiqih), kemudian baru (iii) belajar tashawuf.

Sementara ayat-ayat lain yang turun setelahnya, urutannya adalah (i) membaca al-Qur’an, belajar (ii) Tashawuf,  dan selanjutnya (iii) belajar ilmu syari’ah (fiqih).

Khusus pada surat al-Baqarah  ayat 151, ada tambahan “…Wa yuallimukum ma lam takunu ta’lamun (…mengajarkan apa yang belum kamu ketahui)”. Jadi setelah (i) belajar membaca al-Qur’an, (ii) belajar tashawuf, (iii) belajar fiqih, (iv) dianjurkan untuk mempelajari ilmu-ilmu lain seperti sains dan teknologi.

Pada surat Ali Imron ayat 164 dan al-Jumu’ah ayat 2. Keduanya sama-sama ditutup dengan “wa in kanu min qablu lafi dhalalin mubin (…mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata)”. Di sini mengindikasikan bahwa orang-orang yang tidak mengikuti petunjuk al-Qur’an, pasti akan tersesat. So, konsep ini insyallah yang terbaik.

Epilog

Tilawah, tazkiyah dan syariah itu 75% dari total sistem pendidikan yang ada pada konsepsi Islam. Ini wajib dipenuhi pada tingkat pendidikan dasar (RA-MI) sampai tingkat menengah (MTs dan MA). Sementara 25%nya lagi berupa sains, teknologi dan yang lainnya, hendaknya ditekankan/ diprioritaskan pada saat perguruan tinggi (universitas). Saat anak didik sudah memiliki etika yang bagus, akidahnya sudah kuat, serta sudah menguasai hukum-hukum Islam (syari’ah). Semoga dengan menggunakan konsep ini, pendidikan kita bisa memenuhi keinginan terbaik ummat, serta dapat berkompetisi pada tingkat nasional maupun global.© Wallahu a’lam bi al-Shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun