Untuk mengurangi selimut duka yang melingkupiku, kadang aku berbagi cerita dengan bercerita keluarga dan kawan-kawan di Jakarta sana. Setidaknya aku merasakan kehangatan dialog dan perhatian mereka. Mereka selalu memberikan dorongan semangat yang menguatkanku.
Aku begitu terkesan deangan kata-kata suamiku yang mengatakan,”Jangan larut dalam pemikiran bahwa kamu adalah manusia paling malang sedunia, Sally!” ”Ada banyak cobaan yang diterima oleh banyak orang yang kadarnya jauh lebih berat dari apa yang kita alami.” ”Lihat saja para korban lumpur Lapindo, korban bencana tsunami Aceh dan korban gempa Padang.” “Dengan melihat semua kejadian memilukan itu, kita takkan larut dalam kesedihan atas kemalangan yang kita alami.” ”Bahkan khusus untukmu, semestinya kian tumbuh empatimu kepada orang-orang yang berkekurangan dan ditimpa kemalangan karena kamu telah mengalami beberapa kepahitan.” ”Bicara memang mudah, dan mengalaminya tak mudah.” ”Namun hanya kita yang bisa merubah kesedihan dan keterbatasan menjadi kebahagiaan dan kelapangan dengan kemauan kuat kita.”
Seminggu setelah operasi kuret yang kualami, Amar putraku menderita sakit Tifus. Tak mau mengambil resiko, kamipun menemaninya rawat inap di salah satu klinik anak kota Metro. Selama lima hari aku menemaninya. Dan selama lima hari itu pula aku diliputi kekhawatiran atas keselamatannya. Untungnya suamiku menemani, meskipun harus ijin tak masuk kerja. Syukurnya, Amar dapat pulih kesehatannya.
Aku tak habis pikir, kenapa beberapa kesedihan ini berlangsung beriringan. Aku dan suamiku Cuma bisa berharap semoga dibalik semua kegalauan ini akan datang kebahagiaan tak terkira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H