Mohon tunggu...
Achmad Jayadi
Achmad Jayadi Mohon Tunggu... -

Menjadi guru kehidupan berarti menjadi pembelajar sepanjang hayat, itulah obsesi yang coba terus kuasah lewat pertemuan di kelas dengan siswa-siswiku dan lewatnulis di http//salamalam.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Suamiku Guruku (Episode Kedua)

21 Mei 2010   10:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ironisnya bukti alat test kehamilan yang bertanda positif dan aku serahkan lepada mereka ketika aku tiba di medikal hilang. Aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa. Mau nangis rasanya buliran air mata tak mau lagi keluar dari mataku. Mau marah aku gak punya keberanian untuk menyuarakannya.

Peristiwa keguguran yang ketiga adalah saat paling menyedihkan dalam hidupku. Aku dan suamiku sudah berupaya sekuat mungkin mempertahankan kehamilanku. Meski merasa tak nyaman dengan perlakuan tak menyenangkan petugas medikal, aku secara rutin memeriksakan diri ke medikal. Hingga datanglah saat yang menyedihkan itu, ketika usia kehamilanku mencapai usia tiga setengah bulan.

Saat itu tiga hari sebelum lebaran. Suami dan putraku pergi mudik ke Yakarta atas anjuranku. Aku kasihan dengan putraku yang sudah begitu kangen dengan eyangnya di Yakarta, maka kumnta menemaninya. Semestinya aku mengikuti keraguan dan keberatan hati yang disampaikan suamiku, tapi aku terus mendesaknya. Ia mengikuti anjuranku karena ada pembantu yang menemaniku.

Baru satu hari ditinggal pergi suami dan putraku, aku merasakan ada yang tak beres pada tubuhku. Sore hari kedua ditinggal mereka begitu banyak darah mengalir dari kemaluanku. Aku lemas melihatnya. Untung saja ada mbak Yahmi yang menemaniku ke medikal, demikian juga pak John tetanggaku. Setelah beberapa saat berkonsultasi dengan dokter Rida, akhirnya diputuskan aku bisa menumpang ambulans untuk dibawa ke klinik bersalin di kota Metro. Terima kasih yang terkira aku sampaikan buat pak John yang meminjamkan aku uang enam ratus ribu dan membantu menyiapkan pakaian-pakaianku.

Aku tiba di klinik bersalin Metro jam enam sore. Mbak Yahmi yang mengantarku ikut pulang dengan mobil ambulan ke rumahnya di Rumbia. Aku sendirian menerima vonis dokter bahwa aku telah keguguran. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingat bahwa dokter itulah yang menolak memberikan suntikan penguat rahim saat aku pertama kali konsultasi 2 bulan lalu. Aku menghujaninya dengan hentakan kesedihan dan kekecewaanku atas penolakannya itu. Dia tak mampu menjawabnya. Hanya mampu memberikan kata-kata penghibur,”Sabar Bu.”

Lewat handphone kukabarkan kepada suamiku, bahwa aku pendarahan hebat. Tangisku pecah sepanjang percakapan itu. Terima kasih Tuhan karena telah mengirimkan suami yang mampu meneduhkan gundah gulanaku. Ia karuniaku kata-kata penghibur agar tetap tenang dan sabar. Ia sampaikan pula permohonan maaf karena meninggalkan aku yang sesungguhnya karena permintaan aku sendiri.

Aku sangat kecewa dengan pelayanan suster di klinik tersebut. Mereka menyuruhku untuk membersihkan semua noda dan bercak darahku sendiri tanpa memperhatikan kesedihan dan sakit yang aku rasakan setelah dikuret. Syukurlah. tepat sepuluh menit jelang subuh, suami dan anakku tiba di hadapanku. Mereka tampak letih sekali, aku jadi merasa berdosa. Dengan sigap suamiku membersihkan bercak-bercak darah yang masih melumuri tubuhku, meski kutahu ia phobia dengan darah.

”Sabar yah Sally,” itu kata yang terngiang ditelingaku dari suara lembutnya. Ini semua bagian dari cobaan Tuhan. Pasti ada banyak isyarat kebaikan yang hendak disampaikan-Nya. Dibutuhkan ketenangan untuk memahaminya, maka bersikap tenanglah istriku,” katanya seraya mengecup pipiku. Sementara Amar mencoba menghiburku yang dengan polos mengatakan, ”Bunda harus bahagia, karena adik Amar pasti sudah di syurga. ” ”Jadi jangan sedih, apalagi Amar dan ayah sudah ada di sini.” tambahnya.

Malam takbir terasa begitu syahdu karena derita keguguran dan sakitnya dikuret. Kami melewatinya dengan menginap di klinik bersalin Metro. Meski demikian kulihat putraku begiu senang saat bersama suamiku berjalan-jalan menyaksikan konvoi kendaraan di seputar alun-alun kota Metro Lampung. Usai sholat Idhul Fitri, akhirnya kami pulang dengan menyewa mobil angkot.

Selama seminggu setelah kejadian keguguran, aku masih begitu larut dalam kesedihan. Lebih terasa lagi karena jauh dari keluarga besar di suasana libur hari raya. Aku begitu trauma bila kelak hamil lagi di wiayah site Gula Putih Manis ini. Aku jadi ingin kembali ke Jakarta. Namun aku tak tega meninggalkan suamiku sendirian di wilayah ini. Ku berharap ada jalan keluar dari kebingungan ini.

Bayangan bakal anak-anakku yang telah gugur selalu hadir dalam mimpiku di saat kesedihan melanda. Meski merasakan kehilangan aku bahagia karena dalam setiap mimpi mereka selalu hadir dalam rupa elok dan penuh kebahagiaan. ” Bunda, Bunda... jangan bersedih ya.” ”Kami bahagia di sini.” ”Kami akan menunggu hadirnya bunda kelak menemani kami” demikian serentetan kalimat yang terngiang dari mimpi-mimpiku dengan mereka. Meski mimpi, kuarasakan seakan begitu nyata bersua dengan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun