Mohon tunggu...
Achmad Jayadi
Achmad Jayadi Mohon Tunggu... -

Menjadi guru kehidupan berarti menjadi pembelajar sepanjang hayat, itulah obsesi yang coba terus kuasah lewat pertemuan di kelas dengan siswa-siswiku dan lewatnulis di http//salamalam.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Suamiku Guruku

21 Mei 2010   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Episode Awal

“Pak aku tak betah di rumah, “ adu Yuni pada aku. Kuingat sore itu usai jam pelajaran terakhir ia menghampiriku di koridor penghubung kelas. Dan kuingat saat itu isak tangis menghiasi wajahnya yang manis.

“Ada apa yah, Yun?” “Bila pak Adi bisa membantu, pasti akan pak Adi usahakan membantumu”  tanyaku sambil menenangkan dirinya.

“Aku gak betah di rumah karena ayah ibuku selalu bertengkar, Pak”. “Seringkali mereka tampak kekanakan di hadapan saya”. “Caci maki selalu terdengar dari ucapan mereka saat bertengkar”. “Bahkan tak jarang di hapadan aku ayah memukul wajah ibuku”. “Kalau sudah demikian pasti aku hanya dapat luruh dalam tangisan tak bertepi. ”Saat paling menakutkan dan memalukan bagiku adalah saat ayah mengancam ibu dengan golok” tambah Yuni kepadaku.

“Apa yang bisa aku lakukan ya Pak?” tanyanya. “Sungguh aku gak tahan lagi menghadapi keadaan ini”. “Aku sangat kasihan melihat ibuku”. ”Jika kutanya tentang mengapa ayah bersikap sangat kasar kepadanya, ia hanya bisa menangis dan tak pernah bersedia mengatakannya”. Kubiarkan Yuni hanyut dalam tangis yang coba ia tahan sehingga menyesakkan dadanya.

Sejenak saat tangisnya reda dan tampak lebih tenang, akupun memberikan pandanganku. ”Yun, bila kamu masih ingin menangis, menangislah”. ”Bersama air mata yang  kamu cucurkan, mengalir pula hormon-hormon yang terkait dengan tekanan perasaan”. ”Maka menagislah, karena ia melegakan hatimu”.

”Yun, pak Adi turut prihatin dengan keadaan keluargamu.” ”Saya turut berdo’a bagi surutnya keadaan yang menyedihkan dalam hubungan ayah dan ibumu”. Menurut saya, usaha yang terpenting yang bisa kamu lakukan adalah membantu menenangkan hubungan ayah bundamu”. ”Paling awal, mulailah dengan menata perasaan kamu sendiri agar lebih tenang”. ”Ketenanganmu akan membantu kamu melihat konflik ayah ibumu dengan jernih”. ”Ia juga akan membantumu menempatkan diri pada posisi yang membuatmu dapat meredakan terbukanya pertengakaran diantara mereka,” tambahku sambil menepuk pelan bahunya.

”Ini semua tak mudah memang untuk dilakukan, saya sendiri bila dihadapkan pada posisi kamu belum tentu dapat melakukannya,” tambahku meyakinkan Yuni. ”Tapi, pak Adi yakin kamu bisa melakukannya”. ”Saya percaya kamu putri yag baik yang memiliki tekad kuat mendamaikan kedua orang tuamu.” ”Tekad itulah bekal utama kamu mendamaikan mereka. ”

Kuberikan sapu tanganku kepada Yuni agar ia menghapus buliran air mata di wajahnya. ”Yun, terpenting jagalah harapanmu atas keharmonisan hubungan ayah bundamu.” ”Kirimkanlah selalu do’a-do’amu kepada-Nya agar meluluhkan hati-hati mereka sehingga selalu cenderung pada kasih sayang dan saling memaafkan,” kututup kata-kata nasehatku kepada Yuni dengan kalimat tersebut. Namun tak kusangka, kalimat tersebut membuat Yuni menangis lagi. Dan kali ini ia tak mampu menahannya. Tanpa kukira, ia memeluk tubuhku. Ia tumpahkan buliran air matanya dalam dekapan erat wajahnya di dadaku. Aku begitu terkaget dan tak bisa mencegahnya. Aku coba memahami kesedihan dan harapan yang begitu besar yang bergelayut dalam benak murid terbaikku.

”Aku takut Pak!”. ”Aku tak mampu membayangkan bila ayah bundaku berpisah,” pecahlah tangisan Yuni mengiringi kalimat pengaduannya. Kucoba menenangkannya dengan membelai rambutnya. Kubisikan padanya, ”Yun, kita seakan dua kekasih yang  tak hendak berpisah atau baru saja bertemu setelah terpisah lama yah?” ”Romantis sekali dalam pandangan orang yang melihat kita”. ”Bagaimana tidak, kamu gadis yang cantik dan saya pria tampan bersatu dalam pelukan yang begitu erat”. ”Seakan tak ingin dipisahkan oleh apapun dan siapapun,” godaku kepada Yuni.

Kalimat-kalimat ledekanku ternyata mujarab memisahkan pelukan Yuni dari tubuhku. ”Bapak nih, gak lucu ah”. ”Masak Yuni yang lagi bersedih dibilang romantis”. ”Dan senang yah bapak dipeluk bidadari cantik sepertiku?”. ”Enak aja!” cetus Yuni ketus membalas ucapanku sambil senyum kecil.

”Ha...ha..haa...ha..ha,” tawaku pecah mengimbangi ledekan Yuni. ” Nah gitu dong. Itu lebih baik”. ”Mendengar suara tawa dan melihat senyum kamu meneduhkan perasan”. ”Maka hiasilah selalu hidupmu dengan keduanya, pasti kamu dan orang-orang sekitarmu akan lebih bahagia”.  Setuju, Yun?” tanyaku meminta prsetujuannya. ”Ya Pak, setuju,” jawab Yuni mengiyakanku.

”Pak Adi, terima kasih banyak atas nasehat bapak,” kata Yuni membuka pembicaraan lagi. ”Aku akan selalu mencoba untuk tersenyum dan bahagia, untuk diriku dan orang-orang tersayang di sekitarku”. Dan lain kali masih bolehkan Yuni curhat sama bapak?” Boleh yah pak?” pintanya merajuk padaku.

”Ya boleh, tapi jangan dengan memeluk pak Adi yah” tambahku mengingatkannya. ”Tapi sukakan?” sanggah Yuni menggodaku.  ”Iya, sangat suka.” ”Namun karena kita guru dan murid, jadi malu jugakan?” ”Apalagi di hadapan kawan kawanmu dan guru-guru yang lain,” kataku. ”Tuh, lihat pak Azhar cekikikan.” ”Ya kan Pak?” tanyaku meminta dukungan pak Azhar. ”Iya, jangan ulangi lagi yap” timpal pak Azhar masih dengan senyum sumringahnya yang diikuti sorak sorai para siswa.

”Maaf ya Sal bila cerita tadi bikin kamu cemburu,” kata suamiku memecah pikiranku yang menerawang. ”Meski malu, aku bahagia karena telah memberikan kebaikan dan kebahagiaan kepada siswiku, Yuni”. ”Aku sendiri kadang bingung, begitu sering siswa-siswaku menyampaikan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi kepadaku”. ”Dan mayoritasnya masalah yang tak terkait dengan pelajaran sejarah yang aku asuh”. ”Tapi aku melayani semua keluh kesah mereka sebagai kesempatan terbaikku berbuat baik”. Dan sejauh ini semua kesempatan itu kurasakan membahagiakan aku, meski kadang mempermalukanku seperti kejadian tadi”.

”Kamu Mas terlampau baik sama siswa-siswamu,” kataku menimpali suamiku. ”Mestinya kamu jangan terlampau dekat dengan mereka, apalagi di sini”. ”Kamu tahukan, masyarakat di sini begitu cenderung dengan gosip”. ”Aku cuma khawatir berkembang gosip yang tak sedap tentang kamu,” tambahku meyakinkan suamiku dan membiasakan kesan kecemburuanku.

“Tadi pagi ada SMS dari Ayu, mantanmu Mas”. “Mantan muridmu maksudnya, jangan geer dulu Mas. Hi...hi...hi,” ledekku pada mas Adi suamiku. Bunyinya,” Salam”. ”Pak Adi bagaimana kabar Bapak?” ”Ayu mau curhat nih, boleh yah?” “Aku gak betah kuliah Pak”. Aku salah milih jurusan pak. “Ternyata bahasa China tuh sangat sulit”. “Aku seringkali menangis meratapi penyesalanku Pak”.  “Gimana nih jalan keluarnya?” “Les yah! Salam”.

“Hebat yah kamu, Mas”. “Bisa-bisanya siswa yang sudah lulus masih ngirim SMS untuk curhatan,” ledekke bersungut kepada suamiku. ”Tapi mungkin ini tanda kamu memang guru yang orang baik dan dipercaya orang lain, dalam hal ini siswamu”. “Aku minta maaf Mas, SMS itu aku balas”. “Aku bacaain yap isinya, ”Ayu yang baik tetaplah kamu fokus pada kuliahmu!”. “Lakukan yang terbaik, pasti hasil terbaik pula yang akan kamu dapatkan”. “Kabar pak Adi baik-baik saja, berkat do’a kamu tentunya, Yu”. “Salam”

”Bunda! ” sapa Amar anakku mengangetkanku. ”Ayah hari ini pulang jam berapa yah?” tanya Amar kepadaku sambil menggamit tangan kananku. ”Ini hari senin, biasanya sih ayah pulang jam tujuh malam tuh” jawabku. ”Memang kenapa Mar? Kangen yah?” kataku balik bertanya. ”Iya Amar kangen, mau main sepak bola. ”Kan sama bunda tidak mungkin’” jawab Amar sambil memainkan bola sepaknya.  ”Ya sudah besok hari sabtu dan ayah libur kerja, kalian bisa bermain sepak bola di lapangan”. ”Nah sekarang sudah jam satu siang, waktunya untuk tidur siang”. ”Pasti kamu lelah setelah belajar seharian di sekolah” ajakku kepadanya untuk tidur siang.

Lima belas menit menemani Amar agar mau tidur,  ia akhirnya tertidur pulas. Aku sendiri sesungguhnya ingin tidur, tapi aku bellum bisa. Pikiranku menerawang jauh ke Jakarta sana. Kesendirianku di pedalaman kebun tebu tempat suamiku bekerja sebagai guru kadang menyuburkan rasa jenuh. Kejenuhan yang tumbuh karena jauhnya akses transportasi dengan kota besar yang memungkinkan aku bersentuhan dengan dinamika hidup yang lebih berwarna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun