Mohon tunggu...
Jayanti M. Sagala
Jayanti M. Sagala Mohon Tunggu... Dosen - Performing Arts Studies, Western Classical Music

Music, Arts, Music Phycology, Film, Fashion.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Eksistensi Zulkaidah Harahap: Kreativitas dalam Reservasi Seni Maskulin

2 Agustus 2022   17:13 Diperbarui: 4 Agustus 2022   15:48 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zulkaidah Harahap, Amerika Serikat 1991 (Dokumentasi: Sekretariat PLOt Siantar, 7 februari 2014)

Kesenian yang mengandung unsur-unsur yang identik dengan dominasi maskulinitas pada akhirnya menciptakan istilah seni maskulin.

Kenyataan bahwa instrumen musik tradisi Batak Toba diciptakan khusus untuk laki-laki dan lazim di mainkan oleh kaum laki-laki, cenderung menjadikannya sebagai seni maskulin. 

Sehingga secara keseluruhan seni maskulin tidak dapat dilekatkan dalam panggung seni pertunjukan Opera Batak. 

Namun bagaimana jika dominasi maskulinitas dalam budaya Batak Toba yang patrilineal ditantang oleh kemunculan seorang perempuan yang secara musikalitas berhasil menyamakan kedudukannya dengan laki-laki?

Kedudukan kaum perempuan dalam setiap aktivitas masyarakat tidak dapat di pisahkan dari norma-norma kehidupan yang berlaku dalam lingkungannya.

Begitu pula yang terjadi dalam konteks seni pertunjukan, terlebih lagi figur yang mempunyai latar belakang menarik, yakni seorang perempuan dengan predikat parmusik. 

Namun perlu dipahami pentingnya kehadiran figur perempuan dalam konteks Opera Batak disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat dalam menilai kehadiran parmusik perempuan sebagai suatu hal yang tidak lazim (penyimpangan). 

Anggapan bahwa parmusik perempuan dipandang kurang memahami konstruksi sosial budaya Batak yang patriarkal, kemudian mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan parmusik perempuan pada posisi yang tidak penting. 

Setidaknya disadari 'penyimpangan' yang dilakukan oleh perempuan pada akhirnya membangkitkan kekuatan yang secara tidak sadar menjadi modal untuk pencapaian suatu prestasi.

Figur Zulkaidah Harahap inilah yang kemudian menjadi simbol tertinggi sejarah 'paropera' bagi masyarakat Batak Toba.

Keberadaan Zulkaidah Harahap bukan hanya merupakan bagian dari sisi kehidupan seni pertunjukan, tetapi juga sebagai pembuktian kepada khalayak banyak bahwa seorang perempuan mampu menyeimbangkan fungsi dan peranannya sejajar dengan kedudukan kaum laki-laki. 

Jika pada sebelumnya Opera Batak secara musikal lebih bersifat seni maskulin, melalui kehadiran Zulkaidah Harahap, Opera Batak kini memiliki jalan yang berbeda.

Hal tersebut tentunya memunculkan pertanyaan tentang bagaimana eksistensi Zulkaidah Harahap sebagai perempuan pada Opera Batak dalam masyarakat Batak Toba? Dan apa arti penting eksistensi Zulkaidah Harahap dalam seni pertunjukan Opera Batak?

Eksistensi Zulkaidah Harahap dalam Opera Batak

Opera Batak adalah panggung teater tradisi, di mana perempuan lazimnya berfungsi sebagai pelakon, penyanyi dan penari. Sementara pemain musik adalah bagian yang di pegang laki-laki. Karena pada hakikatnya setiap instrumen musik Batak Toba diciptakan khusus untuk anatomi tubuh laki-laki (Krismus Purba, wawancara 23 November 2013).

Kenyataan ini ditantang oleh kehadiran perempuan yang secara musikalitas berhasil menyamakan kedudukannya dengan kaum laki-lakinya.

Zulkaidah Harahap dalam kepiawaiannya sebagai parmusik berhasil mengantarkannya menjadi seorang figur dalam panggung Opera Batak, sekaligus menjadi perempuan Batak pertama yang berani dan mahir memainkan instrumen musik tradisi Batak Toba. 

Eksistensi seniman perempuan yang di hadirkan Zulkaidah Harahap dalam perannya sebagai paropera, parmusik dan tauke grup (pemimpin) perempuan, pada akhirnya menciptakan arti penting bagi seni pertunjukan Opera Batak itu sendiri.

Zulkaidah Harahap sebagai Paropera Perempuan

Zulkaidah Harahap adalah salah satu perempuan Batak yang mereservasi tradisinya tanpa kehilangan 'hasrat maskulinnya' untuk berkesenian dipanggung Opera Batak. Zulkaidah mengakui bahwa kehadiran perempuan dipentas seni Tapanuli Selatan pada waktu itu, sekitar tahun 1920 sampai tahun 1970-an tidak selazim sekarang. 

Di sana bukan hal yang biasa jika seorang perempuan aktif berkesenian di atas panggung, apalagi jika ia adalah boru Harahap asli dari daerah itu.

Menurut Zulkaidah, lingkungan tempat tinggalnya Tapanuli Selatan termasuk daerah yang didominasi penganut agama fanatik yang menabuhkan perempuan berkumpul diantara banyak laki-laki. 

Selain karena faktor agama, tradisi masyarakat lokal juga menjadi alasan kuat mengapa perempuan pada jaman Opera Batak terdahulu masih termarginalkan.

Sebagian besar paropera perempuan yang berkumpul di tengah-tengah para laki-lakinya, umumnya memiliki kebiasaan sebagai perokok dan peminum seperti perilaku laki-laki di zamannya. 

Ditambah lagi jika harus mengadakan pertunjukan keliling diluar daerah mereka, paropera perempuan harus meninggalkan suami dan anak-anaknya, karena jika membawa keluarga maka tanggungan biaya hidup sehari-hari selama pentas akan membebani tauke grup atau pemilik grup Opera Batak tersebut (Alister Nainggolan, wawancara 25 November 2013).

Pandangan masyarakat lokal memandang kebiasaan paropera perempuan tersebut sebagai perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan kaidah agama dan budaya setempat. Kehadiran mereka seolah menjadi bagian yang identik dengan pelanggaran susila (Rachmat, 2003:87). 

Perilaku sebagian paropera perempuan tersebut memang masih melekat sampai saat ini, sama halnya seperti perilaku seniman laki-laki umumnya. Nampaknya pandangan masyarakat lokal pun semakin akrab dengan perilaku pekerja seni tersebut. 

Kehadiran paropera perempuan dipanggung kesenian tradisi Batak Toba, tidak lagi di pandang sebagai sesuatu yang tabuh, hanya saja perilaku sebagian paropera perempuan diluar panggunglah yang membuat mereka dinilai menyimpang dari norma sosial mengenai perempuan, terkait peran dan fungsi mereka dalam tradisi masyarakat Batak di masa itu.

Zulkaidah Harahap sebagai Parmusik Perempuan

"Saya satu-satunya perempuan dalam grup Serindo yang bisa memainkan alat musik." (Wulandari, 2008:87)

Zulkaidah Harahap, kehadirannya sebagai paropera perempuan pertama yang berhasil mencapai kedudukan sebagai parmusik bukanlah suatu penyimpangan, terdapat proses pencapaian yang tidak mudah dibaliknya. Zulkaidah mengawali kesenimanannya di Serindo sejak usia 15 tahun sebagai tukang masak dan penjaga anak para pemain selama tiga bulan. 

Suaranya adalah musikalitas pertama yang dimilikinya dan membuat Tilhang Gultom tertarik untuk melatihnya. Zulkaidah Harahap pertama kali tampil pada tahun 1967 di pentas Opera Batak Serindo menyanyikan lagu 'Onang-Onang' saat itu ia baru berusia dua puluh tahun (Zulkarnaen Gultom, wawancara 30 Januari 2014). 

Tampil dihadapan penonton untuk pertama kalinya tidak membuatnya gugup, malahan ia mendapat banyak pujian dan saweran. Sejak saat itu ia mendapat perhatian khusus dari Opung Tilhang. Ia pun belajar menggali kemampuannya berkesenian dalam berlakon, menari dan bermain musik (Wulandari, 2008:87). 

Nama Zulkaidah Harahap mengharum dipentas Opera Batak, tak jarang ia menjadi penyanyi utama karena bakat menyanyinya. Lagu-lagu Opera Batak ciptaan pimpinan Serindo Tilhang Gultom yang sering di nyanyikannya dalam setiap pementasan kemudian direkam ke dalam kaset audio, beberapa saat setelah ia berumah tangga. 

Hingga kini kaset itu volume satu sampai tiga, masih banyak di incar orang (Wulandari, 2008:87). Rekaman kaset berisi lagu-lagu Opera Batak yang di nyanyikannya beredar pertama kali pada tahun 1968. Tercatat beberapa albumnya masih beredar dipasaran sampai saat ini (Thompson Hutasoit, wawancara 7 Februari 2014).

Kenyataan bahwa seluruh instrumen dalam Batak Toba diciptakan khusus untuk anatomi laki-laki, dapat di lihat dalam instrumen musik hasapi (kecapi). Instrumen berdawai dua ini diletakkan dan di mainkan tepat didada (payudara) manusia, dan jika hasapi digunakan oleh tubuh perempuan, maka tidak lazim baginya untuk di mainkan. 

Namun Zulkaidah, tanpa menghiraukan kenyataan tersebut ia berani mengangkat instrumen dan mampu memainkannya sama baiknya seperti laki-laki. Tidak hanya mahir sebagai parmusik, Zulkaidah pun lincah sebagai panortor (penari) dalam menarikan tor-tor lima puak; tarian dari Toba, Simalungun, Tapanuli Selatan, Karo dan Pakpak Dairi. 

Tak heran mengapa ia di sebut sebagai 'Ratu Opera Batak,' karena pada saat itu ia seperti seorang ratu yang kehadirannya selalu dinanti.

Pesona Zulkaidah memang tak luput walaupun tidak berada di atas panggung. Walaupun peran sebagai 'ratu paropera' tidak lagi dilakoninya akibat kebangkrutannya, ia mempertahankan hidupnya walau hanya sebagai penjual tuak dan kacang goreng keliling di kapal penyebrangan pulau Samosir. 

Permainan sulim yang disajikannya ketika tidak ada pembeli, ia gunakan untuk mengekspresikan rasa rindunya terhadap panggung kesenian. Jalanan pun tidak menjadi masalah bagi Zulkaidah untuk menggantikan panggung yang telah lama hilang dari kehidupannya. 

Akhirnya setelah lima tahun hidup seperti ini, pada tahun 1989 Rizaldi Siagian, seorang dosen dari USU mengajaknya pentas ke Jepang (Nurhan, 2007), setelah mengetahui keberadaan Zulkaidah lewat media cetak. 

Selama dua minggu ia bersama rombongan kesenian Batak memainkan enam Opera untuk "Festival Budaya Batak" dibeberapa kota di Jepang (Wulandari, 2008:87). Kemudian ia kembali ke luar negeri pada tahun 1991 untuk Festival of Indonesia di Amerika Serikat. 

Pengalaman ini adalah kali pertama baginya untuk bisa menginjakkan kaki di New York, San Fransisco, Philadelphia, Honolulu dan Hollywood (Nurhan, 2007). Lawatannya selama dua minggu di luar negeri pada kenyataannya tidak mampu mengubah nasibnya meskipun Zulkaidah punya kemampuan luar biasa dalam bermusik. 

Kembali dari luar negeri, dia berjualan lagi, bermain sebagai pemusik keliling, dan menjadi buruh tani. Namun, bagi Zulkaidah, uang tidak menjadi kendala untuk menghidupi kembali Opera Batak.

"Jadi Seniman tradisional seperti kami ini, ya ngeri-ngeri sedaplah. Bagaimana tak sedap, waktu di Jepang dan Amerika, semua orang hormat. Tidur di hotel mewah, makan tak kurang. Awak merasa kayak Presiden saja, padahal cuma penjual kacang goreng. 

Tapi begitu pulang kerumah, habis dari hotel mewah tidur di tikar. Air kadang tak ada, makan sehari-hari pun terancam. Belum lagi awak dicemeeh orang kampung. Ha-ha-ha. Kadang-kadang awak berpikir, macam mana pula ini. Tapi sudahlah, darah kita kan sudah di kesenian." (Nurhan, 2007)

Ironis memang, tetapi konteks ucapan Zulkaidah tersebut adalah realita yang dialami seorang 'seniman penjual kacang goreng,' seorang seniman yang tak lagi menikmati hidup lewat kemewahan seperti dimasa keemasannya dahulu. 

Tetapi bagi Zulkaidah, hidup dalam seni tradisi dan menghidupi seni itu sendiri seperti dua sisi dari keping mata uang. Sejak bergabung sebagai tukang masak sampai pada satu masa menjadi tauke grup tersebut, Opera Batak bagai sudah mengalir dalam darahnya (Nurhan, 2007). 

Terakhir Zulkaidah tak lagi berjualan secara keliling. Di Lumbanri, Tigadolok ada sebuah kedai gorengan. Kalau tidak musim ke sawah, ia hanya berjualan goreng dan minuman manis bagi orang - orang yang lalu lalang (Thompson Hutasoit, wawancara 7 Februari 2014). 

Awal Maret 2006 Thompson Hs mengajak Zulkaidah Harahap untuk bergabung bersama PLOt (Pusat Pelatihan Opera Batak), suatu wadah baru dalam revitalisasi Opera Batak yang akhirnya bermetamorfosis menjadi Opera Batak Transisi. Zulkaidah menerima PLOt dengan harapan dapat rekaman menyanyikan kembali lagu-lagu Opera Batak. 

Semakin sering diajak terlibat ke pentas Opera Batak, harapan itu tak lagi di singgungnya (Thompson Hutasoit, wawancara 7 Februari 2014). Bersama PLOt Zulkaidah Harahap dengan rekan segrupnya Alister Nainggolan memperoleh Penghargaan Maestro Opera Batak dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. 

Selain memperoleh penghargaan Maestro, mereka juga menerima bantuan uang satu juta rupiah setiap bulan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Ris, 2007).

"Terima kasih pada Allah, kami mantan pemain Opera Batak ini ternyata masih di perhatikan pemerintah. Kami bertekad akan menghidupkan dan mewariskan seni Opera ini kepada generasi penerus." (Ris, 2007)

Penghargaan ini tidak datang dengan gratis, tetapi dengan syarat membantu menjaga kelestarian seni dengan melatih generasi muda. Zulkaidah harus memotong tunjangannya sebanyak dua puluh persen sebagai kontribusi kepada pihak PlOt atas pengajuan dirinya sebagai Maestro Seni Tradisi dan juga atas keikutsertaan kembali dipanggung Opera Batak. 

Sayang, dua tahun sejak penghargaan itu diberikan, Zulkaidah baru memperoleh tunjangan selama enam bulan. Zulkaidah mengatakan bantuan itu adalah bantuan biaya hidup pekerja seni tradisi perbulan yang di terima setiap enam bulan sekali untuk seumur hidup.

"Padahal saya tetap datang untuk melatih, pemerintah juga tahu karena beberapa kali mereka mengawasi saya melatih (Wulandari, 2008:88). Maksud saya, bantuan itu bukan cuma-cuma, tapi ada pekerjaan saya dibidang budaya. Lebih baik saya dikasih kerja melatih untuk generasi muda secara rutin dan saya juga bisa buat laporan." (WSI, 2008).

Zulkaidah menunjukkan sedikit kekecewaan terhadap pemerintah atas keterlambatan tunjangan Maestro tersebut. Sementara tawaran untuk pertunjukan sudah langka, bahkan dalam kurun waktu dua bulan belum tentu ada. Tidak dapat di pungkiri Zulkaidah bahwa uang tetap menjadi masalah utama agar bisa tetap melanjutkan hidup. 

Pengabdiannya sebagai seniman tidaklah sia-sia. PLOt memberikan gelar penghargaan kepada dua orang Maestro Batak, yakni Alister Nainggolan dan Zulkaidah Harahap. PLOt memberikan gelar "Nai Angkola Soripada Tuan Boru Siparungutungut Namangunghal Opera Batak" kepada Zulkaidah Harahap (wawancara Thompson Hutasoit, 7 Februari 2014). 

Meski usianya tak lagi muda, tapi kepiawaiannya bermusik tidak bisa di sepelekan. Sayang, sedikit anak muda khususnya yang berada dilingkungan tempat tinggalnya memanfaatkan itu.

"Saya masih punya ilmu untuk di turunkan." (Indriasari, 2012:16)

Bukan Zulkaidah namanya jika menyerah. Dalam usianya yang renta, Zulkaidah rela bolak-balik dari rumahnya di Tiga Dolok, ke Pematang Siantar dengan waktu perjalanan sekitar satu jam. Semua itu demi mengajar mahasiswa/i yang ingin belajar Opera Batak. 

Dia juga kerap di undang ke Jakarta untuk ikut bermain Opera Batak bersama rekan-rekannya di PLOt (Dewi, 2008). Zulkaidah mungkin belum bisa menyaksikan Opera Batak kembali menguasai panggung pertunjukan seperti pada masa keemasannya dulu. 

Namun, ia kini bisa sedikit bernafas lega karena sudah memiliki 'panggung' lain, yaitu mengajarkan ilmunya bermain sarune, sulim, menyanyi, dan manortor (menari) kepada generasi muda meski tanpa di bayar atau kadang-kadang bayarannya tidak cukup untuk menghidupinya (Indriasari, 2012:16). 

Kecintaannya pada kesenian tradisi Batak, telah mengorbankan kehidupan pribadinya. Mempertaruhkan segalanya untuk keberlangsungan Opera Batak, walaupun tidak lagi sebagai 'Ratu Opera Batak' bagi Zulkaidah tidak mengapa, asalkan tetap dapat mewariskan bakat dan tekatnya untuk Opera Batak. 

Zulkaidah khawatir kesenian Batak punah selamanya. Ia menegaskan sambil berharap pemerintah bergerak mengembangkan seni dan budaya Batak.

"Saya akan meneruskan budaya ini dan Opera Batak untuk generasi muda. Tapi tolong saya, karena saya tidak bisa bergerak sendiri." (Wulandari, 2008:88)

Ucapan tersebut adalah Harapan Zulkaidah terhadap Opera Batak, sekaligus pesan yang di tinggalkan ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang ke 66 tahun, pada 25 Maret 2013. Kepergian Zulkaidah tentunya meninggalkan kesan yang mendalam, karena keberadaannya, nama Opera Batak di kenal luas hingga mancanegara. 

Suatu hal yang sangat disayangkan Zulkarnaen Gultom suaminya, seminggu sepeninggal Zulkaidah Harahap, tidak ada penghargaan apapun yang datang dari pemerintah yang sama, yang memberinya gelar Maestro Seni Tradisi, terhadap kematiannya, malahan seluruh kegiatannya di berhentikan (Zulkarnaen Gultom, wawancara 30 Januari 2014).

Kepemimpinan Zulkaidah Harahap dalam Opera Batak

Zulkaidah Harahap, kedudukan yang sempat ia rasakan sebagai pemimpin sebuah grup Opera Batak terbesar dan tersohor pada masa itu, tidak satupun menuliskan namanya dalam buku Opera Batak Serindo dari ketiga penulisnya. Kenyataan ini menimbulkan beragam pertanyaan, juga dugaan miring mengenai keabsahan kepemimpinan satu-satunya parmusik perempuan dalam grupnya tersebut.

"Saya tidak pernah berniat untuk meninggalkan Opera Batak, tapi lantaran saya tidak sanggup lagi membawa Opera Batak, makanya saya tinggalkan. Udah hancur yang ku cari selama di Serindo, habis semuanya. Sesudah jadi tauke aku, tauke Serindo, habis itu bangkrutlah. Diserahkan usaha sama saya, saya terima, bangkrutlah usaha ini, tinggal lah saya di Tiga Dolok" (Zulkarnaen Gultom, wawancara 30 Januari 2014)

Kepemimpinan singkat yang berakhir dengan kebangkrutan adalah satu realita dari perjalanan Zulkaidah selama menjadi bagian dari Opera Batak Serindo. 

Bukan hanya gagal mempertahankan keberlangsungan hidup grup kesenian yang telah menghidupinya selama menjadi 'Ratu Opera Batak,' ia juga kehilangan penghidupannya yang membuatnya harus menjalani kehidupan sebagai seorang 'Seniman Penjual Kacang Goreng.' Faktor ekonomi menjadi faktor internal kebangkrutan dari grup ini, terlihat dari manajemen keuangan yang tidak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran pertunjukan. 

Besarnya biaya produksi dan biaya hidup keseluruhan tim anggota selama produksi dalam satu pertunjukan keliling yang mereka adakan adalah penyebab utamanya.

Sedangkan faktor eksternal kebangkrutan grup ini adalah adanya perubahan dari dunia luar. Minat penonton yang sebagian besar mulai pergi ke pertunjukan dangdut, sirkus dan televisi seiring dengan kemunculannya; 

belum lagi tontonan Opera Batak yang mulai kalah bersaing dengan tontonan sirkus kala itu (1980-an), serta tingginya 'pajak' tak resmi dari oknum aparat yang tidak sesuai dengan harga karcis pertunjukan Opera Batak pada waktu itu, membuat keuangan Serindo kelimpungan. 

Kedua faktor di atas menjadi alasan bagi perempuan ini untuk menyerah, selain karena tidak memiliki modal (harta benda) lagi dan tumpukan hutang yang harus di tanggungnya. Kebangkrutan Serindo dan dirinya bahkan sempat membuatnya ingin mengakhiri hidup. 

Kegagalan ini, apakah menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang gagal pula? Terlepas dari apapun yang terjadi di dalam grup mereka, kegagalan suatu tim organisasi tetaplah menjadi kegagalan dari pemimpinnya. Apakah bakat musikalitas luar biasa yang ia miliki tidak serta merta di ikuti oleh kemampuan memimpin pula? Kemungkinan untuk jawaban ini pasti selalu ada.

Arti Penting Zulkaidah Harahap dalam Opera Batak

Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap didefinisikan sebagai suatu 'kreativitas' dalam panggung seni pertunjukan Batak Toba di lihat dari perspektif seni tradisi. Sebagaimana yang di tuliskan oleh George Herzog bahwa kreativitas bertentangan dengan representasi, sama halnya antara individualis dengan pandangan komunal masyarakat. 

Argumen yang di timbulkan oleh konflik ini adalah bahwa tindakan individu cenderung akan membawa kepada perubahan, sedangkan masyarakat komunal cenderung menolak perubahan (Herzog, 1988:74).

"The creative process is not one begun and finished by a single individual; it is spread over many individuals and generations, and it never comes to an end as long as the tradition is alive."(Herzog, 1988:69)

Menurut George Herzog, beberapa seniman dapat kreatif dengan cara yang di sengaja, dengan sadar berusaha memperkenalkan perubahan atau setidaknya kepada varian gaya tradisional. Ada juga seniman lainnya yang kreativitasnya tidak disengaja, meskipun hasil akhirnya terdapat inovasi dan perubahan yang luas, karena alasan untuk kreativitas yang tidak di sengaja juga bervariasi (Herzog, 1988:75). 

Seperti yang di kemukakan Herzog, kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, yang mungkin tidak ia sadari sebagai suatu tindakan yang mampu mengubah tatanan yang ada pada kesenian masyarakat Batak Toba, yang cenderung konservatif terhadap suatu perubahan. 

Tidak sedikit pujian dan cemooh yang di terima Zulkaidah Harahap selama hidup sebagai paropera. 

Setelah keberhasilannya menjadi paropera dengan maskot 'Ratu Opera Batak,' dan kemudian jatuh kedalam kehidupan 'Seniman Penjual Kacang goreng,' sebagai akibat kebangkrutan Opera Batak Serindo yang sempat ia pimpin, hingga diangkat kembali dengan pengakuan sebagai 'Maestro Opera Batak' oleh negaranya sendiri, tidak menjadikan perempuan ini lupa siapa dirinya yang sebenarnya. 

Perjuangan Zulkaidah Harahap tidaklah sia-sia, kesenian ini tidak putus hanya ditangannya saja. Setelah keberadaannya di panggung Opera Batak, maka kemudian lahirlah paropera-parmusik perempuan yang mahir memainkan instrumen tradisional Batak Toba. Keduanya adalah Hotania Nainggolan dan Tiurma Nainggolan, putri dari partner sejatinya dalam panggung Opera Batak, Maestro Opera Batak, Alister Nainggolan.

Kreativitas terhadap adanya suatu pembaharuan atau inovasi yang dilakukan Zulkaidah Harahap pada seni pertunjukan Opera Batak dapat di lihat dalam dua hal. Pertama, sebagai Pemimpin, Zulkaidah adalah perempuan pertama dan satu-satunya yang pernah memimpin sebuah grup Opera Batak. 

Meskipun inovasi yang di gagasnya sebagai pemimpin saat ini masih belum memiliki generasi. Kedua, sebagai Parmusik, Zulkaidah adalah perempuan pertama yang berani mengangkat instrumen dan mampu memainkannya sejajar dengan kaum laki-laki. Sebagai penggagas awal parmusik perempuan pertama, kini ia memiliki penerus dengan musikalitasnya yang tak kalah dengannya sebagai parmusik. 

Namun keberadaan Zulkaidah Harahap ini masih belum mampu memberikan perspektif estetik perempuan di dalam panggung seni pertunjukan Opera Batak yang secara musikal merupakan seni maskulin. Kreativitas yang tidak disengaja ini patut dikatakan sebagai inovasi baru dalam panggung kesenian tradisi masyarakat Batak Toba. 

Setelah mengetahui bagaimana eksistensialisme yang di hadirkan oleh Zulkaidah Harahap. Maka arti penting keberadaan Zulkaidah Harahap dalam Opera Batak didefinisikan sebagai suatu 'Kreativitas' dalam seni pertunjukan Batak Toba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun