Pendapat sebagian kalanga bahwa akad transaksi perbankan tidak termasuk dalam kategori akad ribawi dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Bank sebagai lembaga keuangan intermediasi (intermediary financial institution) sebagai perantara bagi pihak surplus fund unit (kreditor) dan defisit fund unit (debitur) dalam akad investasi.Â
Pengertian bank sebagai lembaga intermediasi dalam Financial block Theory di sini adalah peran information intermediary (peran intermediasi) dalam transaksi keuangan yang meliputi aspek penilaian (screening), pengawasan (monitoring), dan evaluasi (evaluation) terhadap arus kas proyek secara langsung yang merupakan informasi private yang tidak dapat diakses oleh investor secara langsung (Kyle, 1986).Â
Pengertian ini menunjukkan bahwa bank bukanlah perantara dalam akad investasi, tetapi lembaga intermediasi informasi keuangan dalam sistem keuangan yang mengatur arus transaksi keuangan antara aktivitas deposito dan loan.Â
Artinya, bank mengumpulkan dan menyimpan (deposit) dana lalu menyalurkan dalam bentuk loan terhadap entitas proyek yang dinilai feasible melalui analisis kelayakan pemberian pendanaan atas informasi private entitas proyek yang tidak dapat dilakukan secara langsung tanpa peran lembaga intermediasi perbankan.
2. Akad depository dan penyaluran kredit bank (loan) didasari oleh teori Fisher Separation Theorem (Fisher, 1930) yang menuntut adanya suku bunga baik yang menentukan keputusan deposito maupun kredit.Â
Pihak peminjam dana tidak perlu mengetahui preferensi pihak kreditur, selain hanya memperhatikan kelayakan tingkat suku bunga utk mendanai proyeknya.Â
Sedangkan di sisi lainnya, pihak pemilik dana tidak perlu memperhatikan entitas proyek yang akan didanai , dimana pihak pemilik dana tinggal menempatkan dana depositonya di bank dengan memperoleh insentif berupa suku bunga deposito setiap periodenya.Â
Sebagian kalangan dalam hal ini menilai bahwa bank menyalurkan dana deposito dalam bentuk investasi pendanaan proyek. Sementara, baik akad deposito maupun kredit keduanya tidak didasarkan skema bagi hasil atas pengelolaan dana, tetapi atas dasar skema insentif bunga yang didasarkan atas time value of money (nilai waktu uang) dan fix income atas arus kas di masa depan.
3. Sebagian kalangan yang mengisyaratkan bahwa akad deposito maupun kredit perbankan merupakan akad ghairil musamma yang tidak terdapat dalam literatur muamalah mliyah klasik, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai akad qardh (hutang) dengan insentif bunga yang ribawi.Â
Pandangan ini keliru disebabkan suku bunga (interest) sebagai insentif baik atas akad deposito maupun kredit yang disepakati merupakan 'illat yang juga terdapat pada akad qaradh yang termasuk dalam perkara riba yang diharamkan oleh syariat seperti riba berupa insentif bunga atas dasar nasa' (penundaan tempo waktu) yang diambil dalam akad qardh.Â
Dalam hal ini sebagian kalangan terlalu menyederhanakan mekanisme akad perbankan dari segi formil tanpa melihat teori-teori yang melandasi sistem perbankan konvensional.Â
Adapun perbedaan pandangan dalam persoalan apakah model akad deposito dan kredit perbankan yang disertai insentof bunga merupakan bagian dari praktik riba yang telah dinashkan, seperti pendapat Abdullah Saeed dalam "Islamic Banking and Interest: The Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation" merupakan perkara 'ilmiyah yang membutuhkan penelitian (tahqiq) dan analisis (tahlili) yang tidak keluar dari konteks ijtihadyah yang tujuannya untuk mencapai kemaslahatan (Madarik Al-Maslahah) yang perselisihan dalam hal ini harus disikapi dengan arif dan bijaksana disebabkan hal ini termasuk dalam perkara muamalah mliyah yang bersifat mutahawil (dinamis) yang tidak terlepas dari konsiderasi dimensi realitas kehidupan sosioekonomi.
Wallahu A'lam bish shawwab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H