“… memiliki keunggulan di bidang ekonomi, hubungan internasional, pengalaman birokrasi, mewakili organisasi keagamaan, pengambil keputusan di partai, dan mewakili unsur non Jawa…”
[caption id="attachment_332158" align="aligncenter" width="720" caption="Analisis Isu-isu Cawapres-Capres 2014"][/caption]
Indonesia saat ini merupakan negara besar dengan segala potensi luar biasa besar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan di sisi lain menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan utama perekonomian dunia. Dari berbagai potensi besar yang ada di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal utama yang dimiliki oleh Indonesia untuk mencapai kedua tujuan tersebut, yakni: 1. besarnya pasar domestik yang berasal dari jumlah penduduk di Indonesia yang merupakan terbesar keempat di dunia, 2. sumber daya alam, dan 3. stabilitas politik.
Indonesia yang saat ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil dan relatif tinggi masih memiliki beberapa permasalahan mendasar yang membuat pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dapat dirasakan oleh sebagian penduduk Indonesia. Secara mendasar, penyebab dari masalah - masalah ini berasal dari (a) ketimpangan kebijakan pembangunan antara Pulau Jawa dan non Pulau Jawa, (b) tidak selarasnya formulasi kebijakan dengan eksekusi di lapangan, baik di Jawa maupun di non Jawa, dan (c) kurang efektifnya komando kebijakan terkait pembangunan dari pemerintah pusat ke, terutama pemerintah kabupaten/kota. Dari tiga masalah mendasar tersebut memunculkan berbagai masalah derivatif, seperti masih minimnya infrastruktur terutama di non Jawa, disparitas harga yang cukup tinggi antara Jawa dan non Jawa, tidak terkelolanya produk - produk pertanian paska panen, dan kurang banyaknya kemunculan daerah industri - industri baru yang bisa memberikan multiplier effect besar bagi kawasan sekitar.
Mempertimbangkan hal - hal di atas, Indonesia yang saat ini sedang menggelar pesta demokrasi dalam posisi yang tepat untuk berpikir jauh ke depan, terutama terkait penentuan pasangan Capres dan Cawapres yang ideal untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif dan realistis, untuk Capres yang memiliki potensi menang hanya dimiliki oleh Jokowi dan Prabowo Subianto. Lantas untuk mencapai tujuan - tujuan di atas, siapa yang Cawapres yang cocok dan tepat mendampingi Jokowi dan Prabowo Subianto? Dari sekian banyak nama kandidat Cawapres dan mempertimbangkan berbagai hal, nama Hatta Rajasa merupakan nama yang paling tepat untuk mengisi posisi Cawapres, baik dari Capres Jokowi maupun dari Capres Prabowo Subianto.
Kesinambungan Kebijakan
Dalam konteks kebijakan publik dalam kerangka praktik ekonomi politik, pergantian kepemimpinan di pemerintahan memerlukan proses yang berkesinambungan. Artinya, pemerintahan yang baru tidak lantas langsung bisa mengubah segala kebijakan yang ada atau yang telah dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya. Diperlukan sebuah kesinambungan kebijakan untuk memberikan solusi berbagai masalah yang ada. Hal ini ketika dikaitkan dengan masalah mendasar Indonesia di atas, maka seperti ketimpangan kebijakan pembangunan antara di Jawa dan di non Jawa, sebenarnya pemerintah pusat saat ini telah membuat payung kebijakan pemerataan pembangunan melalui, misalnya, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI). Dalam payung progam ini, intinya desain kebijakan yang untuk proses pemerataan pembangunan antara Jawa dan non Jawa, melalui pembangunan berbagai insfrastruktur (jalan tol, bandara, pelabuhan, jalur kereta, kawasan industri, dan pembangkit listrik) sudah direncanakan, baik dengan skema pembiayaan murni oleh pemerintah sendiri, kerjasama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership, PPP), maupun murni swasta.
Namun rencana kebijakan yang indah dan baik tersebut tidak diiringi dengan implementasi yang efektif, sehingga sampai saat ini, masih relatif sedikit realisasi rencana kebijakan tersebut. Pada titik inilah, Hatta Rajasa yang telah mengetahui luar dalam kebijakan, termasuk berbagai masalah yang menghambat implementasinya, bisa menjadi kunci untuk meneruskan dan mencari solusi inovatif. Pada saat ini, dalam kapasitas sebagai Menko Perekonomian, Hatta Rajasa memiliki banyak hambatan untuk memberikan solusi inovatif dan mengimplementasikan atas rencana kebijakan MP3EI. Posisi yang sekarang jelas tentu akan berbeda dengan posisi jika Hatta Rajasa menjadi Wapres, baik dari Jokowi maupun Prabowo Subianto dalam konteks MPE3I tersebut.
Pembagian Peran: Jokowi dan Hatta Rajasa
Jika dipasangkan dengan Jokowi yang kabinetnya kelak direncanakan bukan kabinet dagang kursi, maka Hatta Rajasa akan lebih mudah untuk melakukan konsolidasi di internal pemerintah pusat, karena berbagai kepentingan politik yang terjadi pada era SBY - Boediono dipastikan sudah tidak ada lagi. Proses kebijakan lintas departemen akan lebih mudah dan efektif dilakukan, baik terkait pembangunan infrastruktur yang menggunakan dana APBN maupun PPP dan swata murni. Untuk pembiayan dengan skema PPP dan oleh swasta murni, Hatta Rajasa akan lebih mudah memberikan instruksi tegas kepada jajaran kabinet terkait dan ke pemerintah daerah yang lokasinya langsung bersentuhan dengan pembangunan infrastruktur – infrastruktur tersebut.
Dari sisi investor, dengan kepastian proses dan mekanisme investasi tanpa ada berbagai biaya transaksi, membuat investor akan lebih yakin dengan penanaman modalnya. Terlebih lagi dengan dengan Jokowi sebagai presidennya yang memiliki komitmen penuh bahwa setiap kebijakan yang telah dihasilkan harus diimplementasikan sesuai rencana. Dengan kombinasi yang saling mengisi, proses menuju cita – cita Indonesia merdeka sedikit demi sedikit akan terealisasi.
Pembagian Peran: Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa
Apa yang dilakukan oleh Hatta Rajasa tersebut akan sama efektifnya jika dipasangkan dengan Prabowo Subianto. Implementasi rencana kebijakan pemerintah pusat seringkali berhenti di tingkat pemerintah kabupaten/kota yang disebabkan faktor otonomi daerah yang seringkali memunculkan biaya – biaya transaksi yang membuat para investor enggan melanjutkan rencana investasi. Hal yang terjadi sekarang ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor SBY yang terlalu menghormati otonomi daerah, sehingga terkesan membiarkan berbagai kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat terhenti oleh pemerintah daerah.