Pengalaman kedewasaan di atas saya kira menjadi pelajaran berharga bagi kami kini. Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran yang sudah tuntas di masa mahasiswa itu jadi bekal bagi saya untuk terus membangun relasi yang toleran dengan siapa saja dan dimana pun saya berada. Sejak menamatkan bangku kuliah, memegang pena jurnalis, dan menjadi warga Kompasiana, tema-tema kebangsaaan, agama, dan toleransi masih menjadi perhatian dan pergulatan pemikiran saya. Melalui lembaga Komisi Pemilihan Umum, saya belajar mengawal dan menjaga demokrasi.
Bagi saya, merawat kerukunan beragama di era media social ini bukan perkara instan. Saya kira tahapan atau prosesnya juga harus dimulai dari hal-hal sederhana, dimulai dari lingkungan pergaulan kita yang nyata. Jaman bakal terus berubah, namun pilar-pilar kebhinekaan harus terus dirawat dan dijaga bersama.
Di tahun 2000-2004-an saya mengira isu SARA tak bakal menarik lagi menjadi kajian serius lembaga-lembaga semacam BINUKA. Saya keliru rupanya. Sampai kapan pun, selama warga bangsa ini masih mau satu NKRI, sikap toleransi dan menjaga Pancasila itu tak boleh surut apalagi mati. Teman-teman pendiri BINUKA, semoga membaca catatan kerinduan ini, mari penuhi tuntutan adik-adik kita untuk melanjutkan BINUKA. Semoga..
Lebong,14 September 2016
(facebook: Marx Freire, twetter: @ErhardusE)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H