Mohon tunggu...
Dani -
Dani - Mohon Tunggu... profesional -

mencari keindonesiaan, menggali kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tol Cipali, Mudik & Tantangan Pembangunan

6 Agustus 2015   18:07 Diperbarui: 6 Agustus 2015   18:07 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pak, bagaimana dengan adanya tol Cipali ini? Pasti kemacetan (di Pantura) berkurang,” tanya saya santai kepada seorang petugas tol Cipali ketika mengikuti Kompasiana Visit.

“Berkurang sih berkurang, mas. Tapi, nantinya sama saja. Pasti bakal macet juga jalan tol ini, apalagi waktu sekitar Lebaran,” jawab petugas itu.

Pernyataan bapak petugas itu cukup mengejutkan. Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, kok ada benarnya juga. Setelah merenung sejenak, “Ya betul!”

Memang, kelihatannya jawaban Bapak itu sangat skeptis, atau bahkan pesimis. Apalagi, di balik eforia masyarakat menyambut jalan tol terpanjang dan termahal di Indonesia ini, rasanya sikap Bapak itu melemahkan semangat. Bukankah, tol Cipali ini diklaim dapat mengurai kepadatan jalur Pantura hingga 60%? Bukankah, tol Cipali ini dapat memperpendek waktu tempuh dari/ke ujung Barat pulau Jawa? Bukankah, tol Cipali ini akan menekan biaya perjalanan, sehingga harapannya mengurangi biaya transportasi dan sekaligus menambah daya saing? Ah, semua itu tidak salah. Tetapi, yang Bapak Petugas itu utarakan, juga tidak salah. Kenyataannya, pada masa Lebaran kemarin, tol Cipali tetap padat, dan masih terjadi kemacetan di beberapa titik. Hal ini berarti ada masalah yang lebih mendasar yang perlu kita pecahkan. Beberapa pertanyaan di bawah ini membantu kita mengidentifikasi masalah tersebut.

 

Alat Transportasi Idaman: Masih Pribadi?

Pada saat saya berkunjung di tol Cipali beberapa hari sebelum Idul Fitri lalu, saya tak melihat ada banyak angkutan publik yang melintas. Jauh lebih banyak, kendaraan dengan plat hitam yang berlalu lalang. Hal ini mungkin karena perusahaan angkutan publik belum memutuskan memakai jalur ini, atau sedang menimbang-nimbang pendapatan dan pengeluaran apabila memakai jalur ini. Atau, kemungkinan yang lain, pemudik memutuskan untuk menyewa kendaraan untuk sekeluarga atau sekelompok orang, seperti yang saya temui di sebuah tempat peristirahatan. Akan tetapi, pertanyaan yang lebih besar yang ingin saya sampaikan adalah, “Sejauh mana transportasi umum menjadi pilihan utama bagi masyarakat?” Apakah masyarakat masih menekankan bahwa kendaraan pribadi adalah alat transportasi idaman?” Nampaknya, keadaannya masih seperti itu. Pembicaraan lanjutan dengan Bapak Petugas diatas, melukiskan hal ini.

 

“Kalau sampai mudik dari Jakarta, tidak membawa kendaraan, itu rasanya masih belum sukses.”

“Kalau, belum punya cukup uang Pak?”

“Ya, kredit dulu.”

“Kalau kredit pun masih belum mampu?”

“Sewa atau pinjam lha. Tapi ngakunya ke orangtua, mobil sendiri. Hahaha.”

Lagi-lagi dialog ini memberikan semacam “Cring!” ke otak saya. Kenyataannya, selama masa Lebaran kemarin, jalan tol Cipali dipadati oleh kendaraan-kendaraan pribadi. Majalah Kiprah edisi Juni – Juli 2015, dalam artikelnya “Darat, Laut, dan Udara Siap Melayani Pemudik,” menuturukan bahwa jumlah penumpang angkutan pribadi baik mobil maupun sepeda motor selama arus mudik dan balik, terus meningkat dari tahun ke tahun. Tentu, permasalahan ini sudah banyak dibicarakan dan berbagai solusi sudah diagendakan. Mulai dari penaikan pajak dan tarif parkir kendaraan pribadi, perbaikan fasilitas angkutan umum, hingga kampanye untuk tidak menggunakan mobil pribadi. Tetapi, usaha-usaha ini sepertinya belum menemui titik terangnya. Setidaknya, kemacetan masih terjadi atau malah bertambah parah, terutama di kota-kota besar. Pendapat seorang walikota Bogota, Kolombia yang cukup sukses dengan program transportasi publiknya, terngiang-ngiang di kepala namun masih tanpa ada bayangan yang jelas bagaimana bisa terwujud di Indonesia, “Sebuah negara yang maju bukanlah dimana mereka yang miskin memiliki mobil, namun mereka yang kaya menggunakan transportasi publik.”

[caption caption="Keluarga ini sedang beristirahat sejenak di tempat perhentian menuju ke arah Palimanan. Saya tanya mereka, "Naik apa?" "Sewa mobil, mas." Sumber: Pribadi. "][/caption]
 

Moda Transportasi Publik: Yang Mana Yang Terbaik?

 

Salah satu alasan kemacetan yang sering diutarakan adalah pertambahan panjang jalan tak seimbang dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Tentu saja, membuat jalan baru atau memperbaiki jalan tak semudah membeli kendaraan. Belum lagi, berbagai fasilitas kredit ataupun iming-iming hadiah, dan terutama status sosial, yang didapatkan. Transportasi publik pun juga masih didominasi oleh jalan, walau selama tiga tahun terakhir ada perubahan. Jalur kereta api semakin menjadi pilihan untuk arus mudik dan balik, dengan prediksi pertumbuhan 8,5 % dan jumlah pengguna lebih dari 5 juta orang (Majalah Kiprah, Juni – Juli 2015). Transpotasi jalan menempati peringkat dua, dengan jumlah yang terus menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kereta api dapat menjadi moda utama transportasi publik masa depan. Jepang adalah contoh suatu negara yang menggarap serius transportasi kereta api. Contoh lainnya adalah Tiongkok, yang berhasil mengembangkan jalur kereta api dengan cepat selama dua dekade terakhir, sehingga membuat Amerika Serikat terusik. Saya sendiri pernah merasakan nyamannya menggunakan kereta api di Tiongkok, dari bagian selatan (dari kota Fuzhou, provinsi Fujian) hingga ke utara (Beijing) yang berjarak ribuan kilometer di tahun 2007 lalu. Saya juga mengapresiasi jalur kereta ke bandara Suvarnabhumi dari Bangkok, meskipun rutenya jauh lebih pendek.

Kesimpulannya, jalur kereta api adalah moda transportasi publik yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan. Selain itu, moda transportasi udara dan laut juga harus terus ditingkatkan. Khususnya, dengan luas wilayah perairan yang begitu besar, seharusnya transportasi laut memiliki peran yang tidak kecil. Tentu saja, semua ini tidak mengecilkan keberadaan jalan tol Cipali dan jalan tol lainnya. Namun, pemilihan pengembangan moda transportasi publik yang tepat akan membantu menyelesaikan masalah-masalah seperti kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan lainnya.

 

Ke Jakarta Ku Kan Kembali?

 

Kalimat di atas bukanlah senandung romansa seperti yang dikidungkan oleh Koes Plus. Akan tetapi, kalimat itu menggambarkan bagaimana ibu kota Republik Indonesia ini telah menjadi harapan dan tujuan untuk memperbaiki nasib bagi banyak warga dari berbagai penjuru di Indonesia. Seminggu sebelum Lebaran, saya bercakap-cakap dengan seorang pedagang baju anak, yang berjualan di sebuah pasar di daerah Kebon Jeruk. Sambil menceritakan kegembiraan mudik, Abang itu mengatakan pasti kembali lagi dua minggu setelah Lebaran. Jakarta, nampaknya, masih memberi banyak haparan baginya setelah lima tahun lebih. Akan tetapi, kalimat berikutnya sangat menggelitik, “Biasanya kalau kembali ke Jakarta, pasti bersama kawan baru. Bisa dua hingga empat orang. Sama-sama cari rejeki.” Ya, hal ini pernah saya dengar sebelumnya. Mereka yang berurbanisasi ke Jakarta selalu bertambah dari tahun ke tahunnya. Di satu sisi, keberadaan mereka dapat membantu memutar roda ekonomi. Namun, di sisi lain, beban kota untuk menjadi kota yang layak huni semakin berat karena sumber daya yang harus dibagi dan diperebutkan oleh lebih banyak orang. Tak ayal, pemerintah provinsi DKI Jakarta, menghimbau untuk tidak menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya tujuan, seperti spanduk yang saya temukan di Stasiun Tanah Abang baru-baru ini.

 

[caption caption="Himbauan untuk tidak tinggal dan bekerja di Jakarta seperti ini, juga nampak saat masa mudik tahun lalu. Sumber: Pribadi. "]
[/caption]
 

Berpindah dan mencari sumber penghidupan ke tempat lain tentu saja adalah hak asasi, dan legal di mata hukum. Arus urbanisasi sendiri bukan masalah yang dihadapi oleh kota Jakarta sendiri. Kota-kota besar lain di Indonesia juga menghadapi masalah serupa. Bahkan, isu urbanisasi telah menjadi fenomena global, dimana penduduk yang tinggal di kota diperkirakan akan mencapai 70% pada tahun 2050. Di Indonesia sendiri, masalah urbanisasi sudah sejak lama terjadi. Lukisan yang terpampang di Museum Seni Rupa di bawah menunjukkan pemukiman kumuh di Jakarta di tahun 1970-an (sumber: http://lailatulfitria33.blogspot.com/2014_01_01_archive.html)

[caption caption="Sebuah lukisan karya pelukis ternama di Museum Seni Rupa, Jakarta, yang menggambarkan pemukiman kumuh vis a vis urbanisasi tahun 1970-an di Jakarta. Sayang, saya lupa nama pelukisnya. Sumber: http://lailatulfitria33.blogspot.com/2014_01_01_archive.html"]
[/caption]
 

Salah satu persoalan mendasar dari urbanisasi adalah ketimpangan pembangunan. Prioritas pembangunan pada daerah pusat, seperti yang terjadi di masa Orde Baru, membuat jurang yang sangat dalam, antara Jakarta dan luar Jakarta, Jawa dan luar Jawa, serta kota dan non kota. Contoh kecilnya, adalah selama puluhan tahun, dari 1973 hingga 1996, Pekan Olahraga Nasional selalu diselenggarakan di kota Jakarta. Proses desentralisasi yang terjadi selama lebih dari satu dekade memang membantu mengubah hal ini, tapi tampaknya masih belum cukup.

 

Tol Cipali, Mudik dan Tantangan Pembangunan

 

Keberhasilan pembangunan tol Cipali tentu saja perlu disambut. Momen mudik sendiri adalah kejadian sosial dan spiritual yang patut kita rayakan. Namun, keduanya juga mengambarkan tantangan pembangunan yang sedang dan akan kita hadapi. Apabila kita tak betul-betul serius untuk berefleksi dan mengambil langkah solutif yang berorientasi jangka panjang, saya khawatir apa yang dikatakan Bapak Petugas diatas tidak hanya terjadi namun bertambah buruk. Pembangunan jalan tol saja jauh dari cukup untuk mengatasi permasalahan transportasi dan tantangan pembangunan. Ada persoalan mendasar yang perlu segera diperbaiki, sehingga tidak menjadi bola salju yang menggelinding, membesar dan siap menabrak. Bagaimana menurut pendapat Anda?

* Keterangan foto atas: Tampak satu keluarga yang sedang beristirahat sejenak di tempat perhentian menuju ke arah gerbang Palimanan, pada masa mudik lalu. Saya tanya mereka, "Naik apa?" "Sewa mobil, mas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun