“Kalau kredit pun masih belum mampu?”
“Sewa atau pinjam lha. Tapi ngakunya ke orangtua, mobil sendiri. Hahaha.”
Lagi-lagi dialog ini memberikan semacam “Cring!” ke otak saya. Kenyataannya, selama masa Lebaran kemarin, jalan tol Cipali dipadati oleh kendaraan-kendaraan pribadi. Majalah Kiprah edisi Juni – Juli 2015, dalam artikelnya “Darat, Laut, dan Udara Siap Melayani Pemudik,” menuturukan bahwa jumlah penumpang angkutan pribadi baik mobil maupun sepeda motor selama arus mudik dan balik, terus meningkat dari tahun ke tahun. Tentu, permasalahan ini sudah banyak dibicarakan dan berbagai solusi sudah diagendakan. Mulai dari penaikan pajak dan tarif parkir kendaraan pribadi, perbaikan fasilitas angkutan umum, hingga kampanye untuk tidak menggunakan mobil pribadi. Tetapi, usaha-usaha ini sepertinya belum menemui titik terangnya. Setidaknya, kemacetan masih terjadi atau malah bertambah parah, terutama di kota-kota besar. Pendapat seorang walikota Bogota, Kolombia yang cukup sukses dengan program transportasi publiknya, terngiang-ngiang di kepala namun masih tanpa ada bayangan yang jelas bagaimana bisa terwujud di Indonesia, “Sebuah negara yang maju bukanlah dimana mereka yang miskin memiliki mobil, namun mereka yang kaya menggunakan transportasi publik.”
[caption caption="Keluarga ini sedang beristirahat sejenak di tempat perhentian menuju ke arah Palimanan. Saya tanya mereka, "Naik apa?" "Sewa mobil, mas." Sumber: Pribadi. "][/caption]
Moda Transportasi Publik: Yang Mana Yang Terbaik?
Salah satu alasan kemacetan yang sering diutarakan adalah pertambahan panjang jalan tak seimbang dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Tentu saja, membuat jalan baru atau memperbaiki jalan tak semudah membeli kendaraan. Belum lagi, berbagai fasilitas kredit ataupun iming-iming hadiah, dan terutama status sosial, yang didapatkan. Transportasi publik pun juga masih didominasi oleh jalan, walau selama tiga tahun terakhir ada perubahan. Jalur kereta api semakin menjadi pilihan untuk arus mudik dan balik, dengan prediksi pertumbuhan 8,5 % dan jumlah pengguna lebih dari 5 juta orang (Majalah Kiprah, Juni – Juli 2015). Transpotasi jalan menempati peringkat dua, dengan jumlah yang terus menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kereta api dapat menjadi moda utama transportasi publik masa depan. Jepang adalah contoh suatu negara yang menggarap serius transportasi kereta api. Contoh lainnya adalah Tiongkok, yang berhasil mengembangkan jalur kereta api dengan cepat selama dua dekade terakhir, sehingga membuat Amerika Serikat terusik. Saya sendiri pernah merasakan nyamannya menggunakan kereta api di Tiongkok, dari bagian selatan (dari kota Fuzhou, provinsi Fujian) hingga ke utara (Beijing) yang berjarak ribuan kilometer di tahun 2007 lalu. Saya juga mengapresiasi jalur kereta ke bandara Suvarnabhumi dari Bangkok, meskipun rutenya jauh lebih pendek.
Kesimpulannya, jalur kereta api adalah moda transportasi publik yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan. Selain itu, moda transportasi udara dan laut juga harus terus ditingkatkan. Khususnya, dengan luas wilayah perairan yang begitu besar, seharusnya transportasi laut memiliki peran yang tidak kecil. Tentu saja, semua ini tidak mengecilkan keberadaan jalan tol Cipali dan jalan tol lainnya. Namun, pemilihan pengembangan moda transportasi publik yang tepat akan membantu menyelesaikan masalah-masalah seperti kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan lainnya.
Ke Jakarta Ku Kan Kembali?
Kalimat di atas bukanlah senandung romansa seperti yang dikidungkan oleh Koes Plus. Akan tetapi, kalimat itu menggambarkan bagaimana ibu kota Republik Indonesia ini telah menjadi harapan dan tujuan untuk memperbaiki nasib bagi banyak warga dari berbagai penjuru di Indonesia. Seminggu sebelum Lebaran, saya bercakap-cakap dengan seorang pedagang baju anak, yang berjualan di sebuah pasar di daerah Kebon Jeruk. Sambil menceritakan kegembiraan mudik, Abang itu mengatakan pasti kembali lagi dua minggu setelah Lebaran. Jakarta, nampaknya, masih memberi banyak haparan baginya setelah lima tahun lebih. Akan tetapi, kalimat berikutnya sangat menggelitik, “Biasanya kalau kembali ke Jakarta, pasti bersama kawan baru. Bisa dua hingga empat orang. Sama-sama cari rejeki.” Ya, hal ini pernah saya dengar sebelumnya. Mereka yang berurbanisasi ke Jakarta selalu bertambah dari tahun ke tahunnya. Di satu sisi, keberadaan mereka dapat membantu memutar roda ekonomi. Namun, di sisi lain, beban kota untuk menjadi kota yang layak huni semakin berat karena sumber daya yang harus dibagi dan diperebutkan oleh lebih banyak orang. Tak ayal, pemerintah provinsi DKI Jakarta, menghimbau untuk tidak menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya tujuan, seperti spanduk yang saya temukan di Stasiun Tanah Abang baru-baru ini.