Suara adzan Isya yang merdu bergema di langit kota kecil itu, menandakan waktu bagi umat Muslim untuk berkumpul dan beribadah. Di balik suara adzan yang menenangkan hati, ada sebuah kisah tentang iman, pengorbanan, dan cinta yang tulus.
Fahri, seorang pemuda berusia 25 tahun, adalah muadzin di masjid Al-Ikhlas. Setiap hari, dia dengan setia mengumandangkan adzan, mengajak orang-orang untuk mengingat Allah dan memenuhi kewajiban mereka. Fahri dikenal sebagai sosok yang ramah dan penuh kasih, selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkan.
Namun, di balik senyumnya yang hangat, Fahri menyimpan kesedihan yang mendalam. Beberapa tahun lalu, ia kehilangan ayahnya yang sangat ia cintai. Ayahnya adalah muadzin di masjid yang sama dan selalu mengajarkan Fahri tentang pentingnya ibadah dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Sejak kepergian ayahnya, Fahri berjanji pada dirinya sendiri untuk meneruskan tugas suci itu, meskipun hatinya sering dirundung rindu yang menyayat.
Suatu malam, setelah mengumandangkan adzan Isya, Fahri duduk di tangga masjid, menatap langit malam yang cerah. Di sana, ia teringat kembali akan nasihat ayahnya.
"Fahri, nak, suara adzan bukan hanya panggilan untuk sholat, tapi juga panggilan untuk selalu dekat dengan Allah. Lakukanlah dengan penuh keikhlasan dan cintailah setiap detiknya," kata ayahnya suatu waktu.
Ketika sedang larut dalam kenangan, seorang pria tua datang mendekatinya. "Fahri, ada yang ingin aku bicarakan," katanya dengan suara bergetar.
Fahri mengenal pria tua itu, Pak Amir, seorang jemaah yang setia. "Silakan, Pak Amir. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Fahri dengan sopan.
Pak Amir duduk di samping Fahri, matanya tampak berkaca-kaca. "Fahri, aku ingin mengucapkan terima kasih. Setiap kali aku mendengar adzanmu, hatiku merasa tenang. Kamu tidak hanya memanggil kami untuk sholat, tapi juga mengingatkan kami tentang pentingnya kebersamaan dan keikhlasan."
Fahri tersenyum, merasa tersentuh oleh kata-kata Pak Amir. "Terima kasih, Pak. Itu adalah tugas saya dan juga warisan dari ayah saya. Saya hanya mencoba melakukannya dengan sebaik mungkin."
Pak Amir menepuk bahu Fahri dengan lembut. "Ayahmu pasti sangat bangga padamu. Dan tahu tidak, suaramu mengingatkanku pada masa mudaku, saat pertama kali aku mendengar adzan di kampung halaman."
Malam itu, setelah berbincang panjang lebar, Fahri merasa hatinya lebih ringan. Ia menyadari bahwa tugas yang diembannya bukan hanya tentang mengumandangkan adzan, tetapi juga tentang menyebarkan kedamaian dan ketenangan di hati orang-orang.