Di atas kanvas langit yang luas, Â
Pelukis awan beraksi dengan kuasnya, Â
Mengecat garis-garis tipis, Â
Menari antara biru dan putih, Â
Mencipta pemandangan yang tak pernah sama.
Dia, seniman tanpa nama, Â
Mengolah awan layaknya cat air, Â
Menyusun pemandangan dengan gerakan yang alami, Â
Membaurkan abu-abu dengan cahaya matahari, Â
Menorehkan bayangan yang lembut pada hamparan dunia.
Tiap sapuan kuasnya adalah nafas, Â
Yang memadukan angin dan uap, Â
Membentuk bentuk-bentuk yang hanya bisa dibayangkan, Â
Awan yang bergulung, berarak, berpilin, Â
Seolah-olah alam itu sendiri adalah galerinya.
Pada hari-hari ketika langit tampak muram, Â
Pelukis itu tak pernah berhenti, Â
Dia menggambar kesedihan dengan hujan, Â
Memberikan dunia air mata langit yang menyegarkan, Â
Sebuah pengingat bahwa setiap emosi memiliki keindahannya.
Dan saat matahari terbenam, Â
Pelukis awan itu menghadiahkan mahakarya terakhir, Â
Merona merah, oranye, dan ungu, Â
Sebuah perpisahan yang memukau, Â
Membuat semua yang melihatnya terdiam dalam kekaguman.
Pelukis awan, oh seniman yang tersembunyi, Â
Terima kasih telah mengajar kita, Â
Bahwa keindahan bisa ditemukan, Â
Di tempat-tempat tinggi yang sering kita lupakan, Â
Di atas, di antara lapisan-lapisan angkasa yang tak terjangkau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H