Di paragraf berikutnya sang tokoh belum muncul juga. Paragraf 3-4 membandingkan lelaki pedesaan dan perkotaan dalam kaitannya dengan kebiasaan (tidak) memakai celana dalam.
Mengapa tidak bertanya kepada lelaki Jones dan X perkotaan? Â Karena mereka sejak balita sudah dipakaikan ibunya celana dalam. Â Bahkan sering berkeliaran di rumahnya hanya pakai celana dalam. Â Jadi pertanyaan itu tak relevan bagi mereka.
Beda dengan lelaki Jones dan X pedesaan, terutama di luar Jawa. Â Masa kanak-kanak mereka sebagian besar dihabiskan tanpa celana dalam. Â Kok bisa?
Bahkan jika dibaca paragraf 5-8, siapa tokoh cerita belum jelas juga. Di keempat paragraf ini, Pak Felik masih bercerita latar: alasan mengapa orang dewasa sekalipun tidak mengenakan celana dalam; model celana yang umum dikenakan orang dewasa; dan bagaimana perasaan orang-orang lelaki pada umumnya dengan tidak mengenakan celana dalam.
Penjelasannya simpel. Teknologi celana dalam masih langka tahun 1950-an sampai 1960-an di pedesaan. Â Karena itu pakai celana rangkap, luar dan dalam, jauh dari imajinasi anak kecil masa itu.
Bahkan lelaki dewasa di masa itu sebenarnya tidak pakai celana dalam seperti dikenal sekarang. Â Mereka pakai celana kolor katun atau belacu yang dijahit sendiri atau beli di pasar mingguan. Bentuknya komprang, mungkin itu generasi pertama "boxer" yang populer di kalangan Generasi Y dan Z sekarang.
Kembali ke soal celana dalam yang alpa dari panggul anak lelaki Jones dan X. Lalu bagaimana jadinya? Ya, langsung pakai celana pendek luaran. Â Dari bahan katun, tetoron, atau kain kepar. Â
Apakah tidak risih? Ya, tidak. Kan waktu itu anak-anak belum punya aspirasi "pakai celana dalam." Pakai celana, ya, seperti itu, langsung celana luar.
Tokoh cerita baru muncul di paragraf ke 9 dengan nama lokal, lengkap dengan karakteristik, kebiasaan dan keadaan sekitarnya.
Poltak adalah anak generasi X pedesaan Tanah Batak yang kenyang dengan masa kanak-kanak tanpa celana dalam. Ke sekolah, gereja, pasar, sawah, Â padang penggembalaan, ke mana saja, semuanya dilakoni tanpa celana dalam. Semua anak kecil di desanya seperti itu.
Poltak tergolong beruntung. Punya empat potong celana pendek. Ada temannya yang cuma punya dua. Â Kalau celananya basah semua, kadang dia berkeliaran di sekitar rumah sambil pamer burung.
Minus celana dalam itu praktis. Kalau mau kencing tinggal angkat salah satu pipa celana, kiri atau kanan mana suka, lalu "syurrr." Setelah itu lepas saja, barang akan kembali dengan sendirinya ke posisi semula. Â Begitu gaya kencing anak desa tahun 1960-an. Â
Oh, ya, waktu itu teknologi retsluiting juga belum populer. Â Karena itu celana masih pakai kancing. Â Bagi anak kecil, buka kancing celana itu tidak praktis. Repot. Â Belum lagi kalau lupa mengancingkannta kembali. Â Bakalan kena "pasal pornografi."
2. Peristiwa
Pak Felix menarasikan peristiwa ceritanya dengan lebih sedikit paragraf, hanya setengahnya dibanding orientasi. Di paragraf 13-18, diceritakan pengalaman sang tokoh yang mulai memakai celana dalam, lengkap dengan alasan-alasan yang melatarbelakanginya.
Kembali ke judul, kapan pertama kali pakai celana dalam? Â Tiap anak Generasi Jones dan X tentu punya jawaban sendiri-sendiri. Â Poltak juga punya jawaban sendiri. Mau tahu?
Nah, menurut pengakuannya, Poltak itu untuk pertama kalinya pakai celana dalam tahun 1973. Kok bisa? Â Karena tahun itu dia masuk SMP Seminari di kota Pematang Siantar. Â
Tentang Siantar ini, dia memang kota yang memperkenalkan celana dalam kepada anak-anak laki remaja di kampung Poltak. Mereka sekolah SMA ke sana, lalu saat pulang liburan pamer celana dalam di pancuran desa. Wow, keren.
Kembali pada Poltak. Kata ibunya, "Poltak, kau sekarang sekolah calon pastor. Â Karena itu mulai sekarang kau harus pakai celana dalam. Malulah kalau calon pastor tidak pakai celana dalam."
Poltak manggut-manggut saja. Â Padahal siapa pula yang perduli, atau mau tahu, dia pakai celana dalam atau tidak. Â Dia patuh saja.Â
Sejak itu, mulai hari pertama di Seminari, dia selalu tertib mengekang perabotnya di balik celana dalam yang ketat. Â Tidak bebas lagi berkeliaran ke kiri dan ke kanan. Â Yah, nasib calon pastor.
3. Twist
Di bagian ini, Pak Felix bermanuver, melacarkan gerakan yang tak terduga, menyuguhkan kejutan bagi pembacanya.
Pembaca pasti tahu bahwa artikel yang ditulis Pak Felix adalah tulisan humor, makanya siap untuk tersenyum, bahkan mungkin sudah mempersiapkan energi untuk tertawa terbahak-bahak.Â
Namun kejutan apa yang akan diberikan, tak seorang pun pembaca bisa menduganya.
Tapi ngomong-ngomong, ada apa sih kok ujug-ujug ngomongin celana dalam? Ada tiga alasan untuk bicara topik yang tak penting ini.
Pertama, alasan seadanya, ini hari Minggu, maka sebaiknya  bicara hal-hal yang ringan saja.
Kedua, alasan apa adanya, sekadar nostalgia masa kanak-kanak yang jenaka menggelikan.
Ketiga, alasan mengada-ada, sekarang banyak orang yang pakai celana dalam aja belum genah sudah teriak-teriak "Makzulkan Presiden Jokowi!"
Paragraf terakhir merupakan klimaksnya, twistnya, yang bisa ditafsirkan berbeda, tergantung oleh siapa pembacanya. Dari hasil tafsirnya, seorang pembaca bisa merasa tergelitik dan mengakhiri bacaannya dengan senang hati, tersenyum puas. Sementara, pembaca lain mungkin merasa tersinggung dan menganggapnya akhir yang tragis ditandai dengan senyuman kecut.
Semoga bermanfaat.