Mohon tunggu...
Ahmad Jawahir
Ahmad Jawahir Mohon Tunggu... Guru - Penulis Tanggung

Biasa saja sih....

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Telaah Gramatika "New Normal"

30 Mei 2020   03:06 Diperbarui: 30 Mei 2020   09:09 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlebih dahulu saya ajak pembaca mengingat kembali dan melihat sebuah gambar, sebuah cuplikan video dan dua kutipan kalimat.

Pertama, tiga tahun yang lalu di akhir Mei seperti sekarang. Pemerintah meluncurkan jargon untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila 1 Juni yang salah satunya melalu gambar berikut.

Ilustrasi: berita.baca.co.id
Ilustrasi: berita.baca.co.id
Beberapa kalangan mengkritik penggunaan kata-kata dalam jargon tersebut. Salah satunya melihat dari sudut pandang tatabahasa.

Kata "Indonesia" kurang tepat untuk berdiri sendiri menerangkan subjek "saya" karena "Indonesia" adalah benda bukan orang. Seharusnya ada kata utama yang diterangkan oleh "Indonesia" untuk membentuk frasa nomina dengan susunan D+M (diterangkan + menerangkan). Sehingga, klausa pertama berbunyi "Saya Orang Indonsia."

Kata "Pancasila" juga kurang tepat untuk menerangkan "Saya" karena "Pancasila" juga kata benda bukan orang. Seharusnya "Pancasilais" atau tambahkan kata "Pengamal," contohnya, supaya bersusunan D+M "Pengamal Pancasila." Sehingga, klausa kedua berbunyi "Saya Pancasilais" atau "Saya Pengamal Pancasila."

Triawan Munaf, yang waktu itu sebagai Kepala Badan Ekonomi Kreatif periode pertama Pemerintahan Presiden Joko Widodo, merespon kritik tersebut. Bahwa jargon "Saya Indonesia, Saya Pancasila!" merupakan idiom eliptik (idiom yang salah satu unsurnya sengaja dihilangkan) untuk tujuan catchy (menarik perhatian) terutama bagi para millenials.

Kedua, menjelang Ramadhan yang baru lalu. Dalam sebuah acara talkshow televisi, Presiden mengeluarkan pernyataan yang membedakan istilah "mudik" dan "pulang kampung" seperti dalam cuplikan video berikut, terutama mulai menit ke 11.


Keesokan harinya berbagai sindiran, cacian dan bully ditujukan kepada Bapak Presiden atas pernyataannya tersebut. Padahal beliau langsung menjelaskan perbedaan keduanya karena memang langsung diminta penjelasan oleh si pembawa acara.  

Ketiga, belum lama Bapak Presiden mengeluarkan himbauan.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan, dan berdamai dengan Covid-19 agar tetap produktif. Alasannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan meski kurva kasus positif Covid-19 menurun, virus Corona tidak akan hilang.

(Sumber)

Ajakan Presiden tersebut mengundang reaksi dari mantan wakilnya di periode pemeritahannya yang pertama.

Berdamai itu kalau dua-duanya ingin berdamai. Kalau kita hanya ingin damai, tapi virusnya enggak, bagaimana?" ujar Kalla dalam diskusi Universitas Indonesia Webinar.

(Sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun