Mohon tunggu...
Kertaning Tyas
Kertaning Tyas Mohon Tunggu... Human Resources - Pendiri Lingkar Sosial Indonesia

Panggil saja Ken. Penggerak inklusi di Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengubah Perburuhan Menjadi Kemitraan

1 Mei 2020   14:34 Diperbarui: 1 Mei 2020   14:54 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kerja Omah Difabel di masa pandemi Covid-19 | Dok. pribadi

Sejak tahun 1996 saya bekerja sebagai buruh di beberapa perusahaan, lalu mengakhirinya tahun 2016. Saat ini melakukan kegiatan ekonomi dalam bentuk wirausaha berbasis sosial bersama teman-teman difabel. Berkaitan dengan masa pandemi Covid-19 saat ini kami memproduksi ribuan masker dan ratusan hazmat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus prospek pasar.

Saya merintis wirausaha bersama teman-teman difabel telah lama sebelum masa pandemi ini, tepatnya tahun 2015. Yang melatari adalah sulitnya difabel mengakses pekerjaan yang layak. Meski undang-undang telah mengamanahkan kesetaraan, namun praktek di lapangan, fasilitas sarana dan prasrana serta pelayanan publik, khususnya terkait ketenagakerjaan tidak ramah difabel.

Menyikapi banyaknya difabel yang menjadi pengangguran, sementara kesempatan kerja bagi difabel di perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta minim, menggerakkan saya untuk membangun kelompok kerja atau pokja. Kelompok kerja ini kemudian banyak merekrut difabel yang telah berketerampilan namun masih menganggunr atau kerja tak layak untuk menciptakan peluang-peluang usaha baru sesuai minat dan kemampuan mereka.

Cara kerja di Omah Difabel 

Posisi kawan-kawan difabel dalam workshop Omah Difabel yang saya kelola dalam payung organisasi Lingkar Sosial Indonesia, adalah sebagai mitra pekerja, bukan buruh. Salah satu indikatornya kami, manajemen Omah Difabel tidak menentukan sepihak upah kerja, melainkan secara terbuka membahas bagaimana kita berbagi keuntungan dalam sebuah proyek job.

Alur bagaimana kami berbagi keuntungan dimulai dengan rapat HPP atau harga pokok produksi. Misal dalam order job 1000 masker, saya dan beberapa perwakilan mitra kerja berkumpul membahas HPP, cara kerja, cara pembayaran upah kerja, hak dan kewajiban serta resiko dan komitmen kerja. Sehingga dijalankannya sebuah proyek kerja diwarnai semangat kerja dan rasa tanggungjawab yang tinggi yang lahir dari rasa memiliki.

Cara kerja ini sesuai dengan makna wirausaha berbasis sosial, yaitu sebuah bisnis yang tak hanya mengacu pada soal untung rugi, namun bagaimana sebuah wirausaha berdampak positif pada lingkungan. Seperti menyerap tenaga kerja lokal. Memanfaatkan SDM dan SDA secara bertanggungjawab, mampu meminimalisasi pencemaran lingkungan, sesuai dengan kearifan lokal dan lainnya. Sehingga dalam jangka yang lebih panjang social enterprise ini mampu menyelesaikan masalah masalah sosial yang ada di lingkungannya.

Buruh rasa aktivis

Dari hari buruh ke hari buruh saya melihat ada unjuk rasa setiap tahunnya, entah di masa pandemi ini, semoga semua warga masyarakat taat untuk mengurangi aktivitas di luar rumah.  Terlepas dari soal pandemi, pengalamam saya selama puluhan tahun menjadi buruh, hingga mengambil keputusan untuk memulai wirausaha sosial, saya tak pernah terlibat dalam aksi-aksi unjuk rasa. Pasalnya saya merasa tak pernah berkonsentasi pada persoalan perburuhan.

Yang ada di benak adalah budaya bagaimana membangun mentalitas kerja tim yang profesional dan bertanggungjawab. Kalau soal hak seperti gaji dan lainnya, yang mungkin dinilai tak layak, jika itu terjadi sejak awal telah diterima masa pendaftaraan. Maka opsi tunggal ketika saya merasa tidak nyaman di sebuah perusahaan, termasuk soal gaji, solusinya adalah mundur dari perusahaan.

Jadi persoalannya adalah soal nyaman dan tidak nyaman dalam bekerja, bukan masalah besaran gaji, jaminan kesejahteraan dan lainnya yang kerap menjadi topik aksi unjuk rasa. Maka itulah sebab saya tak pernah ikut dalam aksi buruh.

Apakah ini artinya egois? Tentu tidak, selama puluhan tahun menjadi buruh saya aktif berorganisasi sosial. Terakhir bekerja di sebuah pabrik bagian produksi sembari menjalankan organisasi difabel. Di sela-sela jam istirahat ketika kawan sesama buruh istirahat saya melakukan koordinasi organisasi melalui whatsapp, termasuk melayani wartawan untuk wawancara online, merencanakan pertemuan dengan pejabat pemerintah dan sebagainya. 

Kerja buruh merangkap aktivis, tak banyak kawan sesama buruh yang tahu. Bahkan cenderung saya tutup utamanya agar atasan tidak tahu. Yang saya pikir tak semua orang berpandangan baik terhadap aktivisme, bahkan beberapa orang merasa alergi. Utamanya manejemen pabrik, mereka khawatir ada demo. 

Seandainya perburuhan bisa diganti kemitraan

Itulah cita-citaku di hari buruh, selalu begitu. Prinsipnya sederhana meski prateknya mungkin tidak sederhana, bahwa ketika perusahaan punya modal dan rencana bisnis, lalu masyarakat memiliki SDM berupa ilmu pengetahuan atau keterampilan. Contoh kecil saja yang saat ini tengah kami lakukan Omah Difabel. Saya sebagai pengelola UKM melihat masker misalnya  sebagai prospek bisnis, namun tanpa para penjahit tak bakal ada satu helai masker pun tercetak. Demikian pun para penjahit, kerap kali keahlian mereka hanya ada di atas mesin saja, sementara untuk prospek bisnis dari sisi lebih luas seperti bagaimana memenangkan job tender tidak paham. 

Jalan tengahnya adalah kami, manajemen Omah Difabel mengadakan rapat usaha dengan para penjahit untuk merumuskan HPP, cara kerja, cara upah dan kesepakatan lainnya yang tidak memberatkan satu pihak saja. 

Artinya langkah awal untuk mengubah perburuhan menjadi kemitraan adalah masyarakat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas agar memilii nilai tawar di depan pengusaha. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun