Pada tulisan sebelumnya, saya agak menyinggung tentang proses.
Faktanya jika saya mengejar sesuatu dengan penuh ekspektasi dan effort, sejauh ini malah jauh dari ekspektasi alias tidak berhasil. Sebaliknya saat saya berharap sekadarnya dan berusaha semampunya, justru saya mendapatkan achievement luar biasa. Pokoknya diluar ekspektasi lah.
Kebanyakan orang percaya pada aturan tak tertulis bahwa usaha tidak akan menghianati hasil. Tapi experience yang terjadi pada diri saya agak menyalahi ketentuan itu.
Sebenarnya saya agak takut untuk menuliskan ini, tapi setelah saya ngobrol dengan beberapa teman ternyata ada yang relate juga. Ini hanyalah asumsi yang terbangun dari perjalanan yang relative singkat. Bukan sebuah kesimpulan yang mewakili pengalaman orang yang punya gelisah identik.
Saya tetap iman bahwa Tuhan melalui kuasanya senantiasa mengendalikan apapun di alam semesta ini, bahkan urutan daun jatuh pun tidak lepas dari pertimbangan-Nya. Saya juga tidak lupa bahwa usaha manusia punya andil dalam penetapan hasil akhir.
Sampai sekarang saya masih memberi label terhadap tujuan-tujuan saya. Mana tujuan jangka panjang dan mana tujuan jangka pendek. Mana yang harus diwujudkan dengan effort yang berlipat, dan mana yang tidak.
Meskipun begitu tetap saja. Sesuatu yang saya kejar dengan kerja keras setengah mati akan mandek ditengah jalan.
Yang saya takutkan adalah, experience-experience itu menjadikan saya sebagai orang yang meremehkan apapun. Sebab tahu, jika terlalu diperjuangkan akan gagal. Padahal mindsetnya tidak boleh begitu.
Sejak sadar tentang hal tersebut, saya mulai memperbaiki mindset. Jika usaha yang biasa saja bisa meraih sesuatu, apalagi jika usaha saya berlipat ganda? Â Tatapikir ini saya gunakan supaya berhenti meremehkan sesuatu.
Penting juga untuk mengkalkulasi peluang dan mengklasifikasi potensi, supaya tidak terjerembab pada kenaifan yang pilu. Memang, tidak ada yang tidak mungkin. Tapi terlepas dari factor X berupa kun fayakun-Nya, sebagai manusia yang hanya bisa merencanakan harus punya planning dan strategi yang terukur.
Misal, saya punya latar belakang perokok yang relative berat dan tidak berbadan atletis sama sekali, sepertinya akan selalu kalah dan gagal mengharumkan nama kontingen jika harus menjadi atlet lari marathon. Mungkin saya akan lebih berpeluang untuk berhasil jika saya bekerja dengan lebih melibatkan pikiran daripada fisik.
Disisi yang lain saya sangat percaya dengan hoki atau keberuntungan, tapi dengan rumus yang agak berbeda. Dzawin dan Deddy Corbuzier bersepakat 'Keberuntungan adalah titik temu antara kemampuan dan kesempatan. Kemampuan bisa diasah, kesempatan bisa dicari. Maka keberuntungan bisa diciptakan.'
Tapi bagi saya, keberuntungan adalah kinerja do'a. Saya tidak bilang kalau do'a saya manjur. Tapi saya punya pusakanya, yakni orang tua. Sebab saya tahu, orang tua saya tidak diam saja. Mereka pasti berdarah-darah mendobrak pintu kasih Tuhan melalui do'a-do'a ajaibnya. Sepakat ya, do'a orang tua untuk anaknya emang nggak ada obat.
Setelah saya pilah-pilah lagi, ternyata yang saya kejar setengah mati dan berujung kegagalan itu adalah sesuatu yang harus saya perdebatkan dulu dengan orang tua, dan hal yang saya lakukan hanya dalam rangka 'menggugurkan kewajiban' untuk patuh kepada orang tua justru berhasil.
Loh, kok gini ya? Percayalah, Tuhan selalu punya andil terhadap segala sesuatu. Apapun itu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H