Mohon tunggu...
Jatu Almamada
Jatu Almamada Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Tingkah Laku Manusia.

Menulis akan suatu permasalahan yang terjadi dilingkuan sekitar adalah suatu hal yang menarik, apa lagi berbicara terkait manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senyum Mereka Mungkin Senyum Kita Juga

26 Januari 2024   07:30 Diperbarui: 26 Januari 2024   07:33 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekonomi, satu hal yang sangat -- sangat memukul aku. Dari cerita mereka, aku menyimpulkan bahwasanya masalah ekonomi adalah masalah yang hampir semua merasakan. Pendidikan tingkat SMK, berapa persen dari mereka yang sudah atau memiliki usaha sambilan atau membuahkan sedikit uang untuk dirinya sendiri ?, dari yang aku temui hampir nol persen. Dengan kata lain tak ada yang berpenghasilan. Tentu satu -- satunya sumber dana yang mereka peroleh adalah dengan suplai orang tua seratus persen.

Suplai dana untuk mereka tidak lah sedikit, paling tidak uang untuk kegiatan magang beserta tempat tinggal dan juga untuk kehidupan setiap hari mereka. Tapi apakah satu keluarga dengan keluarga lainnya mampu memenuhi hal itu, tentunya tidak. Mengingat kapasitas dan kemampuan satu keluarga dengan keluarga lainnya berbeda. Hal ini lah yang membuat masalah ini muncul. Parahnya lagi siswa praktek kerja industri lah yang mesti menanggung hal itu secara langsung.

Rentetan masalah ini berawal dari suplai uang yang dikirimkan oleh orang tua terkadang hanya cukup untuk satu atau dua hal saja. Seperti bayar bulanan asrama serta uang makan sehari -- hari. Tentunya hal itu kurang, karna harus ada pengeluaran yang bisa saja keluar setiap minggunya. Seperti iuran dengan kelompoknya, membeli perlengkapan atau kebutuhan praktik kerja industrinya, perlengkapan mandi dan lain sebagainya. Tentu dari uang yang mereka dapat mesti harus ada yang dikorbankan. Bisa saja uang asrama bulanan mereka gunakan untuk menutup hal itu, dengan konsekuensi mereka telat bayar uang asrama. Ataukah mereka akan menggunakan uang makan mereka yang mepet untuk menutup itu, dengan konsekuensi yang cukup memprihatinkan yaitu memangkas biaya konsumsi mereka. Seperti makan yang semestinya tiga kali sehari menjadi dua kali sehari, bahkan ada yang menjadi satu kali sehari.

Pilihan -- pilihan yang dihadapkan mereka mau tidak mau harus dipilih. Dari pengamatan dan hasil ngobrol dengan mereka, mereka lebih banyak memilih untuk mengorbankan uang makan mereka untuk hal -- hal diluar perkiraan mereka. Tentunya dengan konsekuensi yang mereka harus ambil juga bukan. Memangkas uang makan mereka.

Beberapa orang dengan keadaan seperti itu bakal lebih berusaha dengan cara -- caranya untuk ibarat kata bertahan hidup. Banyak cara yang mereka lakukan. Mulai dari pinjam uang temannya yang mungkin memiliki rezeki lebih, makan nasi dengan lauk seadanya bahkan tanpa lauk atau seperti yang seperti awal aku cerita. Kas bon dimana mereka makan. Mungkin bagi segelintir orang tidaklah masalah melakukan itu. Alih -- alih untuk bertahan hidup, meski harus menyingkirkan rasa malu dalam diri mereka. Sayangnya, tidak semudah itu hal tersebut dilakukan oleh semua orang. Hanya orang -- orang yang sudah "bodo amat" akan keadaan yang melakukan itu.

Lantas bagaimana dengan yang lainnya. Satu pertanyaan yang awal muncul di pikiranku. Menahan jawabannya, satu kata yang mungkin kalian yang baca tulisan ini sudah bisa membayangkan bahkan tahu bagaimana rasanya hal itu. Apalagi untuk bagian perut. Itu yang terjadi, banyak dari mereka yang melakukan itu. Tapi apakah hal itu akan selalu mereka lakukan, tentu tidak. Ada batasan mereka menahan rasa lapar itu. Mungkin satu atau dua hari dengan makan satu kali bisa mereka lakukan, tapi tidak dengan hari -- hari berikutnya.

Jalan terakhir yang dapat mereka lakukan adalah meminjam uang dari teman atau pembimbing -- pembimbing program praktik kerja industri. Salah satunya tentunya aku. Awalnya aku cukup ada ketakutan dalam diriku. Apakah dengan penghasilanku yang mepet ini, yang kurang dari satu juta per bulan, yang aku kumpulkan dari pekerjaan -- pekerjaan sambilanku dengan pengeluaran -- pengeluaran yang tiap hari ada, apakah mampu untuk menolong orang lain yang hanya sekedar untuk makan. Ketakutan akan pikiranku selalu menyelimutiku ketika aku tahu ada hal ini terjadi di sekitarku.

Tiba di suatu hari aku dihadapkan oleh keadaan yang cukup tidak mengenakan. Sedari pagi aku sudah melihat salah satu siswaku tidak seperti biasanya. Dia adalah siswi yang menurutku orang yang penuh dengan semangat, ceria dan menyenangkan. Tapi tidak dengan hari itu, dengan wajah yang terlihat capek, semangat yang hilang, serta menjawab pertanyaan yang dilemparkan baik oleh teman-temannya serta aku dengan singkat. Mulanya aku menganggap mungkin baru ada masalah apalah yang mengganggu moodnya dirinya sehingga hari itu dia seperti itu. Aku biarkan lah dia tanpa ada sepatah kata ataupun pertanyaan -- pertanyaan yang aku lemparkan kepadanya atas perilakunya.

Siang menjelang sore, tempat dimana kegiatan praktik kerja industri cukup tenang tanpa keriuhan siswa siswi praktik kerja lapangan. Kududuklah disalah satu sudut tempat itu sendirian sembari melihat siswa siswi sibuk dengan tugas yang diberikan. Tak berselang lama siswa yang murung sedari pagi menghampiriku. Saat itu aku sontak berpikir "pasti ada sesuatu nih yang bakal dikatakan sama anak ini". Dengan ucapan yang cukup terbata -- bata ia mulai mengungkapkan apa yang dia alami.

Dimulai dengan kata maaf dia mencoba menceritakan apa yang dia baru alami, singkat cerita siswa ini ternyata belum makan sedari malam, sebab belum ada uang yang dikirimkan kedirinya. Dengan keadaan itu dia memberanikan diri untuk meminjam uang untuk makan sekali kepadaku. Sontak dalam diri seperti dipukul dengan keras, diperlihatkan langsung dengan keadaan seperti itu. Seperti diingatkan kembali bagaimana bersyukur atas apa yang telah dicukupkan oleh -Nya. Hari itu pun ketakutan -- ketakutan yang aku pikirkan lenyap sudah. Aku mengiyakan permintaannya bahkan aku lebihkan permintaannya untuk 2 atau 3 hari ke depan. Dengan catatan kembalikan jikalau mampu. Dan aku minta kepadanya jika ada teman yang lain mengalami hal sama silakan temui aku.

Seketika itu raut muka yang awalnya murung tanpa adanya senyuman hilang begitu saja. Wajah gembira dengan penuh senyum, penuh ke tidak sangkaan muncul. Senyum kebahagiaan pun terpancar, yang tidak habis pikir senyuman itu ternyata menyalurkan kebahagiaan untuk diriku. Beban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun