Mohon tunggu...
Jatnika Wibiksana
Jatnika Wibiksana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mati boleh, tua jangan

Ngetril sampe tua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menunggangi Vario 150 eSP, Bandung-Sukabumi-Cianjur-Pantai Jayanti Hanya 45 Ribu

21 April 2016   06:09 Diperbarui: 21 April 2016   11:14 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Keindahan Pantai Jayanti bisa dinikmati dari sebuah mercusuar yang terdapat di sisi sebelah timur. (Foto: dokumen pribadi)"][/caption]Sudah bertahun-tahun saya memendam rencana tamasya ke Pantai Jayanti di Kabupaten Cianjur. Tamasya ala saya adalah tamasya woles. Bareng kawan mengendarai motor. Tidak pernah banyakan. Paling dua-tiga motor. Sebisa mungkin menghindari perilaku ugal-ugalan di jalan. Haram hukumnya bagi saya membunyikan klakson atau sirine kencang-kencang guna memaksa pengendara lain menepi. Tamasya ala saya adalah tamasya dengan anggaran seminim mungkin. Akomodasi seperti bensin, makan, dan penginapan, diperhitungkan secara cermat.

Sampai akhirnya kesempatan itu datang pada akhir Maret 2016. Tepatnya ketika penanggalan di almanak terdapat warna merah pada hari Jumat. Yakni tanggal 25 Maret 2016, bertepatan dengan perayaan Jumat Agung.

Tapi belum apa-apa masalah sudah muncul. Rencana memaksimalkan jatah libur tiga hari dengan berangkat Jumat terpaksa diurungkan, karena salah satu teman yang sebelumnya sepakat turut serta ke Pantai Jayanti lebih memilih nonton pertandingan Persib melawan Sriwijaya FC di Stadion Jalak Harupat pada keesokan harinya, Sabtu (26/3/2016). Sebelumnya kami berencana pergi bertiga mengendarai dua sepeda motor. Dengan batalnya satu teman, otomatis yang berangkat cuma dua orang. Saya juga sebenarnya sempat terbersit pikiran ikut nonton laga Persib. Namun, saya tidak bisa begitu saja membatalkan rencana itu. Sebab, di samping niat utama main ke Pantai Jayanti, ada rencana lain yaitu sekalian menghadiri resepsi pernikahan teman kuliah di Sukabumi.

Masalah lain timbul. Motor yang biasa saya pakai sehari-hari performanya kurang prima. Motor bebek keluaran 2009, lansiran pabrik lain yang tentu saja tidak boleh disebutkan di sini. Untuk pemakaian dalam kota, pergi-pulang kerja misalnya, sama sekali tidak ada masalah. Tapi, untuk perjalanan ke Pantai Jayanti yang menurut referensi harus menempuh jarak cukup jauh, melewati jalur menanjak, berliku, dengan kualitas jalan tidak semuanya bagus, saya agak kurang pede jika harus mengendari motor punya sendiri. Harus berboncangan pula. Sedangkan motor trail kesayangan yang selama ini jadi andalan dalam bertualang sedang menjalani rawat inap di bengkel.

Beruntung kawan yang urung ikut ke Jayanti baik hati. Dia bersedia tukar pakai motor. Toh, untuk nonton Persib tidak perlu motor yang tangguh-tangguh amat. Jarak dari rumah ke Stadion Jalak Harupat hanya butuh waktu seperempat jam. Alhasil, saya pun pergi menunggangi Vario 150 eSP pinjaman.

Meski si empunya sempat mewanti-wanti beberapa hal ihwal kondisi motor, seperti oli yang sudah lama tidak diganti dan setelan rem kurang pakem, hati saya tetap merasa tenteram bisa piknik ke daerah jauh dengan menunggangi motor keluaran baru. Walaupun remnya memang kurang pakem karena menurut pemiliknya sudah lama belum sempat diservis, tetap saja terasa lebih enak dibanding mengendari bebek jadul saya.

Dia mulai kredit tak berapa lama setelah Vario 150 eSP edisi perdana brojol dari pabrik. Tapi, ya ampun, ini motor tak ubahnya sudah berumur tiga tahun. Bagian body sudah baret-baret. Yang paling terasa tentu saja setelan rem. Saya tidak heran karena tahu betul karakter kawan saya yang memang jorok. Anehnya, dalam soal tarikan tenaga, motor ini tetap joss.

20 Ribu di Rajamandala

Sabtu (26/3) pagi, sekitar pukul 06.00 WIB, saya berangkat dari kawasan Cimahi. Sepanjang jalan menuju Padalarang, suasana masih sangat lengang. Tak heran bila kurang dari sejam saya sudah melewati kawasan tambang kapur Padalarang. Sempat sarapan kupat tahu padalarang, saya kemudian mengisi bensin di sebuah SPBU tak jauh dari Jembatan Rajamandala. Saya memutuskan mengisi bensin karena indikator bahan bakar tinggal dua setrip. Sekalian pula buang air kecil.

Usai isi bensin Rp 20.000, saya cek jumlah kilometer di speedometer. Indikator digital menunjukkan bilangan 26009.0 kilometer. Saya ingat betul angka itu karena sama persis dengan tanggal di mana saya melakoni perjalanan ke Pantai Jayanti. Untuk memudahkan ingatan, saya anggap saja pom bensin sekitar Rajamandala itu sebagai titik nol keberangkatan. 26000.0 kilometer. Jarak dari rumah ke pom bensin tidak dihitung.

Beli bensin Rp 20 ribu tentu saja tidak membuat indikator bahan bakar mentok ke level full. Tapi rasanya lebih dari cukup untuk perjalanan ke tempat resepsi pernikahan kawan di daerah Sukaraja, Sukabumi. Kalaupun tidak, saya ekstra yakin akan ada banyak penjual bensin eceran maupun SPBU di jalanan besar seperti itu.

Karena takut datang terlalu cepat, memasuki Kabupaten Cianjur, saya mengendarai Vario 150 eSP dengan kecepatan sedang. Stabil di kecepatan sekitar 40 kilometer per jam. Setelah bertanya beberapa kali, sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya saya berhasil menemukan lokasi resepsi. Lebih-kurang dua jam di tempat resepsi, diisi dengan basa-basi dan tentu saja makan sekenyangnya, menjelang dzuhur saya pamitan kepada kawan yang lagi bahagia.

Berlaga sok tahu, saya langsung tancap gas menuju arah selatan Kabupaten Sukabumi, yang jika diteruskan tembusnya ke Pelabuhan Ratu. Untungnya saya sempat bertanya kepada sopir angkutan umum tentang arah ke Pantai Jayanti. Ternyata saya disarankan untuk balik kanan kembali ke Cianjur. “Jalan ke Sukabumi memang bisa, tapi lebih jauh dan jalannya tidak terlalu bagus. Lebih baik lewat jalan Cianjur. Jaraknya lebih dekat dan kondisi jalan lebih bagus,” jelas Pak Sopir.

Saya pun menuruti saran itu tanpa pikir dua kali. Namun yang diistilahkan Pak Sopir sebagai ‘jaraknya lebih dekat’ tetap saja jauh. Berangkat dari tempat resepsi pernikahan sekitar tengah hari, saya baru sampai ke Pantai Jayanti tepat ketika berkumandang adzan Isya. Total tujuh jam perjalanan. Mungkin karena saya mengendarai motor dengan kecepatan sedang-sedang saja.

Untuk mencapai Pantai Jayanti dari Sukabumi via Cianjur, ternyata saya harus menaiki sebuah gunung. Saya dihadapkan pada jalan menanjak terus-menerus dengan kemiringan cukup curam. Untungnya, saya mengendari sebuah motor dengan kemampuan sangat prima. Tanjakan securam apa pun bisa dilahap tanpa kendala. Bahkan ketika terpaksa harus berhenti di tanjakan curam karena terhalang mobil atau truk, tarikan awal Vario 150 eSP tetap mengagumkan. Tidak ada istilah kepayahan saat harus memulai tarikan di jalan menanjak sekalipun. Teman yang saya bonceng bahkan sempat berdecak kagum. “Ni moter tarikannya edan juga ya!”

Keanehan lainnya, sesampainya di Pantai Jayanti, indikator bahan bakar di speedometer ternyata masih tersisa satu strip tapi belum sampai kedap-kedip. Padahal saya mengisi bensin di Rajamandala hanya Rp 20 ribu. Karena itu saya mengabaikan saran teman untuk kembali isi bensin. Saya pikir, dengan stok bensin satu strip yang belum kedap-kedip cukup selama beraktivitas Pantai Jayanti.

 10 Ribu Plus 2 Liter

Hanya menginap semalam di Pantai Jayanti, Minggu (27/3/2016), selepas shalat dzuhur saya memutuskan pulang ke Bandung. Setengah hari menikmati Pantai Jayanti sudah lebih dari cukup. Pemilik penginapan menyarankan agar mengambil rute via Ciwidey, yang menurut perhitungannya butuh sekitar empat jam untuk sampai Bandung. Sebuah saran yang kembali saya telan bulat-bulat, karena saya sama sekali buta arah.

Sebelum meninggalkan kawasan Pantai Jayanti, saya menyempatkan isi bensin di sebuah Pertamini (plesetan dari Pertamina) yang memang banyak tersebar di sepanjang pelosok Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur. Karena kurang sreg, saya hanya mengisi bensin sebanyak Rp 10.000. Saya yakin akan ada SPBU di perjalanan ke arah Ciwidey jika dirasa perlu isi bensi lagi.

Mengambil rute pulang via Ciwidey, saya harus melewati sebuah daerah bernama Naringgul. Di kawasan inilah pengalaman naik motor saya tambah berwarna. Karakter jalanan yang saya hadapi di jalur pulang ternyata lebih ekstrem dibanding rute Sukabumi-Pantai Jayanti. Lagi-lagi saya harus mendekati sebuah gunung. Hanya saja kali ini dengan tanjakan-tanjakan yang lebih curam. Ada di mana nyali saya sempat keder kala dihadapkan sebuah tanjakan dengan tingkat kemiringan sangat curam. Berkendara dalam kondisi hujan lebat pula. Takut motor yang saya kendarai terjungkal ke belakang.

Sekali lagi, saya beruntung mendapat pinjaman motor Vario 150 eSP. Melewati trek menanjak terbilang ekstrem di kawasan Naringgul justru malah menghadirkan sensasi luar biasa. Di sisi kanan tebing, di sisi kiri jurang, meliuk-liuk sambil terus menarik tuas gas membuat khayalan terbang serasa jadi seorang Marc Marquez.

Sensasi makin berlipat karena di sepanjang kawasan ini kita bisa menemukan banyak sekali air terjun di tebing-tebing pinggir jalan. Tidak salah jika ada yang menyebut Naringgul sebagai Desa Seratus Air Terjun. Pada satu-dua air terjun saya juga menyempatkan berhenti untuk sekadar cuci muka dan foto-foto. Saking banyaknya air terjun di pinggir jalan, selebihnya saya melewatkannya begitu saja.

Ban Kempes

Masih di kawasan Naringgul, keapesan menghampiri. Selepas jajan gorengan di sebuah warung pinggir hutan, ban motor belakang gembos. Menurut ibu pemilik warung, tukang tambal ban masih lumayan jauh. Saya pun memutuskan untuk tetap menaiki motor sambil boncengan. Saya tidak tega jika harus meninggalkan teman perjalanan. Saya berpikir lebih baik merelakan uang Rp 50 ribu untuk ganti ban dalam dibanding harus membiarkan teman menunggu.

Tukang tambal yang dimaksud ibu pemilik warung ternyata tutup. Dipanggil berulang-ulang tidak ada sahutan. Beruntung kompresornya masih terisi angin, sehingga saya memutuskan untuk memompa ban sendiri. Lumayan sambil nyari tukang tambal ban berikutnya.

Sebenarnya saya juga sempat was-was. Takut jika tetap digeruduk sambil boncengan, velg motor jadi speleng, retak, atau apa. Tapi kekhawatiran saya tidak terbukti saat menjumpai sebuah bengkel sekitar 10 menit setelah isi angin sendiri. Saat itulah tukang bengkel mengatakan bahwa ban Vario 150 eSP bertipe tubeless. Sumpah Demi Tuhan, sebelumnya saya tidak tahu jika sektor kaki-kaki Vario 150 eSP dilengkapi ban tubeless. Tidak heran bila angin yang saya pompakan di tukang tambal sebelumnya masih utuh. Setelah diperiksa, ternyata bocornya kecil.

Dapat dibayangkan bagaimana jika Vario 150 eSP tidak berban tubless. Sudah pasti saya harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengganti ban dalam. Tidak butuh waktu lama, proses tambal pun beres. Di bengkel itu sekalian pula saya beli bensin sebanyak dua liter, karena di sepanjang Naringgul ternyata tidak ada SPBU.

Kabut Tak Jadi Soal

Selepas urusan ban kempes kelar, tanjakan dan tanjakan masih jadi menu perjalanan. Kondisi ini tidak berhenti sampai memasuki kawasan perkebunan teh Rancabali, Kabupaten Bandung. Cuaca dingin berkabut tebal khas kawasan Rancabali sama sekali tidak mengurangi kegarangan Si Hitam berkapasitas 150 cc. Saya tidak tahu secara spesifik jenis lampu apa yang dipakai motor ini. Yang jelas di tengah cuaca berkabut tebal dengan jarak pandang hanya sekitar lima meter, cahaya yang disemburkan lampu utama Vario 150 eSP membuat orientasi pandangan ke depan bisa tetap terjaga.

Saya baru menemukan jalanan dalam kondisi normal selepas kawasan Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung. Bahkan setelah itu, saya dihadapkan pada jalanan menurun. Itu berarti sekira satu jam ke depan, saya sudah sampai di rumah.

Memasuki kawasan Soreang, sekali lagi saya tengok speedometer. Indikator bahan bakar masih tersisa dua strip. Stok yang aman untuk sampai ke rumah. Sementara deretan angka indikator jarak tempuh menunjukkan bilangan dua puluh enam ribu empat ratus sekian. Saya lupa lagi berapa persisnya. Jika dihitung secara kasar, saya telah menempuh jarak sekitar 400 kilometer dari Bandung menuju Kabupaten Sukabumi, terus ke Kabupaten Cianjur, sampai Pantai Jayanti, kemudian pulang lagi ke Bandung via Ciwidey. Jarak sejauh itu menghabiskan ongkos bensin sejumlah Rp 20.000 + Rp 10.000 + Rp 15.000 (untuk dua liter, angka dibulatkan) = Rp 45.000.

Jika harga bensin dihitung Rp 7.000 per liter, maka perjalanan sejauh lebih-kurang 400 kilometer hanya menghabiskan bensin sekitar 6,5 liter. Atau setiap liter cukup untuk menempuh jarak 61,5 kilometer. Dengan pengalaman seperti yang saya rasakan langsung selama perjalanan tamasya ke Pantai Jayanti, tidak berlebihan bila menyebut Vario 150 Sempurna!

 

Catatan:

Sebenarnya ada cerita ekstra. Teman saya kecopetan saat nonton Persib. Dompet beserta isinya raib. Dan STNK motor saya berada di dompet itu. Tapi tidak mengapa. Persahabatan lebih berarti dibanding selembar STNK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun