Karena takut datang terlalu cepat, memasuki Kabupaten Cianjur, saya mengendarai Vario 150 eSP dengan kecepatan sedang. Stabil di kecepatan sekitar 40 kilometer per jam. Setelah bertanya beberapa kali, sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya saya berhasil menemukan lokasi resepsi. Lebih-kurang dua jam di tempat resepsi, diisi dengan basa-basi dan tentu saja makan sekenyangnya, menjelang dzuhur saya pamitan kepada kawan yang lagi bahagia.
Berlaga sok tahu, saya langsung tancap gas menuju arah selatan Kabupaten Sukabumi, yang jika diteruskan tembusnya ke Pelabuhan Ratu. Untungnya saya sempat bertanya kepada sopir angkutan umum tentang arah ke Pantai Jayanti. Ternyata saya disarankan untuk balik kanan kembali ke Cianjur. “Jalan ke Sukabumi memang bisa, tapi lebih jauh dan jalannya tidak terlalu bagus. Lebih baik lewat jalan Cianjur. Jaraknya lebih dekat dan kondisi jalan lebih bagus,” jelas Pak Sopir.
Saya pun menuruti saran itu tanpa pikir dua kali. Namun yang diistilahkan Pak Sopir sebagai ‘jaraknya lebih dekat’ tetap saja jauh. Berangkat dari tempat resepsi pernikahan sekitar tengah hari, saya baru sampai ke Pantai Jayanti tepat ketika berkumandang adzan Isya. Total tujuh jam perjalanan. Mungkin karena saya mengendarai motor dengan kecepatan sedang-sedang saja.
Untuk mencapai Pantai Jayanti dari Sukabumi via Cianjur, ternyata saya harus menaiki sebuah gunung. Saya dihadapkan pada jalan menanjak terus-menerus dengan kemiringan cukup curam. Untungnya, saya mengendari sebuah motor dengan kemampuan sangat prima. Tanjakan securam apa pun bisa dilahap tanpa kendala. Bahkan ketika terpaksa harus berhenti di tanjakan curam karena terhalang mobil atau truk, tarikan awal Vario 150 eSP tetap mengagumkan. Tidak ada istilah kepayahan saat harus memulai tarikan di jalan menanjak sekalipun. Teman yang saya bonceng bahkan sempat berdecak kagum. “Ni moter tarikannya edan juga ya!”
Keanehan lainnya, sesampainya di Pantai Jayanti, indikator bahan bakar di speedometer ternyata masih tersisa satu strip tapi belum sampai kedap-kedip. Padahal saya mengisi bensin di Rajamandala hanya Rp 20 ribu. Karena itu saya mengabaikan saran teman untuk kembali isi bensin. Saya pikir, dengan stok bensin satu strip yang belum kedap-kedip cukup selama beraktivitas Pantai Jayanti.
10 Ribu Plus 2 Liter
Hanya menginap semalam di Pantai Jayanti, Minggu (27/3/2016), selepas shalat dzuhur saya memutuskan pulang ke Bandung. Setengah hari menikmati Pantai Jayanti sudah lebih dari cukup. Pemilik penginapan menyarankan agar mengambil rute via Ciwidey, yang menurut perhitungannya butuh sekitar empat jam untuk sampai Bandung. Sebuah saran yang kembali saya telan bulat-bulat, karena saya sama sekali buta arah.
Sebelum meninggalkan kawasan Pantai Jayanti, saya menyempatkan isi bensin di sebuah Pertamini (plesetan dari Pertamina) yang memang banyak tersebar di sepanjang pelosok Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur. Karena kurang sreg, saya hanya mengisi bensin sebanyak Rp 10.000. Saya yakin akan ada SPBU di perjalanan ke arah Ciwidey jika dirasa perlu isi bensi lagi.
Mengambil rute pulang via Ciwidey, saya harus melewati sebuah daerah bernama Naringgul. Di kawasan inilah pengalaman naik motor saya tambah berwarna. Karakter jalanan yang saya hadapi di jalur pulang ternyata lebih ekstrem dibanding rute Sukabumi-Pantai Jayanti. Lagi-lagi saya harus mendekati sebuah gunung. Hanya saja kali ini dengan tanjakan-tanjakan yang lebih curam. Ada di mana nyali saya sempat keder kala dihadapkan sebuah tanjakan dengan tingkat kemiringan sangat curam. Berkendara dalam kondisi hujan lebat pula. Takut motor yang saya kendarai terjungkal ke belakang.
Sekali lagi, saya beruntung mendapat pinjaman motor Vario 150 eSP. Melewati trek menanjak terbilang ekstrem di kawasan Naringgul justru malah menghadirkan sensasi luar biasa. Di sisi kanan tebing, di sisi kiri jurang, meliuk-liuk sambil terus menarik tuas gas membuat khayalan terbang serasa jadi seorang Marc Marquez.
Sensasi makin berlipat karena di sepanjang kawasan ini kita bisa menemukan banyak sekali air terjun di tebing-tebing pinggir jalan. Tidak salah jika ada yang menyebut Naringgul sebagai Desa Seratus Air Terjun. Pada satu-dua air terjun saya juga menyempatkan berhenti untuk sekadar cuci muka dan foto-foto. Saking banyaknya air terjun di pinggir jalan, selebihnya saya melewatkannya begitu saja.