Mohon tunggu...
Jati Nugroho
Jati Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Penggemar bola layar kaca yang ingin belajar menulis

The harder I try, the luckier I get

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Nation's Pride yang Berujung Malapetaka

8 Juli 2020   06:10 Diperbarui: 8 Juli 2020   06:18 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

8 Juli 2014, pendukung Brazil yang memadati Estadio Mineirao di kota Belo Horizonte sudah menyiapkan semua yang diperlukan untuk menanti duel akbar kontra Jerman di babak semifinal. Segelas bir dingin, segenggam hot dog panas, dan jersey khas warna kuning jadi starterpack wajib warga Brazil yang saat itu datang ke stadion. Tak satupun yang punya feeling bahwa yang akan mereka saksikan nanti adalah pembantaian, bahkan yang tersadis sepanjang pagelaran Piala Dunia, terhadap negara mereka sendiri.

Belo Horizonte bergemuruh kala pemain Brazil berjalan memasuki lapangan, beriringan dengan sang musuh. Tak ada yang janggal pada malam itu, kecuali starting eleven yang dipasang Luiz Felipe Scolari. Dante mengisi pos Thiago Silva, yang kena akumulasi kartu. Neymar yang cedera ditukar dengan Bernard. Lalu tiba-tiba Maicon jadi starter gantikan Dani Alves. Semua tampak aman terkendali, setidaknya sampai menit ke-11. Selanjutnya, adalah pertunjukan horor bagi publik tuan rumah.

Toni Kroos menendang sepak pojok pertama Jerman di pertandingan itu. Thomas Mueller, entah bagaimana, berdiri sangat bebas di tiang jauh tanpa pengawalan. Saking leluasanya, dia bahkan menyambut umpan Kroos dengan tendangan menyusur tanah. Gol. 1-0 Jerman. Seluruh pemain Brazil terperanjat melihat gol itu. Alarm bahaya sudah berbunyi, namun mereka terlalu lambat menyadarinya.

Sejak terciptanya gol perdana Jerman, mental punggawa Brazil langsung runtuh. Mereka tak lagi tenang saat membawa bola. Berkali-kali mereka melakukan salah passing. Serangan yang mereka bangun dari bawah selalu mentah di lapangan tengah. Publik tuan rumah mulai khawatir malam itu akan jadi malam penyiksaan yang begitu panjang bagi mereka. Mereka mungkin sedikit menyesali keputusan mereka untuk menonton langsung di stadion.

Gol kedua pun menyusul. Menit 23, Thomas Mueller sendirian mengacak-acak barisan pertahanan Brazil yang kelimpungan. Awalnya, Julio Cesar mampu menahan tendangan pertama dari Mueller, namun Miroslav Klose sudah siap menyambar bola rebound di bibir gawang. Ini gol ke-16 Klose di Piala Dunia, sekaligus mengantarnya ke puncak all time top scorer melewati rekor Ronaldo Nazario.

David Luiz, yang malam itu menjadi kapten, tak mampu menggantikan peran Thiago Silva sebagai komandan di lini pertahanan. Duetnya dengan Dante mungkin akan dikenang sebagai penampilan terburuknya selama membela panji Tim Samba. Empat bek yang tampil malam itu benar-benar lupa bagaimana cara bertahan.

Gawang Brazil kemudian kebobolan tiga gol lagi. Kroos mencetak brace di menit ke-24 dan 26. Sami Khedira menambah luka di menit ke-29. Para bek Brazil seakan diajak main kucing-kucingan oleh para penyerang Jerman. Mereka begitu mudah dipermainkan dengan umpan-umpan pendek di depan kotak pinalti. Skor 0-5 untuk Jerman menghiasi papan skor. Belo Horizonte jadi kota terkutuk malam itu.

Sang lawan memberondong lima gol ke gawang Brazil di paruh pertama. Estadio Mineirao kemudian mulai basah akibat gerimis yang turun dari langit dan air mata yang jatuh dari publik Brazil. Tawa canda yang ada seketika berubah jadi agonia. Tak ada lagi harapan untuk kembali. Brazil telah kalah sebelum permainan berakhir.

Joachim Loew telah mengisntruksikan anak buahnya untuk mengendurkan permainan di babak kedua. Ia merasa aman sekaligus kasihan. Tiket final sudah di tangan, jadi tak perlu lagi menghabisi Brazil dengan lebih kejam lagi. 

Namun sayang, Andre Schuerlle pergi ke toilet saat itu, sehingga ia mencetak dua gol di babak kedua. Gol Oscar di menit akhir seakan tidak ada artinya lagi untuk Brazil. Angka yang terpampang memang begitu mengiris. Jerman keluar sebagai pemenang dengan skor 1-7, mengubur impian Brazil untuk berlaga di partai pamungkas di depan penggemar mereka sendiri.

Impian untuk mengangkat trofi juara di rumah sendiri harus pupus. Seantero Brazil berduka atas kekalahan yang menyesakkan itu. Anak-anak yang tadinya melihat David Luiz dkk layaknya pahlawan kini menatap mereka laksana pecundang. Tapi di lain pihak, lawan-lawan mereka tertawa dalam hati. Mereka bahagia karena akhirnya orang Brazil menuai apa yang telah mereka tabur: bibit keangkuhan.

Sejak permulaan turnamen, langkah Brazil terlihat begitu meyakinkan. Mereka jadi juara grup dengan meraup 7 poin hasil dua kemenangan dan satu imbang. Di fase knock-out sebelum berjumpa Jerman, mereka berhasil menyingkirkan tetangga serumpun. Chile mereka kalahkan lewat babak adu penalti di 16 besar. Lalu di perempat final, James Rodriguez dengan Kolombianya mereka libas dengan skor 2-0.

Optimisme membumbung tinggi di dada seluruh penduduk Brazil. Mereka mulai berlaku sombong, khususnya di depan tetangga serumpun mereka yang ikut berlaga di Piala Dunia. Mereka menyatakan diri sebagai bangsa yang paling maju sepakbolanya. Timeline media sosial saat itu dibanjiri komentar merendahkan para fans Brazil yang ditujukan untuk pendukung Argentina, Chile, Kolombia, dan Uruguay. "Kami harap kalian makan testis kalian sendiri, Chileno!" begitu komentar salah satu supporter Brazil di dunia maya.      

Tak berhenti di situ, para fans Brazil kerap mabuk setelah puas menonton kemenangan Brazil di setiap pertandingan. Ada yang menjarah dan merampok pusat perbelanjaan di sekitar stadion. Ada pula yang tak sungkan untuk menyerang supporter lawan hingga akhirnya polisi turun tangan untuk meredam situasi. Kabar kemenangan Brazil selalu merebak cepat bagaikan bunga hingga ke pelosok negeri. Status orang Brazil di media begitu meriah akan kehebatan tim Samba. Sekolah-sekolah juga diliburkan tiap kali Brazil akan bermain.

Media setempat juga menunjukkan rasa percaya diri mereka dengan begitu tinggi. Headline yang mereka ciptakan setelah Brazil menang di tiap pertandingan selalu menyiratkan aura arogansi. Tak jarang, media luar negeri juga kerap "geleng-geleng kepala" saat membaca headline media Brazil. 

Contoh nyata adalah saat Brazil mengandaskan Kolombia. Satu yang diingat dalam pertandingan itu adalah tendangan bebas jarak jauh David Luiz yang menghujam deras ke sudut kanan atas gawang Ospina. Media Brazil meledek Kolombia dengan headline: "Luiz antar Kolombia ke luar angkasa". Semua orang Brazil begitu yakin jika gelar Piala Dunia keenam sudah berada dalam genggaman mereka.

Sengaja atau tidak, rasa kepedan ini nyatanya juga menular ke tim sepakbolanya. Mereka lantas menemui kendala saat dua pemain penting mereka, Neymar dan Thiago Silva, harus absen di semifinal kontra Jerman. 

Dani Alves yang sebelumnya jadi starter tiba-tiba digantikan oleh Maicon. Tak ada yang tahu taktik apa yang dipilih Scolari di pertandingan itu. Mereka sama sekali tidak merasa waspada dengan kehancuran yang bisa dibawa Jerman. 

Brazil tetap memainkan permainan ofensif yang tidak diimbangi dengan kestabilan di lini belakang. Marcelo selalu ketinggalan dalam transisi menyerang ke bertahan. Celah inilah yang dimaksimalkan betul oleh Jerman.

Pada akhirnya, mereka semua tersungkur malu setelah "dipermak" Die Mannschaft dengan skor yang amat telak. Semua pemain Brazil tergeletak di lapangan setelah wasit meniup peluit akhir pertandingan. Beberapa di antara mereka sampai tak kuasa menahan rasa sakit dan malu atas kekalahan itu. Namun pada akhirnya, mereka mempelajari sesuatu yang sangat berharga malam itu.

Nation's pride yang mereka punya selama pagelaran Piala Dunia akhirnya harus lenyap berkat kejadian malam itu di Belo Horizonte. Mereka semua akhirnya menyadari, bahwa rasa percaya diri yang terlalu tinggi malah menyebabkan kehancuran bagi diri mereka sendiri. 

Saat mereka menggembar-gemborkan kekuatan, di situlah rasa waspada jadi berkurang. Akhirnya, kekuatan itu berubah menjadi kelengahan yang tak termaafkan. Pertandingan itu dijuluki dengan sebutan Mineirazo, yang berarti tamparan Mineirao.

Bangsa kita juga pernah mengalami hal serupa di ajang Piala AFF 2010. Dominasi timnas Indonesia di turnamen itu mengalami antiklimaks di babak final kontra musuh bebuyutan, Malaysia. Salah satu penyebabnya adalah rasa optimis yang terlalu kelewatan di kalangan para pendukungnya. Polanya juga sama. Berawal dari supporter, media, lalu merembet ke tim. Kita bahkan ditampar lebih keras karena kalah di partai puncak.

Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Ya, di sini kita belajar untuk tetap rendah hati dan tidak meremehkan. Keangkuhan hanya akan membuatmu cepat terjatuh. Mungkin ini sudah menjadi tabiat manusia. Cepat puas dan lalai menjadi sifat umum kita sebagai manusia. 

Ternyata, pepatah sekali lagi membuktikan kebenarannya. Orang-orang di puncak gunung selalu melihat orang-orang di bawahnya begitu kecil, namun ia tak pernah menyadari bahwa orang di puncak gunung itu bahkan hampir tak terlihat bagi orang di bawah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun