Prasasti Nalanda adalah sebuah prasasti yang dibuat oleh Raja Depaladeva dari dinasti Pala yang berkuasa di Bengal India. Prasasti ini dibuat atas permintaan dari Raja Balaputradewa dari Sumatera.Â
Tidak diketahui dengan pasti prasasti ini dibuat pada tahun berapa, hanya diperkirakan prasasti ini dibuat pada paroh pertama abad ke-9 M,  dengan dasar bahwa prasasti ini dibuat pada tahun ke-39 pemerintahan Raja Depaladeva, sementara  Raja Depaladeva meninggal antara tahun 843-850 M.
Dalam prasasti Nalanda disebutkan bahwa penguasa Suvarnadvipa (Swarnadwipa atau nama kuno Sumatera dalam bahasa Sanskerta) yang bernama Balaputradeva (Balaputradewa) atas ijin raja Depaladeva telah mendirikan sebuah bangunan vihara Buddha di Nalanda.Â
Balaputradeva disebut sebagai cucu dari Raja Jawa (Javabhumi) yang merupakan "Permata dari Wangsa Sailendra" (Sailendravamsatilako) yang mendapat julukan sebagai "Pembunuh Pahlawan Musuh" (Sriviravairimathana). Seorang Raja Jawa yang kawin dengan Tara, anak Dharmasetu.
Teori yang populer yang dikembangkan oleh De Casparis menyebutkan bahwa nama Samaratungga itu identik dengan nama Samaragrawira yang terdapat dalam prasasti Nalanda.Â
Samaragrawira adalah anak dari raja Jawa yang berasal dari Wangsa Sailendra yang disebut sebagai Permata  Wangsa Sailendra dan memiliki julukan Sriviravairimathana.
Samaragrawira ini kawin dengan Tara. Tara adalah anak dari Dharmasetu yang berasal dari wangsa Soma yang berkuasa di Sumatera. Dari perkawinan Samargrawira dan Tara inilah kemudian menurunkan anak yang bernama Balaputradewa.
Dikatakan bahwa sepeninggal Raja Samaratungga telah terjadi perang memperebutkan tahta Mataram Kuno antara Rake Pikatan suami Pramodawardhani melawan Balaputradewa.Â
Balaputradewa yang bertahan di bukit yang berbeteng batu (sekarang disebut situs Ratu Boko) akhirnya kalah dan pergi ke Sumatera. Di Sumatera Balaputradewa kemudian bisa  menjadi raja karena mewarisi kekuasaan dari kakeknya Dharmasetu atau dari Tara ibunya.
Teori dari De Casparis ini ditolak oleh Slamet Muljana. Berdasarkan prasasti Kayumwungan 824 M (prasasti Karang Tengah), Samaratungga hanya memiliki seorang putri yaitu Pramodawardhani.Â
Jadi tafsiran bahwa Balaputradewa itu merupakan  anak dari Samaratungga dan menjadi saudara Pramodawarhani adalah tidak tepat. Lebih tepat jika Balaputradewa ini adalah paman dari Pramodawardhani karena baik Balaputradewa maupun Samaratungga keduanya adalah anak dari  Samaragrawira.
Pendapat De Casparis  yang menyatakan bahwa Dharmasetu  berasal dari Wangsa Soma yang berkuasa di Sumatera juga ditolaknya. Nama Dharmasetu, menurut  Slamet Muljana tertulis di prasasti Klurak 782 M.Â
Dharmasetu adalah tokoh yang diperintah oleh raja yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya untuk menjaga bangunan suci Manjusrigrha (candi Sewu di utara candi Prambanan). Selain itu dikatakan pula bahwa tidak ada bukti sejarahnya  Dharmasetu itu menjadi raja di Sumatera.
Boechari juga menolak pendapat De Casparis yang menyamakan istilah "walaputra" yang terdapat dalam prasasti Shivagrha 856 M dengan kata Balaputra.Â
Menurutnya, "walaputra" dalam prasasti itu menunjuk pada sebutan "anak bungsu" atau putra bungsu dari Rake Pikatan yaitu Rake Kayuwangi Dyah Lokapala. Rake Kayuwangi ini naik tahta di Medang Mataram Kuno menggantikan ayahnya yang meninggal.
Selain itu juga tidak ditemukan jejak historis Balaputradewa di beteng timbunan batu (situs Candi Boko) yang dikatakan sebagai tempat pertahanan. Yang ada malah jejak historis dari Rake Walaing Pu Kumbhayoni, yang mengaku cicit dari "Sang Ratu Halu".
Sosok Raja Jawa yang disebut berasal dari Wangsa Sailendra yang dikenal sebagai Permata Wangsa Sailendra dan memiliki julukan "Viravairimathana" Â yang dikatakan sebagai kakek dari Balaputradewa itu jika melihat sebutan dan julukannya kemungkinan besar adalah Rake Panangkaran. Rake Panangkaran yang dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan berkuasa di Medang Mataram Kuno pada tahun 746-784 M.
Rake Panaraban berkuasa dari tahun 784 M hingga mengundurkan diri dari tampuk penerintahannya pada tahun 803 M. Pewaris tahtanya adalah putranya yang bernama Rake Warak Dyah Manara.
Rake Warak memerintah Medang hingga meninggal di tahun 827 M, dan digantikan putranya yang bernama Dyah Gula. Namun Dyah Gula hanya berkuasa beberapa bulan karena digantikan oleh Rake Garung pada 828 M.
Rake Garung ini dikatakan sebagai putra dari "Sang Lumah i Tuk" (yang meninggal didharmakan di Tuk). Kemungkinan besar tokoh ini adalah Rake Panaraban. Jadi dengan demikian antara Rake Warak dan Rake Garung masih terikat dengan hubungan persaudaraan, karena sama-sama ber-ayah Rakai Panaraban.
Berdasarkan pada prasasti Nalanda dan prasasti Wanua Tengah III, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa cucu-cucu Rake Panangkaran menjadi raja di Suvarnabhumi (Sumatera) dan raja di Medang (Jawa). Â Balaputradewa menjadi raja secara bersamaan waktunya dengan dengan Rake Warak atau Rake Garung. Namun bagaimana hubungan antara mereka, tidak diketahui alurnya sebab bukti sejarah yang ada hanya menjelaskan bahwa mereka mempunyai kakek yang sama.
Sumber bacaan:
- Wikipedia
- Kemdikbud
- Balaputradewa, Wikipedia
- https://en.wikipedia.org/wiki/Shivagrha_inscription
- Risa Herdahita Putri, Orang Jawa Yang Bertahta Di Sumatera, Historia 15 Mei 2018.
- Anton O. Zakharov, THE SAILENDRAS RECONSIDERED Nalanda-Sriwijaya centre working paper series, no. 12, Aug 2012.
- Kusen, 1994. Raja-Raja Mataram Kuna Dari Sanjaya Sampai Balitung Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Arkeologi, Edisi Khusus-1994.
podjok Pawon, Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H