Jadi tafsiran bahwa Balaputradewa itu merupakan  anak dari Samaratungga dan menjadi saudara Pramodawarhani adalah tidak tepat. Lebih tepat jika Balaputradewa ini adalah paman dari Pramodawardhani karena baik Balaputradewa maupun Samaratungga keduanya adalah anak dari  Samaragrawira.
Pendapat De Casparis  yang menyatakan bahwa Dharmasetu  berasal dari Wangsa Soma yang berkuasa di Sumatera juga ditolaknya. Nama Dharmasetu, menurut  Slamet Muljana tertulis di prasasti Klurak 782 M.Â
Dharmasetu adalah tokoh yang diperintah oleh raja yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya untuk menjaga bangunan suci Manjusrigrha (candi Sewu di utara candi Prambanan). Selain itu dikatakan pula bahwa tidak ada bukti sejarahnya  Dharmasetu itu menjadi raja di Sumatera.
Boechari juga menolak pendapat De Casparis yang menyamakan istilah "walaputra" yang terdapat dalam prasasti Shivagrha 856 M dengan kata Balaputra.Â
Menurutnya, "walaputra" dalam prasasti itu menunjuk pada sebutan "anak bungsu" atau putra bungsu dari Rake Pikatan yaitu Rake Kayuwangi Dyah Lokapala. Rake Kayuwangi ini naik tahta di Medang Mataram Kuno menggantikan ayahnya yang meninggal.
Selain itu juga tidak ditemukan jejak historis Balaputradewa di beteng timbunan batu (situs Candi Boko) yang dikatakan sebagai tempat pertahanan. Yang ada malah jejak historis dari Rake Walaing Pu Kumbhayoni, yang mengaku cicit dari "Sang Ratu Halu".
Sosok Raja Jawa yang disebut berasal dari Wangsa Sailendra yang dikenal sebagai Permata Wangsa Sailendra dan memiliki julukan "Viravairimathana" Â yang dikatakan sebagai kakek dari Balaputradewa itu jika melihat sebutan dan julukannya kemungkinan besar adalah Rake Panangkaran. Rake Panangkaran yang dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan berkuasa di Medang Mataram Kuno pada tahun 746-784 M.
Rake Panaraban berkuasa dari tahun 784 M hingga mengundurkan diri dari tampuk penerintahannya pada tahun 803 M. Pewaris tahtanya adalah putranya yang bernama Rake Warak Dyah Manara.