Peristiwa saya ikut tirakat ke Goa Langse yang berada di tebing tepat dipinggi laut pantai selatan di timur pantai Parangtritis ini sebenarnya juga tak pernah direncanakan. Semua terjadi begitu saja saat saya ditawari Pak Ab mau dan langsung mengiyakan dan malamnya terus berangkat menuju ke lokasi tetirah atau tirakat itu.
Peristiwa ini sudah lama sekali yaitu di tahun 1992, dimana saat itu masih muda dan kalau mempunyai kemauan pasti ngotot untuk merealisasikannya. Termasuk juga untuk ikut tirakat ke Goa Langse ini. Semuanya itu  hanya didorong oleh tekad dan tenaga yang masih kuat selain karena menganggap yang mengajak adalah orang yang memang memiliki kelebihan dalam olah spiritual.
Malam itu malam Selasa Kliwon. Kami berlima naik kendaraan roda dua. Pak Ab membonceng motor saya, sedang mas Ay sendirian memakai RX-King, yang dua lagi Mas T dan mas B berboncengan dengan GL-Max. Sekitar jam 8 malam kami berangkat menuju Parangtritis.
Sejam kemudian kami sudah sampai di Parangtritis dan menitipkan motornya. Acara selanjutnya bersantai sejenak menunggu jam agar nanti sampai di lokasi itu menjelang tengah malam. Diperkirakan untuk ke Goa Langse melalui jalur perbukitan dan kemudian turun menyusuri tebing pantai itu akan memakan waktu kurang lebih satu jam.
Sungguh saya tak pernah menduga jika jalannya benar-benar mengerikan seperti itu. Semula sih jalan biasa naik turun bukit tak ada yang susah apalagi dibantu penerangan lampu senter yang terang. Tapi mendekati bibir tebing yang curam, jalannya sudah mulai mengerikan.
Pertama turun melewati 2 atau 3 tangga bambu yang disambung dan diikat pepohonan atau bebatuan yang kuat. Selanjutnya berjalan maju sedikit demi sedikit sambil berpegangan pada akar kayu atau bebatuan karang yang menonjol. Sementara itu kakinya juga harus mencari pijakan yang kokoh untuk melangkah ke depannya.
Saya masih ingat apa yang dikatakan oleh Pak Ab waktu itu. "Dik Jati, sampeyan ngetutke sikil kaleh tangan kulo nggih le cekelan oyot kaleh watu!" (Dik Jati, kamu mengikuti langkah kaki dan cara berpegangan seperti saya ya pada akar dan bebatuan karang)
Cukup mendebarkan jantung  perjalannya. Salah sedikit dan oleng kalau jatuh bakal tinggal nama. Karena kemiringan tebing itu hampir 90 derajad alias hampir tegak lurus dengan laut selatan. Benar-benar super hati-hati dalam melangkah apalagi saya hanya memakai sendal jepit.
Semuan berjalan dengan lambat, saling  bergantian  menyorotkan lampu senter untuk menunjukkan akar kayu atau batu yang akan dipegangnya dan juga  jalan yang ada didepannya. Begitu terus hingga akhirnya kami berlima sampai di tempat yang datar yang merupakan tempat orang-orang beristirahat melepaskan lelah yang berada tak jauh dari mulut Goa Langse.
Disana ternyata sudah banyak yang datang untuk melakukan tirakat Kami berlima pun lalu membaur dan beristirahat sebentar untuk memulihkan tenaga dan mengendorkan saraf yang tegang.
Setelah dirasa cukup dan waktu juga sudah melewati tengah malam, kami berlima masuk ke dalam goa. Saya langsung mencari sumber air yang memang mengalir dari dalam goa untuk minum. Luar biasa, sungguh segar air yang berasal dari mata iar yang ada di perut bukit ini. setelah nya kemudian saya cuci muka, tangan dan kaki yang dilanjutkan dengan diam duduk-duduk di dalam goa itu sembari menunggu yang lainnya selesai meditasi.