Mohon tunggu...
Jason Dean Hunter
Jason Dean Hunter Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Horor

Amnesia Kriminal

25 September 2024   19:00 Diperbarui: 25 September 2024   19:01 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Dingin. Itu yang pertama kusadari pada pipi kanan ku, ditemani oleh rasa lembap dan kasar, dan perlahan merambat ke tangan, rusuk, kaki, keseluruhan kanan badan. Ketika pandangan ku terbuka, yang awalnya kabur, dan dalam seperkian detik mulai menjelas, yang awalnya hanya warna abu buram, terlihat jelas sebuah dinding dengan siraman redup cahaya.

Beberapa menit terlewat dengan diriku terbaring diatas rusuk kanan ku, sebelum aku mulai bisa menggerakkan badanku kembali, sedikit demi sedikit. Ku coba gerakkan tangan ke depan wajahku, dan darah setengah kering terlihat menutupinya. Beberapa saat setelah mengamati darah ditanganku, aku pun mencoba untuk mengambil posisi duduk dengan gerakan yang terbatas. Nyeri terasa di titik tepat atas telinga kiriku, serasa seseorang telah melayangkan tinju.

Masih di posisi duduk tepat tempatku terbaring sebelumnya, aku mulai memperhatikan sekitarku. Dengan penglihatan yang lebih jelas, aku bisa melihat percikan darah  di bawah, namun bukan genangan, sekilas memunculkan pertanyaan di pikiran ku; "darah apa ditangan ku?" di tambah tidadanya luka di bagian manapun di badanku. Hanya nyeri dikepala ku tadi yang merupakan rasa sakit dari sekujur tubuh.

Setelah mengkhawatirkan darah dan yakin bukan milikku, sekitarku lah yang kulanjut periksa. Bulu kudukku pun berdiri, melihat horror di hadapan ku. Bercak-bercak darah kering terlihat di hampir tiap sudut ruangan. Kusadari di sisi yang kuhadapi ada sebuah pintu padat abu. Aku mencoba berdiri walaupun lemas badanku, Perlahan namun berusaha cepat, ku menghampiri pintu tersebut. Sialnya, pintu itu terkunci. Aku meraba saku celanaku, mencoba mencari kunci, namun tidak ada. Eh? Kenapa aku mencari kunci disakuku? Aku sendiri bahkan tidak tahu tempat apa ini.

Aku melihat kembali ruangan dan baru sadar kalau ada sebuah kursi dan meja dibelakang tempatku sebelumnya terbaring. Melangkah dengan agak linglung, aku hampiri kembali tempat tersebut, yang setelah lebih jelas kuperhatikan ada bercak darah yang begitu banyak pada kursi. Yang lebih mengerikan adalah apa yang ada diatas meja, atau lebih tepatnya, "apa saja".

Bercak kering melapisi meja dan ada genangan darah setengah kering kecil. Di genangan tersebut terletak berbagai alat yang seharusnya tidak berada ditempat bersamaan. Bermacam tang, pisau bedah, gunting, kunci inggris, sekotak jarum dan benang, ditambah alat yang terlihat familiar namun tak ku ingat namanya. Darah bisa dilihat menyelimuti perkakas-perkakas dimeja tersebut. Ngeri kurasa menyelimuti tubuhku, namun, ada sedikit yang aneh, yaitu rasa geli di area panggulku. Ku coba untuk menyingkirkanya, memikirkan prioritas saat ini, mencari cara keluar dari ruangan ini.

Aku pun sadar ada laci dimeja tersebut, yang segera kubuka dan lebih banyak alat kulihat, namun kufokus mencari sesuatu yang lebih berguna. Beruntung, terdapat sebuah pisau swiss army, yang bisa kugunakan untuk membobol pintu keluar. Kembali kepintu, aku mulai mengotak-atik lubang kunci, dengan pisau yang kutemukan.

Entah berapa lama ku berusaha, pada akhirnya pintu pun terbuka. Dengan lekas ku keluar dari ruangan mengerikan itu, dan masuk ke sebuah lorong pendek dengan satu lampu redup sebagai penerangan. Kucari jalan keluar, dan terpintas di tepi penglihatanku sebuah tangga menuju atas. Berlari sekuat tenaga, hampir terjatuh, namun bertahan dengan posisi lariku, aku menuju atas tangga yang berakhir pada sebuah koridor penghubung antara dua ruangan yang tampaknya dapur dan ruang tamu.
Dari luar terdengar suara hujan lebat, namun tetap ku berlari ke pintu ruang tamu yang mengarah keluar, namun sayangnya itu pun juga terkunci. Aku mencoba untuk mendobrak untuk segera keluar, namun tenagaku sepertinya mulai habis. Setelah usaha keduaku untuk mendobrak sia-sia, badanku jatuh tersungkur dengan keseluruhan beratku menindih rusuk kiriku. Sepertinya badanku terlalu lelah, pusing menyerang kepala bersamaan dengan munculnya suara deritan kayu.

Mendengar deritan itu, diriku mulai was was, dan membeku dalam posisiku saat jatuh tersungkur tadi. Deritan kayu itu mulai terdengar jelas dan diikuti seperti langkah kaki. Apakah itu orang yang mengurungku diruangan tadi? batinku berkata.

Namun suara deritan dan langkah kaki menghilang. Posisiku belum berubah sama sekali, sehingga tidak mungkin dia tahu kalau aku dalam keadaan sadar. Hatiku berdegup kencang sekali, aku hanya bisa menghadap dinding ruang tamu yang nampaknya dipenuhi foto, dan yang paling menarik perhatian adalah foto besar dari keluarga beranggotakan tiga orang. Wajah mereka terlihat familiar...

Kriiiitt...

Deritan itu mulai terdengar lagi, namun kali ini suaranya mengecil sampai tidak terdengar lagi. Beberapa saat ku diam dalam posisiku, sebelum mencoba untuk berdiri dengan pelan. Kuperhatikan asal suara deritan tadi yang rupanya dari tangga menuju lantai dua. Ku langkahkan kaki dan berusaha untuk sesunyi mungkin. Sesampai di bawah tangga, saat hendak ingin memijak anak tangga pertama, terdengar lagi derit kayu yang membuatku langsung menghadap keatas, dan bertukar pandang dengan seorang gadis berlumuran darah dengan pisau.

Keheningan berat diantara aku dan dia, yang terpecahkan oleh derasnya hujan dari luar, berlangsung beberapa detik, sebelum gadis itu tiba-tiba menuruni tangga sambil mengayunkan pisau, yang sedikit lagi mengenaiku jika aku tidak melempar badanku ke tengah ruangan kembali. Si gadis pemisau itu menabrak dinding, namun rasa sakit seperti tidak mempengaruhi, karena sesaat setelah fokus kembali, dia mencoba untuk menyerangku, yang susah payah kucoba kuhindari, namun berhasil menyayat sedikit di bahu ku. Aku menjaga jarak antara diriku dengan gadis itu, bertukar tatap. Sekarang aku lebih jelas melihat badannya yang terluka, kedua tangan penuh sayatan dan pipinya tertoreh segaris dengan darah yang terlihat masih mengucur.

Gadis itu terus menggerakkan tangannya untuk menyayat dengan membabi buta. Sementara mataku bergerak liar, memandang dari sekitar kembali dirinya lagi, dengan pikiran-pikiran yang berkelabatan di dalam otakku demi mendapat sebuah cara membebaskan diri dari situasi ini. Aku terpojok di samping perapian, saat kurasakan sensasi dingin besi di tangan, sebuah tongkat besi. Di detik si gadis melompat dan hendak menusukkan pisau ke arahku, mataku tertutup dan tanganku secara reflek menggenggam kuat tongkat besi dan mengayunkannya.

Bunyi hantuman menyelimuti suara diruangan, di dampingi suara cipratan. Seperkian detik berlalu ketika aku pelan membuka mataku, dan gadis itu hanya tergeletak diam di atas kaki kananku. Aku hanya bisa terduduk seperti patung memandang yang beberapa saat yang lalu ialah penyerangku, sekarang hanyalah mayat tiada nyawa didalamnya. Badanku terpaku dengan pemandangan yang terhampar di hadapanku, sebelum aku mencoba untuk menarik badan tak bernyawa itu dari atas kakiku. Ku biarkan dia terrgeletak di dekat perapian, sementara aku berjalan sempoyongan menuju pintu depan, sekali lagi mencoba untuk membukanya dengan sedikit tenaga tubuhku yang tersisa.

Tiada guna usahaku. Aku pun berbalik dan bersandar dipintu, merosot dan terduduk, nafasku yang begitu cepat dan tersendat-sendat menjadi satu-satunya suara yang merambat di telingaku selain kelebatan hujan di luar. Pandanganku mulai memburam, suara-suara perlahan menjadi sayup-sayup, lalu...
Sirene mobil polisi terdengar, bercampur suara hujan. Rasa girang mulai memenuhi diriku lagi, akhirnya, aku selamat juga, batinku. Aku mencoba berdiri lagi secara perlahan, dan mulai berteriak memanggil polisi, sementara sirene mulai semakin jelas. Detik-detik berlalu, dan terdengar suara mobil berhenti, dilanjutkan dengan jejakan kaki diatas lumpur lalu derit kayu dari teras.

"TOLONG! AKU TIDAK BISA MEMBUKA PINTU INI!!"

"MOHON MENJAUH DARI PINTU!!"

Seperdetik setelah aku mundur menjauh, pintu terlihat terdobrak. Setelah yang ketiga, dobrakan para polisi membuka paksa pintu tersebut. Aku melangkah hendak menghampiri mereka ketika...

"DIAM DI TEMPAT!! ANGKAT TANGANMU!!"

Entah kenapa mereka malah waspada dan menodongkan pistol terhadap diriku, namun badanku refleks mengangkat kedua tangan. Para polisi itu mulai mengelilingiku. Salah satu dari mereka ke belakangku lalu menarik kedua pergelangan tanganku kebelakang punggung dan memborgolkannya. Polisi yang didepanku perlahan melangkahku diriku, dan setelah dia tepat menempelkan pistolnya tepat didahiku, tegas dia berkata:

"Travis Kent, kau ditangkap, atas aktivitas penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan"

***
Hiruk-pikuk terlihat jelas di pemandangan kantor polisi saat itu. Setiap orang-orang didalam kantor tengah tersibukkan dengan urusan mereka masing-masing, dan diantara mereka, dua orang yang duduk di meja mereka yang bersebelahan, tengah mendiskusikan dokumen-dokumen dari sebuah investigasi.

"Keji sekali ini orang ini," polisi muda yang tengah membaca salah satu dokumen. "'pelaku menguliti dan mencincang para korban menggunakan pisau bedah' manusia macam apa dia ini?"

"Itu baru detail awalnya," ucap rekan sebelah mejanya yang lebih, sedang melahap donatnya. "Coba kau baca lebih lagi"

"'Dari tes lab, di setiap potongan tubuh terdapat---"

Si polisi muda itu berhenti membaca, dahinya mengerut, matanya menyipit, mulutnya terbuka sedikit. Tergambar jelas ekpresi jijik itu disebabkan karena hal yang tertulis dokumen.

"Sperma," polisi tua menggigit donat coklatnya. "pelaku sepertinya punya selera seksual yang cukup ekstrim.

"Ughh"

"Tapi," polisi tua itu menatap si polisi muda, "Pelaku tidak ingat dengan tindak kriminalnya. Dokumen disini bilang saat pelaku ditangkap, dia memberontak dan mengatakan kalau dia tidak ingat apa-apa. Sepertinya korban terakhirnya memukul pingsan si pelaku dan menimbulkan cidera dikepalanya."

"Iya, benar," polisi muda membalas, "Korban tidak mati seperti korban-korbannya sebelum, yang matinya di ruangan bawah tanah pelaku. Dia mati di ruangan depan, tempat si pelaku ditemukan."

Mereka pun berdua kembali menyimak dokumen-dokumen investigasi.
"Oh ya," polisi tua mengulurkan donat ke si polisi muda. "kamu mau?"

"Tentu saja pak," mengambil donat itu dari tangannya. "Terima kasih pak."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun