Deritan itu mulai terdengar lagi, namun kali ini suaranya mengecil sampai tidak terdengar lagi. Beberapa saat ku diam dalam posisiku, sebelum mencoba untuk berdiri dengan pelan. Kuperhatikan asal suara deritan tadi yang rupanya dari tangga menuju lantai dua. Ku langkahkan kaki dan berusaha untuk sesunyi mungkin. Sesampai di bawah tangga, saat hendak ingin memijak anak tangga pertama, terdengar lagi derit kayu yang membuatku langsung menghadap keatas, dan bertukar pandang dengan seorang gadis berlumuran darah dengan pisau.
Keheningan berat diantara aku dan dia, yang terpecahkan oleh derasnya hujan dari luar, berlangsung beberapa detik, sebelum gadis itu tiba-tiba menuruni tangga sambil mengayunkan pisau, yang sedikit lagi mengenaiku jika aku tidak melempar badanku ke tengah ruangan kembali. Si gadis pemisau itu menabrak dinding, namun rasa sakit seperti tidak mempengaruhi, karena sesaat setelah fokus kembali, dia mencoba untuk menyerangku, yang susah payah kucoba kuhindari, namun berhasil menyayat sedikit di bahu ku. Aku menjaga jarak antara diriku dengan gadis itu, bertukar tatap. Sekarang aku lebih jelas melihat badannya yang terluka, kedua tangan penuh sayatan dan pipinya tertoreh segaris dengan darah yang terlihat masih mengucur.
Gadis itu terus menggerakkan tangannya untuk menyayat dengan membabi buta. Sementara mataku bergerak liar, memandang dari sekitar kembali dirinya lagi, dengan pikiran-pikiran yang berkelabatan di dalam otakku demi mendapat sebuah cara membebaskan diri dari situasi ini. Aku terpojok di samping perapian, saat kurasakan sensasi dingin besi di tangan, sebuah tongkat besi. Di detik si gadis melompat dan hendak menusukkan pisau ke arahku, mataku tertutup dan tanganku secara reflek menggenggam kuat tongkat besi dan mengayunkannya.
Bunyi hantuman menyelimuti suara diruangan, di dampingi suara cipratan. Seperkian detik berlalu ketika aku pelan membuka mataku, dan gadis itu hanya tergeletak diam di atas kaki kananku. Aku hanya bisa terduduk seperti patung memandang yang beberapa saat yang lalu ialah penyerangku, sekarang hanyalah mayat tiada nyawa didalamnya. Badanku terpaku dengan pemandangan yang terhampar di hadapanku, sebelum aku mencoba untuk menarik badan tak bernyawa itu dari atas kakiku. Ku biarkan dia terrgeletak di dekat perapian, sementara aku berjalan sempoyongan menuju pintu depan, sekali lagi mencoba untuk membukanya dengan sedikit tenaga tubuhku yang tersisa.
Tiada guna usahaku. Aku pun berbalik dan bersandar dipintu, merosot dan terduduk, nafasku yang begitu cepat dan tersendat-sendat menjadi satu-satunya suara yang merambat di telingaku selain kelebatan hujan di luar. Pandanganku mulai memburam, suara-suara perlahan menjadi sayup-sayup, lalu...
Sirene mobil polisi terdengar, bercampur suara hujan. Rasa girang mulai memenuhi diriku lagi, akhirnya, aku selamat juga, batinku. Aku mencoba berdiri lagi secara perlahan, dan mulai berteriak memanggil polisi, sementara sirene mulai semakin jelas. Detik-detik berlalu, dan terdengar suara mobil berhenti, dilanjutkan dengan jejakan kaki diatas lumpur lalu derit kayu dari teras.
"TOLONG! AKU TIDAK BISA MEMBUKA PINTU INI!!"
"MOHON MENJAUH DARI PINTU!!"
Seperdetik setelah aku mundur menjauh, pintu terlihat terdobrak. Setelah yang ketiga, dobrakan para polisi membuka paksa pintu tersebut. Aku melangkah hendak menghampiri mereka ketika...
"DIAM DI TEMPAT!! ANGKAT TANGANMU!!"
Entah kenapa mereka malah waspada dan menodongkan pistol terhadap diriku, namun badanku refleks mengangkat kedua tangan. Para polisi itu mulai mengelilingiku. Salah satu dari mereka ke belakangku lalu menarik kedua pergelangan tanganku kebelakang punggung dan memborgolkannya. Polisi yang didepanku perlahan melangkahku diriku, dan setelah dia tepat menempelkan pistolnya tepat didahiku, tegas dia berkata:
"Travis Kent, kau ditangkap, atas aktivitas penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan"