Contoh yang lain adalah kasus tangan Tuhan dari Maradona di Piala Dunia 1986. Pemain Inggris protes tapi tidak berlebihan dan tidak sampai berhenti main. Hal ini lah yang harus dilakukan oleh insan sepak bola Indonesia. Sepahit apapun keputusan wasit harus diterima. Tetapi wasit harus dikontrol oleh Komisi Wasit dengan baik. Yang bersalah harus dikenakan sanksi. Wasit yang baik harus dipromosikan.
Akibat dari kualitas wasit yang tidak baik, pemain-pemain sepakbola di Indonesia menjadi terbiasa dengan keputusan2 wasit yang longgar. Pelanggaran keras dan protes keras yang berlebihan sering kali dibiarkan oleh wasit. Akibatnya pemain2 sepakbola kita terbiasa dengan hal tsb untuk pertandingan di tingkat nasional.
Apabila dipertandingan internasional yang mempunyai kualitas wasit yang baik, pasti pemain2 sepak bola Indonesia tidak bisa bermain maksimal karena wasit sangat tegas atas pelanggaran dan protes yang dilakukan pemain. Ini salah satu faktor yang menyebabkan prestasi sepak bola Indonesia begitu2 saja.
Saya teringat dengan Ismed Sofyan yang sekarang masih main untuk Persija, pada waktu membela PSSI di Piala Asia th 2007 di Jakarta. Ismed Sofyan yang pada waktu muda adalah pemain yang sangat keras dan garang, pada waktu bermain melawan Saudi Arabia melakukan kesalahan fatal pada waktu baru masuk sebagai pemain pengganti di menit ke 90 (menggantikan Budi Sudarsono).
Kegarangan Ismed ini ingin ia tunjukkan seperti yang biasa dilakukan pada saat dia membela Persija. Ismed melakukan pelanggaran yang tidak perlu dan ceroboh diluar kotak penalti Indonesia di sisi sebelah kiri. Skor dalam keadaan 1-1. Free kick untuk Saudi Arabia. Bola diangkat ke depan gawang Indonesia dan pemain Saudi Arabia (Saad Al Harthi) menyundul bola dan masuk. Indonesia kalah. Skor menjadi 2-1 untuk Saudi Arabia.
Dalam kasus ini, Ismed Sofyan tidak hati-hati dan lupa bahwa ini adalah pertandingan internasional. Mungkin Ismed berpikir bahwa ini sama saja dengan pertandingan ISL yang wasitnya takut dan tidak akan terjadi pelanggaran. Tentu saja pertandingan ini berbeda. Wasit dengan kualifikasi FIFA tidak akan takut dengan teror dari pemain, penonton dan pengurus PSSI. Akibatnya Indonesia kalah dan tidak lolos ke fase berikutnya (setelah kalah juga lawan Korsel pada pertandingan terakhir group).
Tapi sebenarnya hal ini bukan kesalahan Ismed Sofyan semata. Ini kesalahan dari PSSI yang selalu melakukan pembiaran terhadap kualitas wasit di kompetisi Liga Indonesia sehingga semua pemain menjadi tidak terbiasa dengan wasit yang benar. Bahkan setelah pertandingan melawan Saudi Arabia tsb, PSSI protes kepada AFC karena menganggap wasit berat sebelah, tapi tetap sia-sia. Kebiasaan seperti itu berpengaruh terhadap team nasional. Tidak ada pembinaan sampai ke klub besar dan klub kecil. Sampai sekarangpun masih seperti itu.
Selain masalah kemampuan teknis wasit yang saya bicarakan diatas, masalah kemampuan non teknis (mental) wasit juga sangat berpengaruh terhadap kemajuan sepak bola nasional. Kalau wasit gampang disuap pasti akan jadi problem besar. Percuma pembinaan sepak bola yang sudah dilakukan. Masalah dugaan suap menyuap wasit sudah menjadi rahasia umum.
Banyak pertandingan ISL sampai dengan beberapa tahun yang lalu rawan pengaturan skor. Saya yang adalah mantan pemain sepak bola amatir mempunyai banyak teman2 yang berkecimpung di sepak bola nasional dan melatih di klub2 ISL. Dari mereka saya sering mendapat cerita yang menyedihkan bagaimana dugaan pengaturan skor berlangsung dengan melibatkan wasit. Bahkan diduga ada wasit yang terima suap dari 2 team. Tinggal pilih yang paling besar he he ….
Apabila harus main di kandang lawan, maka harus bersiap2 untuk “dikerjain” oleh tuan rumah melalui wasit. Menit terakhir pertandingan sangat rawan bagi team tamu untuk dihukum penalti. Selain itu juga ada cerita bagaimana menderitanya team tamu apabila main tandang di daerah yang tidak ada siaran langsung pertandingan di televisi. Team tamu siap kalah dan dikerjain wasit/tuan rumah habis-habisan. Semen Padang masih mengalami hal ini pada saat bertanding ke kandang Perseru Serui beberapa waktu yang lalu di ajang TSC. Tidak ada siaran langsung televisi. Nil Maizar marah dengan kondisi ini.
Sehubungan dengan hal-hal yang dituliskan diatas, maka penulis berharap dengan akan diselenggarakannya KLB PSSI di bulan Agustus 2016, akan menghasilkan Ketua dan pengurus PSSI yang betul lepas dari kepentingan politik, kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok untuk mencari kekayaan serta popularitas dari sepak bola.