Beberapa kali saya menonton pertandingan kompetisi sepakbola “Torabika Soccer Championship" (TSC) melalui layar televisi. Dengan antusiasme penonton yang begitu besar, seharusnya memang kualitas persepakbolaan nasional semakin meningkat. Sayangnya prestasi sepak bola Indonesia tetap jalan di tempat (kalau tidak mau dibilang terus menurun).
Faktor penyebab yang sangat dominan adalah induk organisasi sepak bola Indonesia yaitu PSSI yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola sepak bola itu sendiri. Salah satunya adalah komisi yang mengurusi masalah wasit. Pada tulisan ini saya ingin sedikit membahas mengenai wasit sepak bola Indonesia melalui salah contoh pertandingan “TSC” beberapa hari yang lalu.
Melalui layar televisi di Indosiar, saya menyaksikan pertandingan sepak bola Torabika “TSC” pada babak ke 2 antara Mitra Kukar melawan Bhayangkara Surabaya United (BSU) pada hari Minggu tgl 17 Juli 2016 yang berlangsung di Stadion Aji Imbut Tenggarong. Wasit yang memimpin pertandingan saat itu adalah Asep Yandis. Saya tidak tahu apa yang terjadi di babak 1 karena saya tidak menonton, tapi dari apa yang saya baca di media, terjadi protes dari Mitra Kukar terhadap kepemimpinan wasit Asep Yandis karena tidak puas dan meminta kepada Inspektur Pertandingan untuk mengganti wasit Asep Yandis. Cuma ada di Indonesia yang seperti ini. Sangat menggelikan sekali he he …
Di babak ke 2, dalam posisi tertinggal 0-2, Mitra Kukar mengubah strategi sehingga kendali permainan dikuasai oleh Mitra Kukar dan melakukan serangan-serangan yang berbahaya ke gawang BSU. Kepemimpinan wasit Asep Yandis dibabak ke 2, menurut saya cukup lumayan. Ada 1 atau 2 momen dimana masing-masing kesebelasan merasa dirugikan tapi masih bisa diperdebatkan.
Pemain BSU seringkali melakukan protes keras kepada wasit Asep Yandis apabila ada hal-hal yang dianggap merugikan BSU karena mereka dalam keadaan tertekan akibat serangan yang terus menerus dari Mitra Kukar. Puncaknya adalah ketika Mitra Kukar mendapat tendangan bebas di luar kotak penalti di sisi kiri pertahanan BSU yang diambil oleh Michael Orah.
Tendangan bebas tersebut langsung menuju ke gawang dan masuk. Skor menjadi 2-2. Dari tayangan ulang terlihat ada gangguan dari pemain Mitra Kukar terhadap kiper BSU Wahyu Tri, tetapi tidak sampai menyentuh penjaga gawang BSU tsb. Kiper Wahyu Tri yang mempunyai postur tubuh yang relatif kecil, tidak dapat mengantisipasi bola yang mengarah ke gawangnya karena di depannya ada pemain Mitra Kukar yang menghalanginya. Kiper Wahyu Tri pun “acting” dengan terjatuh dan pura-pura sakit di kepalanya.
Sampai disini keputusan dari wasit Asep Yandis menurut saya sudah benar dengan mengesahkan gol yang sudah terjadi. Selanjutnya protes keras yang dilakukan oleh pemain BSU kepada Asep Yandis sudah sangat berlebihan. Pemain BSU Otavio Dutra sampai menempelkan keningnya ke wajah wasit Asep Yandis. Seharusnya ini sudah kartu merah.
Tapi wasit Asep Yandis tidak mempunyai wibawa. Dia diam saja diprotes seperti itu. Pemain BSU tidak mau melanjutkan pertandingan dan bersama dengan official BSU memprotes wasit Asep Yandis atas keputusannya yang mengesahkan gol yang sudah terjadi. Di pinggir lapangan terlihat official BSU memarahi wasit Asep Yandis dan kemudian berdiskusi dengan Inspektur Pertandingan. Pertandingan berhenti +/- 10 menit. Wasit Asep Yandis terlihat stress dan kehilangan wibawa. Sangat miris.
Inilah potret kualitas sepak bola Indonesia. Tidak ada pendidikan yang baik dari PSSI dan dari klub kepada para pemain, official dan juga masyarakat sepak bola pada umumnya untuk bisa menerima kondisi apapun yang sudah diputuskan wasit. Setelah pertandingan, Komisi Wasit akan menilai apakah terjadi kesalahan dari wasit yang bertugas atau tidak.
Apabila wasit bersalah, maka Komisi Wasit akan bertindak dengan mengenakan sanksi kepada wasit yang bertugas. Dengan kondisi seperti saat ini, kejadian seperti di Piala Presiden tahun 2015 dimana Surabaya United mengundurkan diri di tengah pertandingan akibat tidak puas terhadap keputusan wasit bisa terjadi lagi di mana saja. Ini sangat merugikan semua pihak.
Kejadian seperti goal Frank Lampard yang tidak disahkan wasit pada waktu Piala Dunia 2010 melawan Jerman, tidak menjadikan team Inggris berhenti main dan mogok. Juga protes keras pemain Chelsea waktu semi final Piala Champions 2008 melawan Barcelona, tidak menjadikan Chelsea harus mogok. Bahkan official dan pemain Chelsea yang protes dengan tidak pada tempatnya pun di hukum oleh UEFA.
Contoh yang lain adalah kasus tangan Tuhan dari Maradona di Piala Dunia 1986. Pemain Inggris protes tapi tidak berlebihan dan tidak sampai berhenti main. Hal ini lah yang harus dilakukan oleh insan sepak bola Indonesia. Sepahit apapun keputusan wasit harus diterima. Tetapi wasit harus dikontrol oleh Komisi Wasit dengan baik. Yang bersalah harus dikenakan sanksi. Wasit yang baik harus dipromosikan.
Akibat dari kualitas wasit yang tidak baik, pemain-pemain sepakbola di Indonesia menjadi terbiasa dengan keputusan2 wasit yang longgar. Pelanggaran keras dan protes keras yang berlebihan sering kali dibiarkan oleh wasit. Akibatnya pemain2 sepakbola kita terbiasa dengan hal tsb untuk pertandingan di tingkat nasional.
Apabila dipertandingan internasional yang mempunyai kualitas wasit yang baik, pasti pemain2 sepak bola Indonesia tidak bisa bermain maksimal karena wasit sangat tegas atas pelanggaran dan protes yang dilakukan pemain. Ini salah satu faktor yang menyebabkan prestasi sepak bola Indonesia begitu2 saja.
Saya teringat dengan Ismed Sofyan yang sekarang masih main untuk Persija, pada waktu membela PSSI di Piala Asia th 2007 di Jakarta. Ismed Sofyan yang pada waktu muda adalah pemain yang sangat keras dan garang, pada waktu bermain melawan Saudi Arabia melakukan kesalahan fatal pada waktu baru masuk sebagai pemain pengganti di menit ke 90 (menggantikan Budi Sudarsono).
Kegarangan Ismed ini ingin ia tunjukkan seperti yang biasa dilakukan pada saat dia membela Persija. Ismed melakukan pelanggaran yang tidak perlu dan ceroboh diluar kotak penalti Indonesia di sisi sebelah kiri. Skor dalam keadaan 1-1. Free kick untuk Saudi Arabia. Bola diangkat ke depan gawang Indonesia dan pemain Saudi Arabia (Saad Al Harthi) menyundul bola dan masuk. Indonesia kalah. Skor menjadi 2-1 untuk Saudi Arabia.
Dalam kasus ini, Ismed Sofyan tidak hati-hati dan lupa bahwa ini adalah pertandingan internasional. Mungkin Ismed berpikir bahwa ini sama saja dengan pertandingan ISL yang wasitnya takut dan tidak akan terjadi pelanggaran. Tentu saja pertandingan ini berbeda. Wasit dengan kualifikasi FIFA tidak akan takut dengan teror dari pemain, penonton dan pengurus PSSI. Akibatnya Indonesia kalah dan tidak lolos ke fase berikutnya (setelah kalah juga lawan Korsel pada pertandingan terakhir group).
Tapi sebenarnya hal ini bukan kesalahan Ismed Sofyan semata. Ini kesalahan dari PSSI yang selalu melakukan pembiaran terhadap kualitas wasit di kompetisi Liga Indonesia sehingga semua pemain menjadi tidak terbiasa dengan wasit yang benar. Bahkan setelah pertandingan melawan Saudi Arabia tsb, PSSI protes kepada AFC karena menganggap wasit berat sebelah, tapi tetap sia-sia. Kebiasaan seperti itu berpengaruh terhadap team nasional. Tidak ada pembinaan sampai ke klub besar dan klub kecil. Sampai sekarangpun masih seperti itu.
Selain masalah kemampuan teknis wasit yang saya bicarakan diatas, masalah kemampuan non teknis (mental) wasit juga sangat berpengaruh terhadap kemajuan sepak bola nasional. Kalau wasit gampang disuap pasti akan jadi problem besar. Percuma pembinaan sepak bola yang sudah dilakukan. Masalah dugaan suap menyuap wasit sudah menjadi rahasia umum.
Banyak pertandingan ISL sampai dengan beberapa tahun yang lalu rawan pengaturan skor. Saya yang adalah mantan pemain sepak bola amatir mempunyai banyak teman2 yang berkecimpung di sepak bola nasional dan melatih di klub2 ISL. Dari mereka saya sering mendapat cerita yang menyedihkan bagaimana dugaan pengaturan skor berlangsung dengan melibatkan wasit. Bahkan diduga ada wasit yang terima suap dari 2 team. Tinggal pilih yang paling besar he he ….
Apabila harus main di kandang lawan, maka harus bersiap2 untuk “dikerjain” oleh tuan rumah melalui wasit. Menit terakhir pertandingan sangat rawan bagi team tamu untuk dihukum penalti. Selain itu juga ada cerita bagaimana menderitanya team tamu apabila main tandang di daerah yang tidak ada siaran langsung pertandingan di televisi. Team tamu siap kalah dan dikerjain wasit/tuan rumah habis-habisan. Semen Padang masih mengalami hal ini pada saat bertanding ke kandang Perseru Serui beberapa waktu yang lalu di ajang TSC. Tidak ada siaran langsung televisi. Nil Maizar marah dengan kondisi ini.
Sehubungan dengan hal-hal yang dituliskan diatas, maka penulis berharap dengan akan diselenggarakannya KLB PSSI di bulan Agustus 2016, akan menghasilkan Ketua dan pengurus PSSI yang betul lepas dari kepentingan politik, kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok untuk mencari kekayaan serta popularitas dari sepak bola.
Selain masalah pembinaan usia muda dan kompetisi, juga masalah wasit adalah salah satu yang paling penting untuk ditingkatkan dan diperbaiki, agar prestasi sepak bola Indonesia bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Kesejahteraan wasit harus ditingkatkan. Seleksi calon wasit harus diperbaiki. Penggunaan teknologi dalam seleksi wasit harus diterapkan sehingga bisa didapat wasit yang muda, berpendidikan, cerdas, berani, punya karakter dan tidak bisa disuap.
Pengawasan wasit harus betul dilakukan dengan baik. Apabila diperlukan dicari Ketua Komisi Wasit dari luar negeri yang mempunyai reputasi yang baik sehingga akan mempengaruhi kualitas wasit yang dihasilkan. Atau bahkan meng “hire” wasit dari luar negeri sehingga bisa memberikan efek kejut yang baik kepada semua insan sepak bola. Semoga.
Tuhan memberkati.
Jason Nehemiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H